Nasehat Muslim
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Ketahuilah bahwa hikmah disyariatkannya jual beli adalah
sebagaimana disebutkan oleh penulis dalam kitab Fath
Al-Bari, bahwa acapkali kebutuhan manusia bergantung pada apa yang
ada di tangan orang lain, sedangkan orang itu terkadang tidak rela
memberikannya. Pada pensyariatan jual beli terdapat media untuk
memiliki apa yang diinginkan tanpa harus bersusah payah. Penulis menyebutkan bab
ini dalam bentuk jamak (Kitab Al-Buyu') untuk menunjukkan bahwa jual beli
itu ada bermacam-macam jenisnya. Ia berjumlah delapan jenis.
Lafazh jual dan beli (Bai’ wa Syiraa'),
masing-masing
dari kedua kata itu dipakai untuk makna yang sama. Keduanya merupakan Alfaazh Musytarakah (lafazh yang saling berkaitan).
Hakikat penjualan dalam tinjauan etimologi (bahasa) berarti sebuah
proses memindahkan hak memiliki suatu harta dengan harta lainnya. Sedangkan
syariat Islam menambahkan persyaratan saling rela (taraadhi). Ada yang
mengatakan ia adalah proses serah terima dua jenis harta di luar sedekah,
sehingga keluar dari definisi ini proses saling memberi (dengan sukarela). Dan
ada juga yang mengatakan ia adalah proses tukar menukar suatu harta dengan yang
lain bukan dalam rangka sedekah, sehingga termasuk di dalam definisi ini proses
saling memberi (dengan sukarela). Dalil disyaratkannya serah terima (dalam proses jual beli), adalah firman Allah Ta'ala: "Jual beli
atas saling rela" (QS. An-Nisaa': 29). Ibnu Hibban dan Ibnu
Majah mengeluarkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
«إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ»
"Sesungguhnya jual beli itu atas prinsip
saling rela."
Dan dikarenakan perasaan rela merupakan perkara tersembunyi
yang tidak kasat mata, maka ia wajib dikaitkan dengan suatu media konkrit yang dapat mewakilinya dan dalam hal ini adalah Shighah
(ijab kabul). Dan shigah ini harus berupa
ungkapan yang pasti agar dapat diketahui bahwa yang mengungkapkan benar-benar
rela.
Dikecualikan dari persyaratan ini
barang-barang yang tidak terlalu berharga, hal itu dikarenakan sudah menjadi
tradisi umat Islam untuk melakukan proses jual beli pada
barang-barang itu dengan tanpa shigah (ijab kabul). Ini menurut
Jumhur Ulama. Sedangkan Asy-Syafi'iyah
(pengikut madzhab Imam Asy-Syafi'i) berpendapat hal
itu tetap harus menggunakan shigah (ungkapan ijab kabul) sama seperti
yang lainnya. Imam An-Nawawi dan mayoritas ulama
Asy-Syafi'iyah yang Mutaakhir, berpendapat tidak disyaratkan akad
dalam barang-barang yang tidak terlalu berharga. Di antara barang yang tidak
terlalu berharga adalah barang yang nilainya kurang dari seperempat Mitsqal.
Ada yang mengatakan ia adalah sayuran, kurma dan roti dalam jumlah kecil.
Ada juga yang mengatakan ia adalah barang yang nilainya kurang dari nishab (batas minimun dihukumnya orang
yang melakukan) pencurian. Yang paling serupa adalah mengikuti kebiasaan.
Dan faktanya memang tidak ada dalil yang mempersyaratkan ijab qabul
(serah terima). Justru hakikat jual beli adalah tukar menukar yang terjadi
atas dasar saling rela, sebagaimana dinyatakan oleh ayat dan hadits.
Memang perasaan rela adalah perkara yang
tersembunyi yang bisa diketahui berdasarkan faktor-faktor yang menyertainya, di
antaranya ijab qabul. Tetapi tidak hanya sebatas itu saja. Bahkan proses
jual beli itu pun sah terjadi dengan senangnya jiwa terhadap barang dan rela
menukarnya dengan harga yang sesuai, walau dengan lafazh apapun. Begitulah
orang-orang melakukan transaksi, baik zaman dahulu maupun sekarang. Kecuali
orang yang mengetahui madzhab dan takut melanggar keputusan hakim dalam masalah
jual beli, maka dia akan berpendapat perlu adanya ijab qabul.
عَنْ رِفَاعَةَ
بْنِ رَافِعٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - سُئِلَ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ
بِيَدِهِ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ» رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ
الْحَاكِمُ
724. Dari Rifa'ah bin Rafi' Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya, "Pekerjaan apakah
yang paling baik?" Beliau bersabda "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual
beli yang bersih." (HR. Al-Bazzar,
dan dishahihkan oleh Al-Hakim)
[Shahih: Shahih Al-Jami' (1033, 1126)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Rifa'ah bin Rafi' Radiyallahu Anhu adalah seorang
sahabat yang bearasal dari Zuraq dan dia termasuk kaum Anshar yang ikut serta
dalam perang Badar. Bapaknya bernama Rafi' salah seorang dari
dua belas utusan yang datang ke Madinah dengan surat Yusuf. Rifa'ah mengikuti
semua peperangan dan turut serta bersama Ali Radiyallahu Anhu dalam perang Jamal
dan perang Shiffin. Wafat pada tahun pertama pemerintahan
Mu'awiyah.
Penjelasan
Kalimat
"Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam ditanya, "pekerjaan apakah yang paling
baik?" Beliau menjawab, "Pekerjaan seseorang lelaki dengan tangannya, (termasuk juga di Dalamnya perempuan) dan setiap
jual beli yang
bersih." (yakni bebas dari sumpah palsu untuk
melariskan dagangan dan bebas dari kecurangan dalam bertransaksi).
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar dan dishahihkan oleh
Al-Hakim, penulis juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab At-Talkhish
dari Rafi' bin Khudaij dan hadits serupa dalam kitab Al-Misykah dan
disandarkan kepada Ahmad. Dan dikeluarkan oleh As-Suyuthi dalam kitab
Al-Jami' dari Rafi' juga. Dia menyebutkannya dalam musnadnya. Ada
yang mengatakan, mungkin yang dimaksud adalah Rifa'ah bin Rafi'
bin Khudaij. Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari Ubadah bin Rafi' bin
Khudaij dari bapaknya dari kakeknya. Ubadah adalah anak Rifa'ah
bin Rafi' bin Khudaij. Sehingga ada kata yang luput dari penulis yaitu
kata "dari bapaknya".
Tafsir Hadits
Hadits di atas merupakan dalil terhadap
suatu pengakuan terhadap tabiat manusia yang secara naluri butuh mencari
penghidupan. Sedangkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
ditanyakan tentang yang paling baik dari hal itu. Yakni yang paling
halal dan paling berkah. Rasulullah menjawab dengan mendahulukan pekerjaan
dengan tangan sendiri daripada jual beli, berarti menunjukkan bahwa hal tersebut
lebih baik. Demikian juga hadits Al-Bukhari berikut ini mengisyaratkan hal yang
sama. Juga menunjukkan lebih baiknya beberapa jenis perdagangan yang digambarkan
(dalam hadits tersebut).
Ulama berbeda pendapat mengenai mata
pencaharian yang paling baik. Al-Mawardi mengatakan, bahwa pokok pencaharian
adalah; pertanian, perdagangan, dan industri. Dia berkata, "Yang lebih mirip
dengan madzhab Asy-Syafi'i adalah bahwa mata pencaharian yang terbaik adalah
perdagangan." Dia berkata, "Yang rajih (paling kuat) menurut saya adalah
pertanian karena ia lebih dekat pada rasa tawakal. Kemudian dia berargumentasi
dengan hadits Al-Miqdam yang dikeluarkan Al-Bukhari secara
marfu'
«مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ
أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُد كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ»
"Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan
lebih baik dari makanan yang diperoleh dari hasil kerja
tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud dahulu
makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” [shahih, Al-Bukhari (2072)]
An-Nawawi berkata, "Yang benar penghasilan
yang paling baik adalah penghasilan yang didapat dari hasil kerja tangan
sendiri. Dan pertanian merupakan penghasilan terbaik karena di samping sebagai
pekerjaan tangan sendiri, ia juga mendatangkan manfaat untuk banyak kalangan,
untuk manusia, hewan khususnya burung. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah
berkata, "Dan yang lebih baik lagi dari itu adalah harta yang didapat dari
harta orang kafir melalui Jihad. Dia adalah penghasilan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia adalah penghasilan yang paling
mulia karena di dalamnya terdapat unsur penegakan kalimat Allah semata. Ada yang
mengatakan bahwa hal tersebut juga masuk dalam pengertian pekerjaan dengan
tangan sendiri.
وَعَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ، وَهُوَ بِمَكَّةَ
«إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ،
وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْت شُحُومَ الْمَيْتَةِ،
فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ
بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا، هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ، إنَّ
اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
725. Dari Jabir bin
Abdullah Radiyallahu Anhu bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda di saat hari penaklukan kota Mekah, "Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi dan
patung." Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah! bagaimana pendapatmu tentang
lemak bangkai karena ia bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit
dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?" Beliau menjawab,
"Tidak, ia haram", Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi.
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka (jual beli) lemak bangkai
tetapi mereka memprosesnya (mencairkannya) kemudian menjualnya dan memakan
hasilnya." (Muttafaq Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (2236) dan Muslim (1581)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Jabir bin Abdullah Radiyallahu Anhu
bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda di saat hari penaklukan kota Makkah: (peristiwa itu terjadi di bulan
Ramadhan tahun ke-8 Hijriah) ”Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya mengharamkan jual beli minuman keras,
bangkai" (yakni binatang yang mati tapi bukan karena
disembelih dengan cara yang sesuai syariat) babi dan
patung" (Al-Jauhari berkata: ia adalah berhala. Sedangkan yang lainnya mengatakan, "Berhala adalah sesuatu yang
berbentuk tiga dimensi sedangkan patung hanya sekadar berwujud
dan berbentuk.") Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah! bagaimana
pendapatmu tentang lemak bangkai karena ia bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang
menggunakannya untuk menyalakan lampu?" Beliau menjawab, "Tidak, ia haram",
Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas
mereka (jual beli) lemak bangkai tetapi mereka
memprosesnya (mencairkannya) kemudian menjualnya dan memakan
hasilnya." (Muttafaq Alaihi)
Tafsir
Hadits
Dalam hadits ini terdapat dalil pengharaman
jual beli barang-barang yang disebutkan di atas. Ada yang berpendapat bahwa
illat (sebab) diharamkannya tiga hal tersebut adalah Najis, akan tetapi dalil-dalil yang menunjukkan najisnya
minuman keras tidak spesifik, begitu pula dalil yang menunjukkan najisnya
bangkai dan babi. Barang siapa yang berpendapat illat
pengharamannya adalah najis, berarti telah menyamakan hukum haram pada jual
beli seluruh bentuk najis. Padahal, jamaah ulama berpendapat boleh menjual
sampah yang najis. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal itu boleh bagi
pembeli, tetapi tidak bagi penjual, karena si pembeli butuh. Illat ini
sangat lemah. Ini semua untuk mereka yang menganggap illatnya adalah
najis. Yang nampak adalah bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa najis
itulah illat diharamkannya hal-hal tersebut. Justru illatnya
adalah pengharaman itu sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Diharamkan atas
mereka lemak", beliau menjadikan sebab haramnya barang-barang
tersebut adalah lafazh pengharaman itu sendiri tanpa menyebutkan suatu illat
apapun selainnya. Demikianlah dan tidak termasuk dalam kategori bangkai,
rambut dan bulu karena asalnya memang tidak hidup sehingga tidak layak disebut
sebagai bangkai. Ada yang mengatakan bahwa bulu adalah najis namun dapat
dibersihkan dengan dicuci. Madzhab jumhur ulama membolehkan untuk memperjualbelikannya.
Di antara jumhur ada yang mengecualikan bulu
dari bangkai yang memang najis dzatnya (tidak boleh diperjual belikan). Adapun
Illat pengharaman
jual beli patung, ada yang mengatakan karena tidak ada manfaatnya. Ada yang
mengatakan bahwa dikarenakan apabila ia dipotong-potong bisa bermanfaat, maka
memperjualbelikannya pun boleh. Yang lebih tepat adalah bahwa tidak boleh
memperjualbelikannya dalam keadaan masih berbentuk patung karena dilarang. Dan
boleh memperjualbelikan potongannya karena sudah bukan lagi patung dan sama
sekali tidak ada larangan memperjualbelikan potongan patung.
Saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengungkapkan
perihal haramnya jual beli bangkai, pendengar beranggapan ada sebagian yang
dikecualikan dari hal yang disebutkan secara umum. Maka dari itu dia bertanya,
"Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai", lalu dia menyebutkan tiga manfaat
dari lemak itu. Seakan dia bermaksud mengatakan, "Beritahu saya mengenai lemak,
apakah dikecualikan dari pengharaman atau tidak karena ia bermanfaat?" Kemudian
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab bahwa hal tersebut juga haram dan
beliau menjelaskan bahwa hal itu tidak keluar dari hukum tersebut. Kata ganti
"Ia" pada sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam "Tidak, ia haram",
kembali kepada jual beli, yakni jual beli lemak bangkai (haram hukumnya). Itulah
yang tampak. Karena pembicaraan mengarah kepada hal tersebut. Dan juga karena
Imam Ahmad mengeluarkan hadits yang di dalamnya disebutkan, "Bagaimana
pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai?" (Hadits)
Dan bisa juga kata ganti itu kembali kepada pemanfaatan yang
diisyaratkan dalam ucapannya, "Karena ia bisa digunakan untuk mengecat perahu"
sampai akhir hadits. (Maksudnya jika kata ganti itu kembali kepada
pemanfaatannya, maka berarti memanfaatkan hal itu haram hukumnya -ed.) Sebagian besar ulama berpendapat demikian, mereka berkata, "Bangkai
tidak boleh dimanfaatkan kecuali kulitnya bila telah disamak." Ini berdasarkan
dalil yang telah disebutkan sebelumnya pada permulaan kitab ini. Ini termasuk
pengecualian dari hal yang umum. Ini adalah apabila kata ganti itu kembali
kepada pemanfaatannya. Sedang orang yang mengatakan bahwa kata ganti tersebut
kembali kepada jual beli berdalih dengan ijma' (Konsensus/kesepakatan
ulama) tentang bolehnya memberikan makan anjing dengan bangkai walaupun anjing
berburu, untuk orang yang memanfaatkannya. Kamu telah mengetahui bahwa yang
paling dekat dan mudah diterima adalah bahwa kata ganti itu kembali kepada jual
beli. Dengan ini berarti boleh
memanfaatkan najis secara
mutlak, sedangkan memperjualbelikannya adalah haram. Lebih menguatkan lagi sabda
beliau tatkala mencela perilaku orang Yahudi, "Mereka
memprosesnya (mencairkannya) kemudian menjualnya
dan memakan hasilnya." Ini sangat jelas
mengarah pada larangan jual beli yang berdampak pada memakan hasil penjualannya.
Dan apabila telah jelas bahwa yang diharamkan adalah memperjualbelikannya, maka
memanfaatkan lemak dari bangkai dan minyak yang bernajis untuk semua keperluan
hukumnya adalah boleh. Kecuali digunakan untuk makanan manusia dan meminyaki
badan, keduanya diharamkan karena ada dalil yang
mengharamkan memakan bangkai dan memakai minyak yang bernajis untuk badan. Dan
boleh memberi makan anjing dengan lemak dari bangkai, memberi makan lebah dengan
madu yang bernajis dan juga untuk hewan ternak. Hukum boleh melakukan itu semua
adalah merupakan madzhab Imam Asy-Syafi'i dan dinukil oleh Al-Qadhi Iyadh dari
Imam Malik beserta mayoritas pengikutnya dan Abu Hanifah beserta pengikutnya,
juga Al-Laits.
Perihal bolehnya memanfaatkan najis diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawi bahwa Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seekor tikus yang
jatuh ke dalam minyak samin, beliau menjawab,
إنْ كَانَ
جَامِدًا فَأَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَإِنْ كَانَ مَائِعًا فَاسْتَصْبِحُوا بِهِ
وَانْتَفِعُوا بِهِ
"Bila minyak itu beku, maka buanglah
(tikus itu) dan buang minyak di sekeliling tikus itu,
tapi bila ia cair maka gunakanlah untuk menyalakan lampu
dan manfaatkanlah." [Musykil Al-Atsar (5354)]
Ath-Thahawi mengatakan bahwa para
perawinya adalah tsiqat (terpercaya). Dan hadits ini juga diriwayatkan
dari beberapa orang sahabat seperti Ali Radiyallahu Anhu, Ibnu Umar dan
Abu Musa serta beberapa orang Tabi'in seperti Al-Qasim bin Muhammad dan Salim
bin Abdullah. Ini jelas-jelas merupakan dalil yang kuat. Adapun
membedakan penggunaan antara satu dengan yang lainnya tidak ada
dalilnya, hanya pendapat semata. Adapun barang yang terkena najis, jika
bisa dibersihkan maka tidak ada bantahan atas bolehnya diperjualbelikan. Jika
tidak mungkin dibersihkan, maka haram memperjualbelikannya. Itulah yang
dikatakan oleh Al-Hadawiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa
apabila sesuatu haram diperjualbelikan maka hasil jual belinya juga diharamkan.
Dan setiap tipu muslihat yang bertujuan menghalalkan sesuatu yang haram
merupakan kebatilan.
وَعَنْ ابْنِ
مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «إذَا اخْتَلَفَ الْمُتَبَايِعَانِ
وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ، فَالْقَوْلُ مَا يَقُولُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ
يَتَتَارَكَانِ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
726. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia
berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, 'Apabila dua orang yang berjual beli
berselisih, sedang di antara mereka tidak ada bukti yang akurat, maka perkataan
yang diterima adalah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka
membatalkan transaksi'." (HR. Al-Khamsah dan
dishahihkan oleh Al-Hakim)
[Shahih: Abi Dawud (3511, 3512)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Ibnu Mas'ud Radiyallahu Anhu, dia
berkata: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
'Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka
tidak ada bukti yang akurat, maka perkataan yang diterima adalah apa yang
dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi'." (Ibnu Majah menambahkan dalam riwayatnya, "Dan
barang yang dijual masih ada di depan mata." Sedangkan dalam riwayat Imam
Ahmad "Dan barang dagangan masih tetap seperti semula." Adapun riwayat
yang mengatakan, "Sedangkan barang dagangan sudah terpakai" merupakan
riwayat yang dianggap dha'if).
Ulama banyak mengomentari tentang keshahihan
hadits ini. Ibnu Abdil Bar dalam kitab Al-Istidzkar mengatakan, "Ia
adalah hadits munqathi' (terputus sanadnya). Walaupun para fuqaha
mengamalkannya. Masing-masing bersikap sesuai dengan madzhab yang diikutinya
bagaimana menilai hadits ini." Kemudian dia (Ibnu Abdil Bar) menyebutkan
jalur-jalur perawi hadits tersebut dengan menerangkan keterputusan sanadnya.
Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa bila terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, barang yang dijual
ataupun masalah syarat pada keduanya, maka perkataan yang diterima adalah
perkataan penjual yang disertai sumpah. Ini berdasarkan
kaidah-kaidah syariat yang menyatakan bahwa barang siapa yang perkataannya
diterima, maka harus menyatakan sumpah.
Mengenai hukum dari perkara yang ditunjukkan
oleh hadits ini, ulama mempunyai tiga pendapat:
· Pertama; pendapat Al-Hadi, bahwa yang diterima adalah perkataan
penjual secara mutlak sesuai hadits di atas.
· Kedua; pendapat fuqaha, bahwa keduanya saling bersumpah dan saling
mengembalikan barang masing-masing.
· Ketiga; harus diperinci dan harus dibedakan antara perselisihan dalam
hal bentuk, jenis, sifat dengan perselisihan dalam masalah lainnya.
Dan ini adalah perincian tanpa dalil
yang dijelaskan lebih rinci dalam kitab furu' dan dimikil juga dalam kitab
Syarahnya.
Makna saling bersumpah, yakni penjual
bersumpah bahwa saya tidak menjual barang itu kepadamu seperti itu. Sedangkan
pembeli bersumpah bahwa aku tidak membeli darimu seperti itu. Ada yang
mengatakan bukan seperti itu. Adapun alasan mengapa keduanya harus bersumpah
adalah karena masing-masing dari keduanya adalah tertuduh. Maka dari itu, setiap
pihak wajib bersumpah untuk membersihkan tuduhan terhadapnya. Hal tersebut
dipahami dari sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
«الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ
عَلَى الْمُنْكِرِ»
"Bukti, wajib atas penuntut, sedangkan sumpah bagi orang
yang mengingkari.”
[Al-Baihaqi dalam kitab Al-Kubra
(10/252)]
WalhasiL hadits ini bersifat mutlak, terikat
dengan kriteria tertentu pada dalil-dalil yang terdapat dalam "Bab
Tuntutan-Tuntutan" dan dijelaskan berikut.
وَعَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ
الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
727. Dari Abu Mas'ud Al-Anshari Radhiyallahu Anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang (memakan) uang hasil penjualan
anjing, uang pelacuran, dan upah perdukunan. (Muttafaq Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (2237) dan Muslim (1567)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir
Hadits
Larangan pada dasarnya menunjukkan
pengharaman. Dan sahabat menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
yakni beliau menyebutkan kata yang mengisyaratkan pelarangan walaupun
beliau tidak menyebutkannya. Hadits ini menunjukkan haramnya tiga hal,
yaitu:
Pertama; uang hasil penjualan anjing sesuai konteks
hadits dan konsekuensi dari hadits ini juga menunjukkan haram
memperjualbelikannya. Hal tersebut bersifat umum mencakup semua jenis anjing,
baik anjing terlatih atau yang bukan terlatih dan anjing yang boleh dipelihara
ataupun yang tidak boleh dipelihara. Dari 'Atha dan An-Nakha'i
mereka berpendapat boleh memperjualbelikan anjing untuk berburu berdasarkan
hadits Jabir:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ إلَّا كَلْبَ صَيْدٍ»
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang (memakan)
uang hasil penjualan anjing kecuali anjing untuk berburu."
(Dikeluarkan oleh An-Nasa'i) [An Nasa'i
(7/309), beliau mengatakan, "Hadits ini mungkar.']
diriwayatkan dengan perawi yang
tsiqah (terpercaya) hanya saja beliau meragukan
kesahihannya. Jika shahih, maka hadits ini merupakan pengecualian dari keumuman
larangan tersebut.
Kedua; uang
hasil melacur, ia adalah uang yang diambil oleh pelacur sebagai upah melacurkan
dirinya. Uang itu di dalam disebut mahar sebagai kiasan. Uang itu adalah uang
haram. Para fuqaha (ahli fikih) mempunyai penjelasan terinci mengenai hukum yang
menjelaskan bagaimana kaifiyat (cara) mengambilnya. Ibnul Qayim memilih
pendapat, bahwa bagaimanapun caranya yang pasti harta itu wajib disedekahkan dan
tidak boleh dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dia memberikannya (kepada si
pelacur) atas keinginannya sendiri sebagai upah dari suatu layanan (dalam hal
ini hubungan seks) yang mana tidak mungkin bagi si pelacur meminta dikembalikan
atau dibatalkan (karena sudah dilakukan). Ia adalah penghasilan yang tercela
yang wajib disedekahkan. Dan pelaku maksiat itu sendiri tidak boleh dibantu
untuk dapat melakukan kemaksiatan mendapatkan kembali hartanya.
Ketiga; upah
perdukunan. Ulama sepakat mengharamkan upah perdukunan. Dukun adalah orang yang
mengaku mengetahui perkara gaib dan memberitahukan orang tentang
kejadian-kejadian yang akan terjadi di alam ini. Ini mencakup ahli nujum ataupun
tukang ramal dan yang serupa.
Semuanya masuk dalam pengertian dukun dalam hadits ini. Tidak halal baginya
untuk mengambil apa yang diberikan orang kepadanya dan tidak halal pula bagi
orang yang membenarkan apa yang dilakukannya.
وَعَنْ «جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ عَلَى جَمَلٍ لَهُ قَدْ أَعْيَا. فَأَرَادَ أَنْ
يُسَيِّبَهُ قَالَ: فَلَحِقَنِي النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
فَدَعَا لِي، وَضَرَبَهُ. فَسَارَ سَيْرًا لَمْ يَسِرْ مِثْلَهُ، فَقَالَ:
بِعْنِيهِ بِأُوقِيَّةٍ قُلْت: لَا. ثُمَّ قَالَ: بِعْنِيهِ فَبِعْته بِأُوقِيَّةٍ،
وَاشْتَرَطْت حُمْلَانَهُ إلَى أَهْلِي، فَلَمَّا بَلَغْت أَتَيْته بِالْجَمَلِ،
فَنَقَدَنِي ثَمَنَهُ، ثُمَّ رَجَعْت فَأَرْسَلَ فِي أَثَرِي. فَقَالَ: أَتَرَانِي
مَاكَسْتُكَ لِآخُذَ جَمَلَك؟ خُذْ جَمَلَك وَدَرَاهِمَك. فَهُوَ لَك» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ، وَهَذَا السِّيَاقُ لِمُسْلِمٍ.
728. Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma, bahwa ia
pernah menunggangi untanya yang sudah lemah dan ia ingin melapaskanya (pergi
bebas). Dia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyusul saya lalu
beliau mendoakan unta Saya dan memukulnya. Seketika itu juga unta itu berjalan
dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Lalu beliau bersabda, "Juallah
ia padaku dengan beberapa dirham", saya berkata, "Tidak." Beliau bersabda
lagi, "juallah ia padaku," lalu saya pun menjualnya dengan beberapa
dirham. Dan saya memberi syarat agar ia membawa pulang saya dulu kepada keluarga
saya. Setelah saya sampai baru saya bawa unta itu pada beliau, maka beliaupun
membayar harganya kepada saya. Kemudian saya pulang, tak lama kemudian beliau
mengirim seseorang membuntuti saya. Lalu beliau bersabda, "Apakah kamu kira
kalau saya rela membeli dengan harga murah agar dapat memiliki untamu? Tidak,
ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu". (Muttafaq Alaih. Susunan
lafazh hadits seperti ini adalah menurut riwayat Muslim).
[shahih, Al-Bukhari (2718) dan Muslim
(715)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Dalam hadits ini terdapat petunjuk dibolehkannya meminta
seseorang untuk menjual barang miliknya dan menawarnya dengan harga murah. Dan
dibolehkan pula menjual hewan ternak dengan meminta dispensasi untuk
mengendarainya (walaupun sudah dijual). Akan tetapi, hal ini bertentangan dengan
hadits yang melarang jual beli tsunayya (dengan pengecualian) yang akan
dijelaskan berikut, dan juga hadits yang melarang jual beli bersyarat. Dan
dikarenakan bertentangan, maka ulama pun berbeda pendapat hingga beberapa
pendapat:
· Pertama; Imam Ahmad
berpendapat bahwa hal itu sah, sedangkan hadits larangan jual beli tsunayya
(dengan pengecualian)., di dalamnya terdapat kata, "Kecuali jika hal
(pengecualian) tersebut diketahui" dan kasus dalam hadits di atas masuk dalam
kriteria ini. Yakni pengecualiannya diketahui, maka otomatis jual belinya sah.
Dan hadits yang melarang jual beli bersyarat terdapat kritikan, walaupun bisa
jadi yang dimaksud dengan syarat di sini adalah syarat yang majhul (tidak
diketahui).
· Kedua; Imam Malik
berpendapat hal ini sah bila jaraknya dekat. Dan batasnya selama tiga hari.
Hadits Jabir dimasukkan dalam kriteria ini.
· Ketiga; Tidak
dibolehkan secara mutlak. Hadits Jabir adalah kisah nyata yang merupakan
sanggahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang diduga-duga. Mereka
berargumentasi bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin memberinya uang dan
tidak serius bermaksud untuk membeli. Dan bisa jadi bahwa syarat yang terjadi
bukan pada akad jual belinya dan bisa jadi akadnya tersebut sudah terjadi lebih
dahulu dan ini tidak berpengaruh, kemudian beliau memberinya dispensasi untuk
mengendarai untanya tersebut.
Pendapat pertama nampak lebih kuat, bahwa penjualan dengan
syarat yang seperti ini adalah sah. Dan setiap syarat boleh dilakukan secara
terpisah dalam suatu akad, seperti mengantarkan barang yang dijual ke rumah
pembeli, menjahit pakaian yang dibeli (mungkin pakaiannya rusak atau masih
berbentuk bahan -ed.) dan menempati rumah (yang sudah dijual, karena menanti
proses pencarian rumah baru -ed.) Diriwayatkan dari Utsman bahwa dia pernah
menjual rumah dan minta dispensasi untuk menempatinya selama satu bulan. Hal ini
disebutkan dalam kitab Asy-Syifa'.
وَعَنْهُ قَالَ:
«أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنَّا عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ
غَيْرُهُ. فَدَعَا بِهِ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
فَبَاعَهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
729. Darinya Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Salah seorang
dari kami berwasiat agar budak miliknya dimerdekakan setelah ia meninggal dunia,
padahal dia tidak memiliki harta selain budak tersebut. Lalu Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan menjualnya." (MuttafaqAlaih)
[shahih, Al-Bukhari (2141) dan Muslim
(997)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Darinya (yakni dari Jabir bin
Abdillah) Radiyallahu Anhu, dia berkata, "Salah seorang dari
kami (yakni dari kaum Anshar), memerdekakan seorang budak
miliknya setelah ia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain
budak tersebut lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan
menjualnya." (Muttafaq Alaih)
Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i juga dari Jabir
dan keduanya dalam hadits ini menyebutkan nama-nama si budak dan si lelaki (yang
berwasiat itu). Lafazh haditsnya adalah;
«أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ
أَبُو مَذْكُورٍ أَعْتَقَ غُلَامًا لَهُ يُقَالُ لَهُ أَبُو يَعْقُوبَ عَنْ دُبُرٍ
لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرُهُ فَدَعَا بِهِ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ مَنْ يَشْتَرِيه فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنُ النُّحَامِ بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَدَفَعَهَا
إلَيْهِ»
Dari Jabir bahwa salah seorang dari kaum Anshar yang bernama
Abu Madzkur berwasiat agar budaknya yang bernama Abu Ya'kub dibebaskan setelah
dia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain budak tersebut lalu
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan berkata, "Siapa
yang mau membelinya?"kemudian Nu'aim bin Abdullah bin An-Naham membelinya
dengan harga delapan ratus dirham, kemudian uangnya diserahkan kepada Abu
Madzkur." [Shahih: Abi Dawud
(4957)]
Al-Ismaili menambahkan, "Dan dia mempunyai hutang."
Al-Bukhari memaparkan biografi orang ini dalam Bab
Al-Istiqradh (hutang). Dia berkata, "Barangsiapa menjual harta orang yang
bangkrut maka bagikan kepada para pemilik hutang atau berikan kepada pemiliknya
(jika masih ada sisa -ed.) agar bisa dibelanjakan untuk dirinya sendiri." Beliau
memberi isyarat bahwa alasan menjualnya adalah kebutuhan akan uang hasil
penjualannya itu. Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk
melarang orang yang bangkrut bertindak semaunya terhadap harta miliknya dan
bahwa Imam (pemimpin) berhak menjualkan hartanya. Pembahasan lainnya akan
dijelaskan pada babnya, Insya Allah.
وَعَنْ
مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَنَّ
فَأْرَةً وَقَعَتْ فِي سَمْنٍ، فَمَاتَتْ فِيهِ، فَسُئِلَ
النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْهَا. فَقَالَ: أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَكُلُوهُ» رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ، وَزَادَ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ: فِي سَمْنٍ جَامِدٍ
-
730. Dan dari Maimunah istri Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, bahwa ada seekor tikus jatuh ke dalam minyak samin, lalu mati di
dalamnya. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya (akan hal itu) dan
beliau menjawab, "Buanglah tikus itu dan minyak samin yang ada di sekitar
(bangkai)nya, dan (selebihnya) makanlah". (HR. Al-Bukhari)
[shahih, Al-Bukhari
(235)]
Imam Ahmad dan An-Nasa'i menambahkan, "Dalam minyak samin
yang beku, "
[Ahmad (6/330) dan An-Nasa'i (7/178)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Perintah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk membuang
minyak samin yang di sekitar bangkai, yakni tersentuh olehnya menunjukkan bahwa
bangkai itu najis. Karena maksud dari kata beliau "Dan minyak samin yang ada
di sekitar (bangkai) nya", adalah bagian yang tersentuh (bangkai itu).
Penulis (Ibnu Hajar) dalam kitab Fath Al-Bari' mengatakan, "Tidak ada dalam
hadits yang diriwayatkan secara sah tentang pembatasan kadar yang harus
dibuang." Akan tetapi Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits dari Atha'
secara mursal (terputus) mengatakan bahwa batasannya adalah segenggaman tangan.
Sanad hadits baik kalau bukan karena mursal.
Logika terbalik dari sabda Rasulullah, "Yang beku" adalah
bahwa kalau minyaknya cair, maka semuanya akan menjadi najis karena tidak dapat
dibedakan mana yang tersentuh dan mana yang tidak. Hadits ini juga merupakan
dalil atas tidak bolehnya memanfaatkan minyak yang bernajis hanya saja telah
dijelaskan sebelumnya mengenai hal ini bahwa ia boleh dimanfaatkan kecuali untuk
makanan dan meminyaki badan. Oleh karena itu, sabda Rasulullah pada hadits ini
dan hadits yang akan datang, "Jangan kalian mendekatinya" dipahami sebagai
larangan untuk memakannya dan meminyaki badan dengannya sebagai usaha
mengkompromikan substansi dari beberapa dalil.
Demikianlah! Adapun menyentuh najis secara langsung (dengan
tangan tanpa alat), walaupun sebenarnya tidak boleh, kecuali sekadar untuk
menghilangkannya dari tempat yang wajib atau disunnahkan untuk bersih dari
najis, akan tetapi pada prakteknya dalam hal ini tidak ada satupun yang
menentang bahwa hal itu boleh dilakukan demi untuk menghindari mafsadah
(keburukan). Tinggal pembicaraar mengenai menyentuhnya (sesuatu yang bernajis)
untuk keperluan menyalakan perapian dan menyuburkan tanah dengannya. Ada yanj
mengatakan bahwa ini adalah untuk mengambil manfaat darinya silahkan saja
diqiyaskan hal itu dengan upaya menghilangkan mafsadah
(keburukan). Dan yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa
menghilangkan mafsadah (keburukan) masuk ke dalam upaya mencari kemaslahatan.
Menyalakan perapian bisa mencakup dua hal tersebut pertama untuk menghilangkan
dampak negatifnya dari keberadaan barang itu sekaligus juga bisa mendatangkan
manfaat, yaitu untuk perapian. Sehingga kebolehan menyentuh najis secara
langsung tidak perlu dimasalahkan lagi.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا وَقَعَتْ الْفَأْرَةُ فِي السَّمْنِ، فَإِنْ
كَانَ جَامِدًا فَأَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا، وَإِنْ كَانَ مَائِعًا فَلَا
تَقْرَبُوهُ» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد، وَقَدْ حَكَمَ عَلَيْهِ
الْبُخَارِيُّ وَأَبُو حَاتِمٍ بِالْوَهْمِ.
731. Dan dari Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Apabila tikus jatuh ke dalam minyak
samin, maka buanglah tikus dan minyak samin yang di sekitarnya jika minyak samin
itu beku dan janganlah mendekatinya bila minyak samin itu cair". (HR. Ahmad
dan Abu Dawud, Al-Bukhari dan Abu Hatim menganggap hadits ini keliru).
[dhaif, Dhaif Al-Jami'
(725)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Dan dari Abu Hurairah, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Apabila tikus jatuh ke
dalam minyal samin, maka buanglah tikus dan minyak samin yang di sekitarnya jika
minyak samin itu beku dan janganlah mendekatinya bila minyak samin itu
cair." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, Al-Bukhari dan Abu Hatim menganggap hadits
ini keliru). (Hal tersebut karena At-Tirmidzi berkata, "Saya pernah
mendengar Al-Bukhari berkata, "Ia salah, yang benar adalah Az-Zuhri dari
Abdillah dari Ibnu Abbas dari Maimunah." Al-Bukhari memandang bahwa hadits itu
datang dari Maimunah, maka dari itu dia menganggap keliru hadits tersebut jika
disandarkan kepada Abu Hurairah. Sedangkan Ibnu Hiban dan yang lainnya
menegaskan dalam kitab shahihnya bahwa hadits tersebut ada diriwayatkan dari dua
jalan).
Ketahuilah bahwa perbedaan ini hanya sebatas meluruskan
lafazh yang ada pada hadits, sedangkan hukum yang dipahami dari hadits tersebut
adalah tetap ada. Dan bahwa membuang bangkai tikus dan minyak yang ada
disekitarnya lalu memanfaatkan selebihnya tidak bisa dilakukan kecuali jika
minyaknya beku. Hal ini juga ditetapkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dengan
lafazh,
«خُذُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَكُلُوا
سَمْنَكُمْ»
"Ambillah (bangkai itu) dan minyak yang ada di sekitarnya
kemudian makanlah minyak samin kalian.” [shahih,
Al-Bukhari (235)]
Dapat dipahami dari nash itu, bahwa minyak yang cair dibuang
semuanya karena llat (alasan) tersentuh langsung dengan bangkai. Dan tidak ada
pengecualian pada minyak yang cair bila tersentuh langsung dengan najis dan juga
tidak bisa dibedakan antara yang tersentuh dengan yang tidak. Secara lahiriah
hadits tersebut menjelaskan bahwa minyak samin tidak boleh dipakai walaupun
banyak sekali. Telah dijelaskan jalan untuk mengkompromikan antara hadits ini
dengan hadits Ath-Thahawi.
Tafsir Hadits
Seorang mukallaf (muslim yang berakal dan dewasa) boleh
memberi makan anjing ataupun kucing dengan bangkai atau hal serupa. Ini adalah
pendapat Al-Imam Yahya dan diperkuat oleh Al-Mahdi. Dia berkata, "Karena tidak
didengar dari kaum salaf mengenai pelarangan akan hal itu."
Saya katakan, bahkan (memberinya bangkai) wajib apabila dia
tidak memberi makanan lain. Seperti yang ditunjukkan dalam hadits,
"Sesungguhnya seorang perempuan masuk neraka dikarenakan seekor kucing"
dan beliau mengemukakan alasannya,
لَمْ تُطْعِمْهَا
وَلَمْ تَتْرُكْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
"Dia tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya
agar dapat memakan serangga yang ada di tanah". [shahih, Al-Bukhari (2365) dan Muslim
(904)]
Memakan serangga yang ada di tanah itu haram bagi seorang
mukallaf dan lainnya. Hadits ini menunjukkan bahwa satu dari dua perkara itu
hukumnya wajib, memberi makan kucing itu atau melepaskannya agar dapat memakan
serangga yang ada di tanah. Dan dikarenakan wanita tersebut meninggalkan (tidak
mau melakukan) satu dari kedua perkara itu, maka dia diazab.
وَعَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ قَالَ: «سَأَلْت جَابِرًا - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ ثَمَنِ
السِّنَّوْرِ وَالْكَلْبِ فَقَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ ذَلِكَ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَزَادَ: إلَّا
كَلْبَ صَيْدٍ
732. Dan dari Abu Az-Zubair, dia berkata, "Saya bertanya
kepada Jabir Radhiyallahu Anhu mengenai uang hasil penjualan kucing dan anjing",
dia menjawab, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang hal itu." (HR. Muslim
dan An-Nasa'i dan dia menambahkan, "Kecuali anjing pemburu.")
[shahih, Muslim (1569), As-Sunan (7/191,
309)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Abu Az-Zubair nama lengkapnya Abu Az-Zubair Muhammad bin
Muslim Al-Makki seorang tabi'in, dia banyak meriwayatkan dari Jabir bin
Abdillah.
Penjelasan Kalimat
Muslim mengeluarkan hadits ini dari Jabir dan Rafi' bin
Khudaij, Dan An-Nasa'i menambahkan dalam riwayatnya pengecualian anjing pemburu.
Kemudian dia berkata, "Ini mungkar." Ibnu Hajar berkata dalam kitab at-Talkhish,
"Terdapat pengecualian dari hadits Jabir dan perawinya tsiqat
(terpercaya). Sedangkan riwayat Jabir yang ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad
dan An-Nasa'i pada hadits tersebut terdapat pengecualian anjing yang terlatih.
Hanya saja Al-Munawi berkata dalam kitab Syarh Jami' Ash-Shaghir mengomentari
perkataan Ibnu Hajar, "Sesungguhnya para perawinya tsiqat (terpercaya)." Bahwa
Ibnul Jauzi berkata, "Dalam perawi hadits tersebut terdapat Al-Husain bin Abi
Hafshah, yang dinyatakan oleh Yahya bin Ma'in bahwa dia bukanlah siapa-siapa dan
Imam Ahmad melemahkan riwayatnya. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits
dengan lafazh seperti ini adalah batil, tidak ada asal usulnya.
Yang benar adalah boleh memelihara anjing pemburu tanpa
mengurangi pahala amal orang yang memeliharanya berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam,
«مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إلَّا كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ
مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ»
"Barangsiapa memelihara anjing selain anjing pemburu
niscaya pahala amalnya berkurang setiap hari dua qirath.” [shahih, Al-Bukhari (2322) dan Muslim
(1574)]
Ada yang mengatakan, "Satu Qirath dari amal yang dilakukan di
malam hari dan satu Qirath dari amal yang dilakukan di siang hari." Ada juga
yang mengatakan, "Dari perbuatan yang wajib dan sunnah." Sedangkan larangan
memakan uang hasil penjualan anjing telah disepakati berdasarkan hadits Ibnu
Masud. Muslim mengeluarkan secara terpisah hadits larangan memakan uang hasil
penjualan kucing. Dan asal larangan adalah menunjukkan pengharaman. Jumhur ulama
berpendapat atas haramnya jual beli anjing secara mutlak. Namun mereka berbeda
pendapat tentang kucing. Abu Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat haram
memperjualbelikan kucing. Sedangkan Jumhur membolehkan jual beli kucing bila
terdapat manfaat dan larangan hanya dianggap sebagai anjuran untuk meninggalkan
saja. Tetapi hal itu menyalahi hadits ini. Adapun pendapat yang mengatakan
hadits ini lemah, tertolak dengan dikeluarkannya hadits itu oleh Imam Muslim dan
lainnya. Begitu pula pendapat yang mengatakan hadits ini tidak diriwayatkan dari
Abu Az-Zubair selain Hammad bin Salamah pun tertolak dengan keberadaannya
dikeluarkan oleh Muslim dari Ma'qil bin Abdullah dari Abu Az-Zubair yang
keduanya adalah perawi tsiqat (terpercaya) dan keduanya meriwayatkan dari Abu
Az-Zubair yang juga tsiqah.
«وَعَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -
قَالَتْ: جَاءَتْنِي بَرِيرَةُ. فَقَالَتْ: إنِّي كَاتَبْت أَهْلِي عَلَى تِسْعِ
أَوَاقٍ، فِي كُلِّ عَامٍ أُوقِيَّةٌ، فَأَعِينِينِي. فَقُلْت: إنْ أَحَبَّ
أَهْلُكِ أَنْ أَعُدَّهَا لَهُمْ وَيَكُونُ وَلَاؤُكِ لِي فَعَلْتُ، فَذَهَبَتْ
بَرِيرَةُ إلَى أَهْلِهَا، فَقَالَتْ لَهُمْ: فَأَبَوْا عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ
عِنْدِهِمْ، وَرَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - جَالِسٌ.
فَقَالَتْ: إنِّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إلَّا أَنْ يَكُونَ
الْوَلَاءُ لَهُمْ، فَسَمِعَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -،
فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
فَقَالَ: خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ، فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ
أَعْتَقَ فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -، ثُمَّ قَامَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ رِجَالٍ
يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى؟ مَا كَانَ مِنْ
شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ،
قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ، وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ، وَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ
أَعْتَقَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ - وَعِنْدَ مُسْلِمٍ
قَالَ: «اشْتَرِيهَا وَأَعْتِقِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمْ
الْوَلَاءَ»
733. Dan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, "Barirah
datang kepada saya lantas berkata, 'Saya telah melakukan mukatabah dengan
keluarga tuan saya sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu uqiyyah, maka
tolonglah saya.' Saya berkata, "Jika keluarga tuanmu bersedia saya akan
memberikan mereka bayaran tetapi wala kamu untuk saya, maka saya akan
menolongmu. Kemudian Barirah menghadap keluarga tuannya dan mengungkapkan hal
itu, namun mereka menolak dan mereka mau walanya tetap untuk mereka. Lalu dia
pun pergi meninggalkan mereka dan datang sewaktu Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam sedang duduk. Dia berkata (kepada saya), "Saya telah menyampaikan hal
itu kepada mereka, namun mereka menolak mereka mau walanya tetap untuk mereka",
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar lalu Aisyah pun memberitahukan hal
itu kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda, "Ambillah
dia (budak itu) dan mintalah persyaratan wala itu dari mereka, karena wala itu
hanya untuk orang yang memerdekakan." Lalu Aisyah Radhiyallahu Anha pun
melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri di hadapan
orang-orang lalu beliau memuji dan menyanjung Allah, setelah itu beliau
bersabda, "Amma ba'du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan
yang tidak ada dalam kitabullah? Setiap syarat yang tidak ada dalam kitabulah
adalah batil, walaupun seratus syarat. Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat
(yang ditetapkan) itulah yang lebih kuat. Dan wala itu hanya untuk orang yang
memerdekakan." (Muttafaq Alaih dan lafazhnya dari Al-Bukhari). Menurut
riwayat Muslim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Belilah dan
merdekakanlah serta berilah persyaratan wala kepada mereka."
[shahih, Al-Bukhari (2168) dan Muslim
(1504).]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Dan dari Aisyah Radiyallahu Anha, dia
berkata, "Barirah datang kepada saya (Barirah adalah budak Aisyah) lantas berkata, 'Saya telah melakukan mukatabah (yakni
perjanjian antara budak dengan tuannya) dengan keluarga tuan
saya (mereka adalah orang-orang dari kaum Anshar seperti diriwayatkan
oleh An-Nasa’i) sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu
uqiyyah, maka tolonglah saya.' (dengan menggunakan kata perintah untuk
perempuan) Saya berkata, "Jika keluarga tuanmu bersedia saya
akan memberikan mereka bayaran tetapi wala’ kamu untuk saya, maka saya
akan menolongmu. Kemudian Barirah menghadap keluarga tuannya dan mengungkapkan
hal itu, namun mereka menolak, mereka mau walanya tetap untuk mereka. Lalu
diapun pergi meninggalkan mereka dan datang sewaktu Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam sedang duduk. Dia berkata (kepada saya), "Saya telah
menyampaikan hal itu kepada mereka, namun mereka menolak mereka mau walanya
tetap untuk mereka", Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar lalu Aisyah pun
memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau
bersabda, "Ambillah dia (budak itu) dan mintalah
persyaratan wala itu dari mereka, (Asy-Syafi'i dan Al-Muzani berkata,
maksudnya, "Berilah persyaratan wala atas mereka.") karena wala
itu hanya untuk orang yang memerdekakan." Lalu Aisyah Radiyallahu Anha pun
melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam-- berdiri di hadapan
orang-orang lalu beliau memuji dan menyanjung Allah, setelah itu beliau
bersabda, "Amma ba'du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan
yang tidak ada dalam kitabullah? Setiap syarat yang tidak ada dalam
kitabullah (yakni dalam syariat-Nya yang telah Dia tulis dalam kitab
atas hamba-hamba-Nya. Sedang hukumnya lebih umum dari hanya sekedar ada dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah) adalah batil, walaupun seratus
syarat. Ketetapan Allah itu lebih berhak
(untuk diikuti dibandingkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum
Allah) dan syarat (yang
ditetapkan) itulah yang lebih kuat. Dan wala itu hanya untuk
orang yang memerdekakan." (Muttafaq Alaih dan lafazhnya lafazh
Al-Bukhari). Menurut riwayat Muslim Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Belilah dan merdekakanlah serta berilah
persyaratan wala kepada mereka."
Tafsir Hadits
Hadits di atas adalah dalil disyariatkannya mukatabah, yakni
akad antara tuan dan budaknya agar dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Kata
Mukatabah berasal dari Al-Katbu yang berarti kewajiban,
sebagaimana firman Allah Ta'ala: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ} "Telah diwajibkan atas kalian puasa."
Hukum mukatabah adalah sunnah. Sedangkan Atha' dan Dawud
berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib apabila si budak telah memintanya dengan
harga yang sesuai dengan nilai dirinya, berdasarkan perintah Dalam ayat, {فَكَاتِبُوهُمْ} "Maka berilah mukatabah
pada mereka," dan ini merupakan maksud dari suatu perintah (yakni
wajib).
Saya katakan, "Hanya saja Allah Ta'ala kaitkan kewajiban itu
dengan firman, {إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا} "Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka," yakni setelah diketahui adanya kebaikan pada diri mereka, maka
barulah mukatabah itu wajib. Dalam menafsirkan kata "Kebaikan" dalam ayat ada
empat pendapat:
Pertama: Menurut ulama salaf dan hadits yang marfu'
dan mursal menurut Abu Dawud, bahwasanya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«إنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ حِرْفَةً وَلَا
تُرْسِلُوهُمْ كَلًّا عَلَى النَّاسِ»
"Jika kalian ketahui bahwa mereka mempunyai ketrampilan
dan jangan kalian lepaskan mereka sebagai beban atas orang-orang."
[Al-Marasil (185)]
Kedua: Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud kebaikan
adalah harta.
Ketiga: Masih menurut Ibnu Abbas, termasuk kebaikan
adalah sifat amanah dan tepat janji.
Keempat: Masih menurut Ibnu Abbas yakni bila kamu tahu
bahwa budak yang melakukan perjanjian mukatabah akan melaksanakan kewajibannya
terhadap kamu.
Perkataan Aisyah Radiyallahu Anha: "Setiap tahun satu
uqiyyah" dan Rasulullah menyetujui hal itu berarti merupakan dalil dibolehkannya
pembayaran dilakukan secara berangsur, bukan wajib ataupun syarat seperti yang
dipahami Al-Imam Asy-Syafi'i, Al-Hadi dan selain mereka. Mereka berkata,
"Membayar secara berangsur dalam mukatabah adalah syarat dan angsuran paling
sedikit adalah dua kali bayar. Mereka berargumentasi dengan beberapa riwayat
dari ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dalil.
Sedangkan Jumhur ulama seperti Imam Ahmad dan Imam Malik
berpendapat bolehnya melakukan mukatabah dengan sekali bayar berdasarkan firman
Allah, "Hendaklah kamu buat perjanjian (mukatabah) dengan mereka" tanpa
diperinci dan itulah yang bisa dipahami secara zhahir. Perkataan yang menyatakan
bahwa kemutlakannya dikecualikan oleh atsar yang diriwayatkan dari para salaf
adalah tidak benar karena hal itu bukan Ijma' ulama. Di sisi lain membatasi
pengertian ayat dengan pendapat para ulama adalah batil.
Sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam:
"Ambilah dia" menunjukkan pengertian dibolehkannya
memperjualbelikan budak yang masih dalam proses perjanjian mukatabah tatkala dia
kesulitan untuk melunasinya. Ulama mempunyai tiga pendapat mengenai hukum
memperjualbelikan budak yang masih dalam proses perjanjian mukatabah:
Pertama: Boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dan
Imam Malik, alasan mereka adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
«الْمُكَاتَبُ رِقٌّ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ
دِرْهَمٌ»
"Al-Mukatab (hamba yang masih dalam proses perjanjian
mukatabah) masih berstatus budak selama masih tersisa satu dirham."
Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Amru bin Syu'aib dari
bapaknya dari kakeknya. [hasan, Shahih Abi Dawud
(3926)]
Kedua: Boleh menjualnya atas kerelaannya (budak dan
tuannya) kepada orang yang akan memerdekakannya. Ini berdasarkan apa yang bisa
dipahami secara zhahir dari hadits Barirah.
Ketiga: Tidak boleh menjualnya secara mutlak. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah dan Jama'ah. Mereka berpendapat, karena budak
tersebut telah keluar dari kewenangan tuannya dan mereka mentakwilkan hadits
tersebut.
Pendapat pertama lebih jelas karena mengaitkan kejadian yang
ada dalam kisah Barirah dengan sifat tertentu tidak bisa dijadikan dalil bahwa
hal itu adalah suatu syarat. Dan sesungguhnya itulah yang sebenarnya terjadi
lantas dari mana mereka bisa mengatakan bahwa itu adalah syarat? Adapun pendapat
yang mengatakan bahwa menjualnya berkonsekuensi menjadikan hak Allah Ta'ala
hilang, dapat dijawab bahwa hak Allah ada pada sesuatu yang telah tetap dan hal
itu tidak akan tetap kecuali setelah ditunaikan. Katakanlah bahwa si budak
tersebut tidak lagi mampu melunasi kewajibannya.
Sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan mintalah
persyaratan wala itu dari mereka", Jika penggunaan huruf Lam (maksudnya kata
'lahum' dalam hadits) lantas dimaksudkan 'Ala (hingga menjadi 'alaihim') berarti
ini seperti yang ada pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا} "Dan jika kamu berbuat
jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri", dan firman Allah Ta'ala:
{وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ} "Mereka menyungkur atas muka", sebagaimana disebutkan
oleh Imam Asy-Syafi'i.
Tidak ada masalah hanya saja argumentasi ini dianggap lemah,
karena kalau demikian adanya, maka tidak perlu dipungkiri persyaratan wala yang
mereka minta. Namun hal ini bisa dijawab, bahwa yang dipungkiri adalah
persyaratan wala yang mereka minta pada awal penawaran. Ada yang mengatakan
bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan itu (perintah beliau kepada
Aisyah untuk meminta persyaratan wala dari tuannya si Barirah -Edt.) bermaksud
untuk mengingkari dan mencela sikap mereka. Karena beliau Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah menjelaskan kepada mereka mengenai hukum wala dan bahwa persyaratan
yang mereka minta tidak dihalalkan. Maka tatkala terlihat adanya pelanggaran
dari mereka, beliau bersabda kepada Aisyah hal itu. Maksud beliau adalah,
"Jangan kamu pedulikan karena persyaratan yang mereka minta bertentangan
dengan kebenaran." Perintah tersebut bukan dimaksudkan bahwa Rasulullah
membolehkan permintaan syarat tersebut, tetapi justru sebagai celaan dan
perintah untuk tidak memperdulikan persyaratan yang mereka minta tersebut karena
ada atau tidak sama saja.
Setelah memahami hal-hal ini dan memahami tafsiran dari sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka hilanglah permasalahan mengenai
bagaimana mungkin beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam mengizinkan Aisyah untuk
meminta persyaratan (dalam transaksi jual beli ini -Edt.) dari mereka yang hal
itu sekilas nampak seperti tipu muslihat dan pengelabuan terhadap si penjual
karena dia menduga kalau dia masih mempunyai hal untuk memanfaatkan barang yang
dijualnya, padahal kenyataannya berbeda. Tapi setelah diteliti lebih dalam
penafsiran dari sabda beliau, maka hilanglah permasalahan tersebut.
Dan dalam sabda beliau, "Adapun wala adalah untuk orang
yang memerdekakannya", terdapat dalil pembatasan hak wala hanya milik orang
yang memerdekakan budak dan tidak beralih kepada orang lain.
وَعَنْ ابْنِ
عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: نَهَى عُمَرُ عَنْ بَيْعِ أُمَّهَاتِ
الْأَوْلَادِ فَقَالَ: لَا تُبَاعُ، وَلَا تُوهَبُ، وَلَا تُورَثُ، يَسْتَمْتِعُ
بِهَا مَا بَدَا لَهُ. فَإِذَا مَاتَ فَهِيَ حُرَّةٌ. رَوَاهُ مَالِكٌ
وَالْبَيْهَقِيُّ وَقَالَ: رَفَعَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ فَوَهِمَ.
734. Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Umar
melarang menjual ummul walad (budak-budak wanita yang memiliki anak dari hasil
hubungan dengan tuannya -Edt.), dia berkata, 'Dia tidak boleh dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Tuannya boleh bersenang-senang dengannya
sekehendak hati dan jika dia meninggalkan, maka dia (budak wanitanya itu)
merdeka'." (HR. Malik dan Al-Baihaqi dan dia mengatakan bahwa sebagian perawi
menganggapnya marfu' tapi mereka keliru)
[Dhaif secara marfu: lihat Al-Irwa’ 1776.
Ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia
berkata, "Umar melarang menjual ummul walad, dia berkata, 'Dia tidak boleh
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Tuannya boleh bersenang-senang
dengannya sekehendak hati dan jika dia meninggal dunia, maka dia (budak
wanitanya itu) merdeka'." (HR. Malik dan Al-Baihaqi dan dia mengatakan bahwa
sebagian perawi menganggapnya marfu' tapi mereka keliru.) Ad-Daraquthni
mengatakan bahwa yang benar hadits ini adalah hadits mauquf (hadits yang
sanadnya hanya sampai kepada sahabat tidak sampai kepada Rasul Shallallahu
Alaihi wa Sallam -Edt.) hanya sampai kepada Umar. Penilaian yang sama juga
disampaikan oleh Abdul Haq. Sedang penulis kitab Al-Ilmam mengatakan
bahwa yang lebih masyhur mengenai hadits ini adalah hadits mauquf. Dan perawi
yang meriwayatkannya secara marfu' adalah perawi tsiqat.
Dalam bab ini banyak terdapat atsar (hadits mauquf-Edt) dari
para sahabat. Al-Hakim, Ibnu 'Asakir dan Ibnul Mundzir mengeluarkan hadits dari
Buraidah, dia mengatakan, "Saya kala itu sedang duduk di samping Umar saat
terdengar wanita berteriak, dia berkata, "Wahai Yarfa" perhatikan suara apa
itu?" Yarfa" pun pergi untuk melihat apa yang terjadi kemudian kembali seraya
berkata, "Budak perempuan milik Quraisy yang ibunya dijual', Umar berkata,
"Panggil kaum Muhajirin dan kaum Anshar ke sini", Tidak beberapa lama kemudian
rumah dan ruangan penuh sesak oleh orang, kemudian beliau memuji dan menyanjung
Allah kemudian berkata, "Amma ba'du, apakah termasuk ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad memutuskan hubungan keluarga?" Mereka menjawab, "Tidak." Dia berkata,
"Sikap ini telah menyebar di antara kalian." Kemudian beliau membacakan firman
Allah Ta'ala,
{فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ
تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ}
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (QS. Muhammad:
22)
Kemudian dia berkata, "Jenis pemutusan hubungan manakah yang
lebih nista dibandingkan dengan menjual ibu kandung seseorang dari kalian,
sedangkan Allah telah melapangkan kehidupan kalian?" Mereka berkata: "Lakukan
apa yang kamu pandang baik." Kemudian dia menulis dan menyebarkan ke seluruh
pelosok kebijakan yang isinya, "(Seorang budak yang merupakan) ibu dari anak
yang merdeka tidak boleh dijual, karena termasuk bentuk pemutusan hubungan
keluarga. Hal itu tidak diperbolehkan."
Hadits ini dan atsar ataupun hadits lain yang serupa
merupakan dalil bahwa budak perempuan apabila telah melahirkan anak dari
tuannya, maka dia tidak boleh dijual. Baik anak tersebut masih hidup ataupun
tidak. Mayoritas ulama berpendapat seperti di atas. Dan ulama-ulama muta'akhirin
mengaku telah terjadi Ijma (konsensus) mengenai larangan menjual ummul walad.
Al-Hafidz Ibnu Katsir membahas masalah ini secara terpisah dalam kitabnya dan
dia mengatakan, "Kesimpulan yang dapat saya ambil dari pendapat As-Syafi'i
adalah bahwa dia mempunyai tiga pendapat dari delapan pendapat yang ada dalam
masalah ini." Sedangkan An-Nashir, Al-Imamiyah dan Dawud berpendapat boleh
menjualnya berdasarkan substansi hadits berikut:
وَعَنْ جَابِرٍ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «كُنَّا نَبِيعُ سَرَارِينَا أُمَّهَاتِ
الْأَوْلَادِ، وَالنَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَيٌّ، لَا
يَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا»
735. Dan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Kami
dahulu menjual budak-budak wanita kami, ummahatul awlaad (jamak dari ummul
walad) sedangkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam masih hidup, namun beliau
tidak mempermasalahkan hal itu." (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni.
Hadits ini disahkan oleh Ibnu Hibban)
[shahih, As-Silsilah Ash-Shahihah
(2417)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam
Asy-Syafi'i, Al-Baihaqi, Abu Dawud dan Al-Hakim. Dan dia (Al-Hakim) menambahkan,
"Ini di zaman Abu Bakar dan tatkala Umar melarang kami, maka kami berhenti
melakukannya."
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari hadits Abu Said dan sanadnya
lemah. Al-Baihaqi mengatakan bahwa tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengetahui dan melegitimasi hal itu.
Namun, hal ini dibantah dengan adanya riwayat An-Nasa'i yang di dalamnya ada
perkataan, "Sedangkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam masih hidup namun beliau
tidak mempermasalahkan hal itu."
Ulama yang berpendapat bolehnya menjual ummul walad
juga berargumentasi dengan hadits shahih dari Ali Radiyallahu Anhu, bahwa dia
sedianya memandang haram berubah menjadi berpendapat boleh.
Abdur Razaq meriwayatkan dari Ma'mar dari Ayub dari Ibnu
Sirin dari Ubaidah Al-Salmani Al-Muradi, dia berkata, "Saya mendengar Ali
Radiyallahu Anhu berkata, 'Pendapat saya dan pendapat Umar mengenai tidak
bolehnya ummul walad dijual adalah sama. Kemudian saya berpendapat boleh untuk
menjualnya berdasarkan hadits di atas yang terbilang paling sah sanadnya. Dalam
syarah (penjelasan)nya dalil-dalil tersebut dijawab bahwa bisa jadi hadits Jabir
terdahulu, sedangkan hadits yang kita sebutkan (yakni hadits Umar) sebagai
nasikh (penghapusnya). Juga hadits Jabir adalah taqrir (legitimasi dengan
mendiamkan permasalahan -Edt.), sedangkan hadits Umar berupa qaul (komentar
langsung dari Umar). Dan saat terjadi perselisihan, maka yang terkuat yang dalil
yang berbentuk qaul (perkataan).
Saya katakan di sini bahwa tidak tersembunyi lemahnya jawaban
ini. Karena ini adalah nasakh (penghapusan) yang hanya berdasarkan dugaan saja.
Ulama yang berpendapat bolehnya menjual ummul walad pun bisa membalik
argumentasi dengan mengatakan, bahwa bisa jadi hadits Umar terdahulu kemudian
dinasakh (dihapus hukumnya) dengan hadits Jabir.
Kemudian argumentasi mereka: hadits Jabir adalah
taqrir (legitimasi dengan mendiamkan permasalahan -Edt.), sedangkan
hadits Umar berupa qaul (komentar langsung dari Umar). Dan saat terjadi
perselisihan, maka yang terkuat yang dalil yang berbentuk qaul (perkataan), bisa
dijawab dengan mengatakan bahwa yang jadi masalah adalah bahwa dalil qaul
(perkataan) dalam hadits Umar tidak marfu', bahkan secara tegas penulis (Ibnu
Hajar) dan yang lainnya mengatakan bahwa yang menganggap hadit tersebut marfu'
adalah keliru. Larangan menjual ummul walad hanya pendapat Umar dan beberapa
sahabat yang dia ajak musyawarah saja, bukan ijma'.
Dan ini bukan pula hujjah untuk berasumsi bahwa bila dalam
masalah ini terdapat nash, niscaya Umar dan para sahabat lainnya tidak perlu
mengeluarkan pendapat.
Adapun mengenai hadits Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa saat
Maria melahirkan anak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bernama
Ibrahim, Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Anaknya telah
memerdekakannya." [dhaif, Al-Irwa'
(1772)]
Ibnu Abdil Bar mengatakan dalam kitab Al-Istidzkar bahwa
hadits ini diriwayatkan dalam beberapa versi tapi tidak kuat dan para ahli
hadits tidak mengesahkannya.
Dan katanya pula, begitu juga dengan hadits Ibnu Abbas
Radiyallahu Anhu5 bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Budak
perempuan manapun yang melahirkan anak dari tuannya, maka dia akan merdeka bila
tuannya meninggal dunia" [dhaif, Al-Irwa'
(1771)]
Hadits inftidak sah karena Al-Husain bin Abdullah bin
Ubaidillah bin Abbas meriwayatkannya sendirian. Dan dia sendiri seorang perawi
yang dhaif (lemah) dan matruk (ditinggalkan). Adapun Abu Muhammad bin Hazm
mengesahkan pendapat pertama (yakni tidak boleh menjual ummul walad) dan dia
mengomentari apa yang kami paparkan di sini dalam kitab Hawasyi Dhau'
An-Nahar.
وَعَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ فَضْلِ الْمَاءِ» . رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَزَادَ فِي
رِوَايَةٍ: وَعَنْ بَيْعِ ضِرَابِ الْجَمَلِ.
736. Dan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual kelebihan air." (HR. Muslim. Dalam
suatu riwayat ia menambahkan, "Dan mengkomersilkan perkawinan unta jantan.")
[shahih, Muslim
(1565)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Dan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual kelebihan air." (HR.
Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan, "Dan mengkomersilkan perkawinan unta
jantan.") Dikeluarkan oleh Ashabus Sunan dari hadits lyas bin Abdu,
disahkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Al-Fath Al-Qusyairi mengatakan bahwa hadits
tersebut sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim.
Tafsir Hadits
Hadits di atas adalah dalil tidak dibolehkannya menjual
kelebihan air dari kebutuhan pemiliknya. Ulama mengatakan, "Gambarannya adalah
di suatu tanah terdapat sumber air, kemudian pemilik tanah menggunakan air
tersebut lalu masih banyak kelebihan. Maka dia tidak boleh melarang orang lain
untuk mengambil air dari tempatnya itu. Begitu pula apabila seseorang menggali
tanah miliknya yang mengandung air. Atau menggali sumur untuk digunakan minum
dan mengairi sawahnya, maka dia tidak berhak melarang orang lain mengambil
kelebihan airnya itu. Secara lahiriah, hadits ini menunjukkan bahwa wajib
atasnya untuk memberikan kelebihan air yang dimilikinya untuk diminum, mandi
atau untuk mengairi sawah orang lain. Baik di tanah milik umum atau milik
pribadi.
Pengertian umum seperti inilah yang dipahami oleh Ibnul
Qayyim dalam kitab Al-Hadyu, beliau mengatakan bahwa boleh memasuki tanah
milik orang untuk sekedar mengambil air dan rumput karena dia juga mempunyai hak
akan hal itu. Dan ia tidak juga dilarang untuk menggunakan barang milik orang
lain dalam hal ini. Dia juga mengatakan bahwa Imam Ahmad menerangkan secara
tertulis mengenai bolehnya seorang penggembala untuk mengembalakan binatang di
tanah yang terlarang atasnya. Pendapat seperti ini juga dipahami oleh Al-Manshur
Billah dan Imam Yahya dalam hal mengambil kayu bakar dan rumput. Kemudian dia
berkata, tidak ada manfaatnya meminta izin dari pemilik tanah. Karena dia tidak
berhak melarang orang untuk masuk, bahkan wajib atasnya untuk memberinya
kesempatan dan haram atasnya melarang orang tersebut. Karena masuk untuk
keperluan ini tidak memerlukan izin. Izin hanya diperlukan jika memasuki suatu
tempat yang digunakan untuk tinggal, karena demikianlah perintahnya. Adapun
tempat yang tidak digunakan untuk tinggal, Allah berfirman,
{لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ
لَكُمْ}
"Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak
disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui
apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. An-Nur: 29)
Siapapun orang yang menggali sumur atau sungai, maka dia
paling berhak terhadap air tersebut, tetapi tidak boleh melarang orang lain
mengambil kelebihannya. Sama saja seperti yang kita katakan mengenai masalah
ini, sebagaimana komentar beberapa ulama, "Bahwa air adalah hak untuk yang
menggalinya tetapi bukan miliknya." atau "Benar air itu miliknya tetapi wajib
atasnya untuk memberikan kelebihannya untuk orang lain."
Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
«أَنَّهُ قَالَ رَجُلٌ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا
الشَّيْءُ الَّذِي لَا يَحِلُّ مَنْعُهُ قَالَ الْمَاءُ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ
مَا الشَّيْءُ الَّذِي لَا يَحِلُّ مَنْعُهُ قَالَ الْمِلْحُ»
bahwa pernah seseorang bertanya, "Wahai Nabi Allah, apa
sesuatu yang tidak boleh dilarang?" Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam
menjawab, "Air" dia bertanya lagi, "Wahai Nabi Allah, apa sesuatu yang
tidak boleh dilarang?" beliau menjawab, "Garam." [Dhaif: Abi Dawud (3476)]
Hadits ini menunjukkan bahwa hukum air berlaku pada garam dan
hal lain yang serupa seperti rumput, sehingga siapapun yang lebih dahulu membawa
gembalaannya ke tanah milik umum yang ada rumputnya, maka dia yang lebih berhak
mengembala di sana selagi gembalaannya masih ada di sana dan apabila telah
keluar dari tempat itu dia tidak berhak untuk menjual rumput itu.
Adapun sesuatu yang sudah diambilnya, baik di dalam bejana
atau wadah lainnya, maka ia adalah sesuatu yang bisa dikecualikan dengan
mengiyaskannya dengan masalah kayu bakar yang terdapat dalam sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam,
«لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلًا فَيَأْخُذَ
حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ فَيَبِيعَ ذَلِكَ فَيَكْفِ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أُعْطِيَ أَوْ مُنِعَ»
"Sungguh seseorang dari kalian yang mengambil seutas tali
lalu dia mengambil seikat kayu bakar kemudian menjualnya demi menjaga kehormatan
dirinya, hal itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang-orang, bisa jadi
diberi atau ditolak.” [shahih, Al-Bukhari
(2373)]
Dalam hal ini, ia boleh menjualnya dan tidak wajib untuk
memberikannya kecuali kepada orang yang sangat membutuhkan. Begitu juga halnya
menjual sumur dan mata air, hukumnya boleh. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ يُوَسِّعُ بِهَا
عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَلَهُ الْجَنَّةُ فَاشْتَرَاهَا عُثْمَانُ»
"Barangsiapa yang membeli sumur Raumah yang digunakan
untuk kebutuhan kaum muslimin, maka baginya surga.”Sumur tersebut pun dibeli
oleh Utsman. [hasan, At-Tirmidzi
(3703)]
Kisah ini sudah masyhur dan akan disebutkan berikut. Dan
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan mengomersilkan perkawinan unta
jantan." Maksudnya, beliau melarang memakan upah hasil mengawinkan unta
jantan.
'
737
وَعَنْ ابْنِ
عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ»
737. Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang makan upah mengawinkan
pejantan." (HR. Al-Bukhari)
[shahih, Al-Bukhari
(2284)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini dan hadits yang sebelumnya merupakan dalil
diharamkannya menyewa pejantan untuk dikawinkan. Dan hasil upah dari hal itu
haram hukumnya. Sekelompok ulama salaf berpendapat bahwa hal itu boleh, hanya
saja menyewanya dengan tempo waktu dan jumlah perkawinan yang diketahui. Mereka
beralasan dengan faktor kebutuhan menuntut hal itu. Ia merupakan manfaat yang
dibutuhkan. Sedangkan hadits yang melarang tersebut mereka anggap hanya sebatas
anjuran. Namun, ini menyalahi asal hukumnya.
وَعَنْهُ «أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ
الْحَبَلَةِ، وَكَانَ بَيْعًا يَبْتَاعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ: كَانَ الرَّجُلُ
يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ ثُمَّ تُنْتَجُ الَّتِي فِي
بَطْنِهَا» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.
738. Dan darinya Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang memperjualbelikan anak hewan yang
dikandung oleh hewan yang masih dalam kandungan. Ini adalah jual beli yang
dilakukan oleh masyarakat jahiliyah, yaitu seseorang membeli unta sampai
melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan."
(Muttafaq Alaih dan lafazhnya adalah lafazh Al-Bukhari)
[shahih, Al-Bukhari (2143) dan Muslim
(1514)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan darinya (yakni Ibnu Umar), Radiyallahu Anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
melarang memperjualbelikan anak hewan yang akan dikandung oleh hewan yang masih
dalam kandungan. Ini adalah jual beli yang dilakukan oleh masyarakat
jahiliyah, (ditafsirkan dengan sabda beliau) yaitu
seseorang membeli unta sampai melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam
perut itu juga melahirkan." (penafsiran ini adalah sisipan dari perkataan
An-Nafi' atau ada yang mengatakan perkataannya Ibnu Umar.) (Muttafaq Alaih dan lafazhnya adalah lafazh Al-Bukhari). Dan
dalam suatu riwayat disebutkan "Anak dari hewan yang dikandungan unta", tanpa
syarat kelahiran. Dan dalam riwayat lain disebutkan, "Unta melahirkan anak yang
dikandung dalam perutnya", tanpa menyebutkan anak yang dilahirkannya itu telah
mengandung dan melahirkan.
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan haramnya transaksi jual beli
seperti ini. Ulama berbeda pendapat tentang objek dari larangan itu karena
perbedaan riwayat yang ada. Apakah dikarenakan pembayaran harga unta yang
ditangguhkan sampai harga tersebut dapat diperoleh atau dikarenakan penjualan
anak yang dihasilkannya?
Imam Malik, Asy-Syafi'i dan Jama'ah berpendapat dengan
pendapat pertama. Mereka mengatakan, bahwa alasan pelarangan disebabkan waktu
pembayaran yang tidak pasti. Sedangkan Imam Ahmad, Ishaq dan jama'ah ulama ahli
bahasa berpegang pada pendapat kedua. At-Tirmidzi juga secara tegas berpegang
pada pendapat ini. Mereka mengatakan bahwa alasan pelarangan karena keberadaan
transaksi jual beli itu fiktif, tidak jelas waktunya dan tidak mampu
diserahterimakan sehingga ia termasuk dalam kategori jual beli gharar (tidak
jelas, tipuan). Itulah yang diisyaratkan oleh Al-Bukhari dengan menamakan bab
ini dengan bab jual beli gharar. Dia juga mengisyaratkan keberpihakan pada
penafsiran pertama dan dia juga menguatkannya pada bab salam karena
keberadaannya sesuai dengan hadits, walaupun dari tinjauan bahasa lebih sesuai
dengan pendapat kedua.
Perselisihan di atas dapat disimpulkan menjadi empat
pendapat. Karena hal itu bisa diklasifikasikan berdasarkan, apakah maksud dari
transaksi di atas jual beli sampai waktu tertentu atau jual beli janin?
Berdasarkan pernyataan pertama, timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan
waktu di dalam hadits adalah waktu kelahiran sang induk atau anaknya? Sedangkan
berdasarkan pendapat kedua, timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dalam hadits
penjualan janin yang pertama atau janin yang kedua? Sehingga semuanya menjadi
empat pendapat.
Dikisahkan dari Ibnu Kaisan dan dari Al-Mubarid bahwa yang
dimaksud dengan al-habalah dalam hadits adalah al-karamah dan
bahwa maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual
buah anggur sebelum layak dikonsumsi, tetapi ini tidak benar karena ejaan dari
kalimat tersebut tidak mendukung pendapat ini.
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْوَلَاءِ، وَعَنْ هِبَتِهِ» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
739. Dan darinya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
melarang menjual belikan wala (hak waris mewarisi dari budak yang
dimerdekakan) dan juga menghibahkannya kepada orang lain. (Muttafaq Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (2535), Muslim
(1506).]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan darinya (yakni Ibnu Umar), bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual belikan
wala (hak perwalian) dan juga menghibahkannya kepada
orang lain. (Muttafaq Alaih). Yang dimaksud dengan wala adalah wala
karena memerdekakan budak. Yakni apabila budak yang merdeka meninggal dunia maka
orang yang memerdekakannya mewarisi. Dahulu orang Arab menghibahkan dan
memperjualbelikan hak mewarisi ini lalu akhirnya hal itu dilarang. Karena wala
itu sama seperti nasab tidak dapat serta merta dihilangkan. Sebagaimana
disebutkan dalam kitab An-Nihayah.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ» .
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
740. Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli dengan cara melempar
batu dan jual beli gharar (spekulasi)." (HR. Muslim)
[shahih, Muslim
(1513)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits di atas mencakup dua dari beberapa bentuk transaksi
jual beli yang dilarang, yaitu:
Pertama; Jual beli dengan cara melempar batu. Ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan makna Jual beli dengan cara melempar batu.
Ada yang mengatakan, bahwa bentuknya adalah si penjual berkata, "Lemparlah batu
ini, di manapun batu ini jatuh mengenai baju, maka ia menjadi milikmu dengan
harga satu dirham." Ada juga yang mengatakan, "Si penjual menjual tanah sejauh
lemparan batu si pembeli. Atau ada yang mengatakan, "Ia dengan cara menggenggam
batu lalu berkata, "Saya akan mendapati barang yang dijual sesuai jumlah batu
yang keluar dari genggaman saya." Atau seseorang menjual barang dagangan dengan
cara menggenggam batu di tangannya seraya mengatakan bahwa saya akan dapat harga
sesuai jumlah batu yang keluar dari genggaman tangan saya yang setiap batu
dihargai satu dirham. Pendapat lain, yakni dengan cara salah satu dari penjual
ataupun pembeli menggenggam batu di tangannya kemudian mengatakan bahwa kapanpun
batu itu jatuh dari genggamannya maka wajib transaksi jual beli dilakukan.
Pendapat lain, yakni dengan menghadang sejumlah kambing lalu mengambil batu
sambil mengatakan, kambing mana saja yang terkena lemparan batu akan menjadi
milikmu dengan harga sekian dirham. Semua bentuk transaksi jual
beli tersebut mengandung spekulasi kecurangan karena harga atau jenis barangnya
fiktif tidak jelas. Kata gharar mencakup itu semua, ia disebutkan dalam bentuk
tunggal karena keberadaannya sebagai transaksi yang biasa dilakukan orang-orang
jahiliyah yang akhirnya dilarang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan
mengaitkan jual beli dengan batu karena memang mereka menggunakannya dalam
transaksi jual beli.
Kedua; Jual beli gharar, yaitu spekulasi yang
berkonsekuensi adanya ketidakrelaan setelah transaksi jual beli benar-benar
terjadi. Pada akhirnya hal ini masuk kriteria memakan harta orang lain dengan
cara yang batil. Dan terealisasi dalam bentuk:
· Ketidakmampuan
untuk menyerahkan barang kepada si pembeli seperti menjual budak yang kabur dan
kuda yang lari.
· Keberadaan barang
yang fiktif dan tidak jelas.
· Si penjual tidak
secara penuh memiliki barang yang dijualnya seperti ikan di dalam air yang
banyak atau bentuk transaksi jual beli lain yang serupa.
Terkadang bisa jadi transaksi jual beli mengandung unsur
gharar, tetapi tetap sah karena faktor kebutuhan, seperti ketidaktahuan mengenai
pondasi rumah yang hendak dibeli (kuat atau tidak), menjual jubah yang terbuat
dari katun walaupun dia tidak melihatnya tetapi karena hal tersebut telah
disepakati kebolehannya, maka hukumnya sah. Begitu juga boleh menyewa rumah dan
kendaraan selama satu bulan walaupun satu bulan kadang tiga puluh hari dan
kadang dua puluh sembilan hari. Begitu pula halnya dengan kamar mandi umum
dikenakan bayaran, dia sah walaupun masing-masing orang berbeda dalam
menggunakan air dan lama waktu penggunaan toilet tersebut. Dan juga membeli
minum dan langsung meminumnya dari wadah seperti tuak, hal ini sah walaupun
berbeda kadarnya (antara satu orang dan yang lainnya berbeda-beda -edt). Namun,
ulama sepakat akan tidak diperbolehkannya menjual janin di perut dan burung di
udara. Dan mereka juga berbeda pendapat pada banyak bentuk transaksi jual beli
yang dibahas dalam buku-buku fikih.
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
قَالَ: «مَنْ اشْتَرَى طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ» رَوَاهُ
مُسْلِمٌ.
741. Dan darinya Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membeli suatu makanan
maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima sukatannya (ukuran,
timbangan)." (HR. Muslim)
[shahih, Muslim
(1528)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan darinya (yakni Abu Hurairah)
Radiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya
sebelum menerima sukatannya (ukuran, timbangan)." (HR. Muslim).
Terdapat riwayat dalam hal makanan yang mengatakan bahwa tidak boleh si pembeli
menjualnya hingga telah sempurna memilikinya, yakni hadits yang diriwayatkan
oleh sekelompok sahabat. Terdapat pula riwayat yang lebih umum dari hanya
sekadar makanan, yaitu hadits Hakim bin Hizam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Dia (Hakim bin Hizam) berkata, "Saya berkata, "Wahai Rasulullah, Saya membeli
beberapa barang, mana yang halal dari barang itu dan apa yang haram?" Beliau
bersabda,
«إذَا اشْتَرَيْت شَيْئًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى
تَقْبِضَهُ»
"Jika kamu membeli sesuatu, maka jangan kamu jual sampai
kamu menerimanya.” [Al-Musnad (3/402-403)]
Ad-Daraquthni dan Abu Dawud meriwayatkan dari Zaid bin
Tsabit,
«أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلْعَةُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا
التُّجَّارُ إلَى رِحَالِهِمْ»
"Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
menjual barang dagangan di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang
mengambilnya ke tempat mereka". [hasan, Ad-Daraquthni (3/13),
dan Abi Dawud (3499)]
Sedangkan ketujuh Imam hadits selain At-Tirmidzi mengeluarkan
hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى
يَسْتَوْفِيَهُ»
"Barangsiapa yang membeli makanan maka jangan menjualnya
sampai dia sempurna memilikinya.” [Al-Bukhari (2132) dan
Muslim (1525)]
Ibnu Abbas berkata, "Saya tidak memahami masalah ini kecuali
seperti itu." Hadits-hadits tersebut menunjukkan tidak bolehnya menjual barang
dagangan apapun yang dibeli kecuali setelah diterima secara utuh oleh pembeli
dan telah memilikinya secara sempurna.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum tersebut khusus untuk
makanan, tidak pada barang dagangan lainnya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal tersebut khusus untuk
barang yang bisa dipindahkan, tidak untuk yang lainnya berdasarkan hadits Zaid
bin Tsabit, karena ini termasuk barang dagangan. Pendapat ini bisa dijawab bahwa
penyebutan hukum yang khusus tidak dapat mengkhususkan hal yang bersifat umum.
Sedangkan hadits Hakim bersifat umum sehingga wajib diamalkan apa adanya,
demikianlah pendapat jumhur ulama bahwa tidak boleh menjual barang yang dibeli
sebelum diterima pembeli secara mutlak. Begitu pula yang diisyaratkan oleh
hadits Hakim. Dan Ibnu Abbas mengambil kesimpulan hukum seperti itu.
Tafsir Hadits
Ad-Daraquthni mengeluarkan hadits Jabir,
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يَجْرِيَ فِيهِ الصَّاعَانِ صَاعُ
الْبَائِعِ وَصَاعُ الْمُشْتَرِي»
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual
makanan hingga berlaku dua sha'; sha' penjual dan sha' pembeli".
[Ad-Daraquthni (3/38)]
Hal semisal juga diriwayatkan oleh Al-Bazar dari Abu Hurairah
dengan sanad Hasan. [Kasyful Astar (1265)]
Hadits tersebut menunjukkan bahwa apabila seseorang membeli
barang yang bisa ditimbang dan telah menerimanya kemudian dia bermaksud
menjualnya, maka tidak boleh menyerahkannya berdasarkan timbangan pertama sampai
menimbangnya kembali untuk pembeli berikutnya. Demikianlah pendapat Jumhur
ulama. Atha' berkata, "Boleh menjualnya dengan timbangan pertama." Mungkin Atha'
belum mendengar hadits tadi. Bisa jadi alasan perintah untuk menimbang kembali
agar memastikan tidak adanya pengurangan timbangan hingga terhindar dari unsur
penipuan. Sedangkan hadits dua sha' adalah merupakan dalil atas larangan menjual
dengan taksiran (tanpa takaran yang jelas -edt). Hanya saja terdapat dalam
hadits Ibnu Umar bahwa para sahabat dahulu membeli makanan dengan cara menaksir!
Lafazhnya adalah,
«كُنَّا نَشْتَرِي الطَّعَامَ مِنْ الرُّكْبَانِ
جُزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ
نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ»
"Kami dahulu membeli makanan dari kafilah pembawa makanan
dengan secara menaksir lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
kami untuk menjualnya sampai kami memindahkannya." Dikeluarkan oleh Jamaah
kecuali At-Tirmidzi. [Al-Bukhari (2137) dan Muslim
(1526)]
Ibnu Qudamah berkata, "Dibolehkan menjual makanan dengan cara
menaksir menurut sepengetahuan kami adalah hal yang tidak diperselisihkan. Dan
apabila menjual dengan cara menaksir benar-benar boleh adanya, maka hadits
tentang dua sha' dapat dipahami bahwa maksudnya adalah apabila seseorang membeli
makanan dengan cara ditakar lalu dia ingin menjualnya, maka dia harus mengulangi
takarannya untuk pembeli berikutnya.
وَعَنْهُ قَالَ:
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعَتَيْنِ
فِي بَيْعَةٍ» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ
وَابْنُ حِبَّانَ - وَلِأَبِي دَاوُد «مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ
أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا»
742. Dan darinya, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam melarang dua jual beli dalam satu transaksi." (HR. Ahmad dan Nasai.
Hadits ini shahih menurut At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
[shahih, At-Tirmidzi
(1231)]
Menurut riwayat Abu Dawud, "Barangsiapa melakukan dua jual
beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang termurah atau riba.”
[hasan, Abi Dawud
(3461)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan darinya (yakni Abu Hurairah),
dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang
dua jual beli dalam satu transaksi." (HR. Ahmad dan
Nasai. Hadits ini shahih menurut At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban) Menurut riwayat
Abu Dawud (yakni dari hadits Abu Hurairah), "Barangsiapa melakukan dua jual beli dalam satu transaksi, maka baginya
harga yang termurah atau riba."
Imam Syafi'i mengatakan, bahwa hadits tersebut mempunyai dua
penafsiran:
Pertama; yakni dengan mengatakan, saya menjual barang
ini kepadamu dengan harga dua ribu bila secara hutang dan dengan harga seribu
bila secara kontan. Mana saja yang kau suka, silahkan ambil. Transaksi seperti
ini rusak karena tidak jelas dan bersyarat.
Kedua; dengan mengatakan, saya jual budak saya
kepadamu dengan syarat kamu harus menjual kudamu kepada saya.
Alasan dilarangnya transaksi pada kasus pertama adalah tidak
adanya ketetapan harga dan adanya unsur riba. Ini menurut pendapat ulama yang
melarang menjual sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku
pada hari transaksi dilakukan hanya karena pembayaran dilakukan kemudian
(kredit). Dan pada kasus kedua karena faktor yang dikaitkan transaksi dengan
syarat mendatang yang mungkin terjadi dan mungkin juga tidak, sehingga
kepemilikannya jadi tidak pasti.
Sabda beliau, "Maka baginya harga yang termurah atau
riba", maksudnya, apabila dia melakukan hal tersebut berarti dia telah
melakukan satu dari dua perkara, berupa pengambilan harga yang termurah atau
riba yang menjadi penguat penafsiran pendapat pertama.
وَعَنْ عَمْرِو
بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا يَحِلُّ سَلَفٌ
وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يَضْمَنْ، وَلَا
بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَك» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ
وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ.
743. Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya
Radhiyallahu Anhum, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, 'Tidak halal menghutangkan sekaligus menjual, tidak halal adanya
dua syarat dalam satu transaksi jual beli dan tidak halal mengambil keuntungan
dari barang yang tidak dapat dijamin juga tidak halal menjual sesuatu yang bukan
milik kamu." (HR. Al-Khamsah, hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah dan Al-Hakim)
[hasan shahih, Abi Dawud
(3504)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Hadits ini merupakan hadits Abu Hanifah yang dikeluarkan dari
kitab Ulum Al-Hadits yang dia diriwayatkan dari Amr Ibnu Syu'aib di atas
dengan lafazh, "Beliau melarang jual beli dengan syarat."
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dari jalur ini dalam kitab
Al-Ausath dan termasuk hadits gharib (di antara silsilah sanadnya ada perawinya
yang cuma sendiri -edt).
Tafsir Hadits
Hadits ini mencakup empat bentuk transaksi jual beli yang
dilarang:
Pertama; Menghutangkan sekaligus menjual, konkretnya
adalah seperti orang yang ingin membeli suatu barang dengan harga lebih mahal
dari harga yang semestinya. Hal itu karena pembayarannya ditangguhkan sampai
waktu yang disepakati. Sementara dia memahami bahwa transaksi itu tidak boleh
dilakukan, maka dia pun mensiasatinya dengan cara meminjam uang sejumlah harga
barang tersebut lalu uang tersebut digunakan untuk membeli barang tadi secara
kontan.
Kedua; Adanya dua syarat dalam satu transaksi jual
beli. Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari hal itu. Ada yang
mengatakannya, ia adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan
kepada si pembeli, "Saya jual barang ini kepadamu dengan harga sekian jika tunai
dan dengan harga sekian jika tempo (dibayar kemudian)." Ada yang mengatakan, ia
adalah manakala si penjual menjual barangnya lalu mensyaratkan kepada pembeli
agar tidak menjual barang tersebut dan tidak menghibahkannya. Ada juga yang
mengatakan, ia adalah transaksi jual beli di mana si penjual mengatakan, "Saya
jual barang saya dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual barangmu
yang itu kepada saya dengan harga sekian." Demikianlah yang disebutkan dalam
kitab Asy-Syarah yang dinukil dari kitab Al-Ghaits. Sedangkan dalam kitab
An-Nihayah disebutkan maksud dari sabda beliau "Tidak halal menghutangkan
sekaligus menjual", adalah transaksi jual beli dimana si penjual mengatakan,
"Saya jual budak saya ini kepadamu seharga seribu dengan syarat kamu meminjamkan
saya uang sebesar seribu untuk barang tersebut. Dikarenakan hal tersebut
merupakan pemberian pinjaman hutang yang bertujuan memanipulasi harga, maka ia
termasuk kategori spekulasi. Juga dikarenakan setiap hutang yang mengambil
manfaat adalah riba. Ditambah lagi dalam transasksi tersebut terdapat syarat,
maka hukumnya tidak sah.
Adapun sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tidak
halal adanya dua syarat dalam satu transaksi jual beli" ditafsirkan dalam
kitab An-Nihayah bahwa transaksi tersebut seperti kamu mengatakan, "Saya jual
baju ini kepada kamu dengan harga satu dinar jika tunai dan jika hutang harganya
dua dinar." Ia seperti dua bentuk jual beli dalam satu transaksi.
Ketiga; Sabda beliau, "Tidak halal mengambil
keuntungan dari barang yang tidak dapat dijamin", ada yang mengatakan bahwa
maksudnya adalah sesuatu (barang) yang belum dimiliki (si penjual). Seperti
barang ghasab (barang orang yang diambil secara paksa -edt.) ia adalah bukan
milik orang yang mengambilnya secara paksa itu dan bila dia menjualnya lalu
mendapatkan keuntungan darinya, maka keuntungan tersebut tidak halal. Ada juga
yang mengatakan bahwa maksudnya adalah selama barang yang mau dijualnya itu
belum ada di tangannya. Hal ini karena barang sebelum diterima adalah di luar
tanggung jawab pembeli, sehingga bila barang tersebut rusak atau hilang, maka
resiko ditanggung si penjual.
Keempat; Sabda beliau, "tidak halal menjual sesuatu
yang bukan milik kamu", ditafsirkan oleh hadits Hakim bin Hizam yang
diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa'i bahwa dia (Hakim bin Hizam berkata, "Saya
berkata, 'Wahai Rasulullah, ada seseorang mendatangi saya untuk membeli sesuatu
yang tidak saya miliki, lalu saya pun membelinya di pasar', beliau bersabda,
«لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَك»
'Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki'."
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual sesuatu
sebelum memilikinya secara utuh.
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ» رَوَاهُ مَالِكٌ، قَالَ: بَلَغَنِي عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ بِهِ.
744. Darinya Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli dengan persekot.” (HR. Malik, ia
berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu'aib)
[Dhaif: Abi Dawud
(3502)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Darinya (yakni Amr bin Syu'aib) Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam melarang jual beli dengan persekot (disebut pula dengan
'Arbun)." (HR. Malik, ia berkata, "Saya menerimanya dari
Amru bin Syu'aib). Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, di
dalam riwayat ini terdapat rawi yang tidak disebut namanya dan di dalam riwayat
lainnya disebutkan nama perawi tersebut ternyata perawi yang dhaif, Ia mempunyai
jalur-jalur riwayat yang luput dari komentar.
Tafsir Hadits
Jual beli dengan persekot ini ditafsirkan oleh Imam Malik
bahwa bentuknya adalah seseorang membeli atau menyewa budak laki-laki atau
perempuan kemudian berkata si pembeli atau si penyewa, "Saya berikan kamu satu
dinar atau dirham, dengan catatan bahwa jika saya jadi membeli barang tersebut,
maka uang itu terhitung sebagai pembayaran dan jika tidak, maka uang itu menjadi
milikmu." Ulama ahli fikih berbeda pendapat boleh atau tidaknya transaksi jual
beli seperti ini. Karena adanya larangan ini Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i
berpendapat transaksi jual beli seperti itu batil, di samping karena pada
transaksi tersebut ada syarat yang tidak dibenarkan, penipuan dan juga termasuk
kategori memakan harta dengan cara yang batil. Sedangkan Umar, anaknya, juga
Imam Ahmad membolehkan.
وَعَنْ ابْنِ
عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: ابْتَعْت زَيْتًا فِي السُّوقِ،
فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا.
فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِ الرَّجُلِ. فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي
بِذِرَاعِي، فَالْتَفَتُّ، فَإِذَا هُوَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَقَالَ: لَا
تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْته حَتَّى تَحُوزَهُ إلَى رَحْلِك، «فَإِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ
حَيْثُ تُبْتَاعُ، حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إلَى رِحَالِهِمْ» رَوَاهُ
أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
وَالْحَاكِمُ.
745. Dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Saya
pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milik
saya, seseorang menemui saya lalu dia menawar (minyak saya itu) dengan
keuntungan yang lumayan. Ketika saya mau mengiyakan tawaran orang tersebut,
tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang memegang lengan saya. Maka saya pun
menoleh, ternyata dia adalah Zaid bin Tsabit. Lalu dia berkata, "Jangan
menjualnya di tempat kamu membeli, sampai kamu membawanya ke tempatmu, karena
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang
itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka." (HR. Ahmad dan Abu
Dawud dan lafazh hadits ini darinya. Ibnu Hibban dan Hakim menshahihkan hadits
ini.)
[hasan dengan beberapa hadits
pendukungnya, Abu Dawud (3499)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini adalah dalil atas tidak bolehnya si pembeli
menjual barang yang telah dibeli sebelum membawa barang itu ke tempatnya. Maksud
hadits ini adalah telah sempurnanya serah terima, akan tetapi diungkapkan dalam
hadits seperti itu karena umumnya pembeli dinyatakan telah menerima barang
apabila telah membawanya ke tempatnya. Sedangkan memindahkan barang dari suatu
tempat ke tempat lain adalah sesuatu yang tidak mesti. Oleh karena itu, menurut
Jumhur ulama bahwa maksud hadits tersebut adalah serah terima.
Sedangkan Imam Asy-Syafi'i memperinci; bila barang tersebut
memungkinkan dipindahtangankan seperti dirham dan pakaian maka serah terimanya
adalah berarti pemindahan. Adapun sesuatu yang bisa dipindahkan seperti kayu,
biji-bijian dan hewan maka serah-terimanya dengan cara dipindahkan ke tempat
lain. Sedangkan barang yang tidak dapat dipindahkan seperti bangunan dan
buah-buahan yang masih di pohon, maka serah-terimanya dengan cara
mengosongkannya.
Dan perkataannya, "Dan ketika minyak itu telah menjadi hak
milik saya", dalam riwayat Abu Dawud, "Saya telah melunasinya," Secara eksplisit
lafazh-lafazh tersebut bahwa dia (Ibnu Umar) telah menerimanya dan belum membawa
barang itu ke tempatnya. Dikuatkan lagi dengan perkataan Zaid bin Tsabit,
"Rasulullah Shallallahu Alathi wa Sallam melarang menjual barang di tempat
barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka."
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «قُلْت يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ
بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ
بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ بِالدَّنَانِيرِ، آخُذُ هَذَا مِنْ هَذَا مِنْ هَذِهِ
وَأُعْطِي هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا
وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.
746. Dan darinya (Ibnu Umar) Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Saya berkata, 'Wahai Rasulullah, saya menjual unta di Baqi'. Saya membeli
dengan dinar tapi saya menjualnya dengan dirham. Dan kadang saya membeli dengan
dirham dan menjualnya dengan dinar. Dan saya mengambil ini dari ini tapi aku
memberi itu dari itu'. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
'Tidak apa-apa kamu mengambilnya dengan harga yang berlaku hari itu selagi
kalian berdua belum berpisah sementara kalian masih punya urusan'."
(HR. Al-Khamsah, hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim)
[Dhaif: Abi Dawud (3354,
3355)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini adalah dalil atas bolehnya membayar hutang emas
dengan perak dan membayar perak dengan emas (nilainya
disesuaikan), karena Ibnu Umar pernah menjual barang dengan dinar, maka
seharusnya pembeli membayarnya dengan dinar pula. Tetapi kemudian (karena suatu
alasan) dia membayarnya dengan dirham dengan jumlah senilai dinar dan begitu
pula sebaliknya. Abu Dawud menamai bab ini dengan nama, "Bab Membayar Perak
dengan Emas". Adapun lafazhnya, "Saya pernah menjual unta di Baqi'. Saya membeli
dengan dinar tapi saya menjualnya dengan dirham. Dan kadang saya membeli dengan
dirham dan menjualnya dengan dinar. Dan saya mengambil ini dari ini tapi aku
memberi itu dari itu." Dan kemudian dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan beliau pun bersabda, "Tidak apa-apa kamu mengambilnya
dengan harga yang berlaku hari itu selagi kalian berdua belum berpisah sementara
kalian masih punya urusan."
Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa kedua
alat tukar (emas dan perak) keduanya tidak ada di tempat transaksi, yang ada
hanya salah satunya saja, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun menjelaskan
hukumnya, bahwa apabila kedua pihak (penjual dan pembeli) melakukan hal itu,
maka keduanya tidak boleh berpisah kecuali setelah menerima haknya
masing-masing. Dan tidak boleh salah satu pihak menerima haknya sementara yang
lainnya tidak, dan pembayarannya ditunda. Karena hal ini masuk ke dalam Bab
Tukar Menukar Mata Uang (Sharf). Dan di antara syarat sahnya transaksi
tersebut adalah bahwa penjual dan pembeli tidak boleh berpisah selagi masih
berurusan. Adapun sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam riwayat Abu
Dawud: ("dengan harga pada hari itu"). Secara zhahir, hal itu bukanlah syarat,
namun demikian itulah yang umumnya terjadi pada realita. Ada sabda beliau
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mengisyaratkan hal tersebut,
«فَإِذَا اخْتَلَفَتْ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا
كَيْفَ شِئْتُمْ إذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ»
"Apabila jenis-jenis ini berbeda maka juallah sekehendak
kalian bila dilakukan dengan cara kontan."
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - عَنْ النَّجْشِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
747. Dan darinya Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan Najasy (memuji barang
dagangan secara berlebihan). (Muttafaq Alaih).
[shahih, Al-Bukhari (2142) dan Muslim
(1516)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dan darinya (yakni dari Ibnu Umar)
Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam melarang berjualan dengan Najasy (memuji barang dagangan secara
berlebihan).
Dalam tinjauan etimologi (bahasa) Najasy berarti, mengusir
hewan buruan dari tempatnya agar mudah ditangkap. Sedangkan menurut istilah
(syariat) ia berarti menawar harga barang dengan harga tinggi karena bukan ingin
membelinya, tapi untuk memperdaya orang lain. Praktek seperti ini disebut
Najasy, karena bisa membangkitkan hasrat orang untuk membeli barang tersebut
sekaligus meningkatkan harga jual. Ibnu Al-Batthal berkomentar, ulama sepakat
bahwa pelaku Najasy telah berbuat maksiat karena perbuatannya itu. Tapi mereka
berbeda pendapat mengenai transaksi jual beli yang terjadi dalam bentuk seperti
itu. Sebagian ulama ahli hadits mengatakan, bahwa transaksi itu rusak (batal).
Demikian pula dikatakan oleh Ahlu Azh-Zhahir. Begitu pula yang masyhur di
kalangan madzhab Hanbali dan dalam riwayat Imam Malik. Akan tetapi kalangan
Hanbali berpendapat transaksi tersebut batal bila ada kesepakatan dengan
penjual. Adapun pengikut Imam Malik mengatakan, dia mempunyai hak pilih
(khiyar). Ini juga pendapat Al-Hadawiyah sebagai bentuk qiyas dari Al-Musharah.
Sedang transaksi tetap sah menurut mereka. Kalangan Al-Hanafiyah mengatakan,
dikarenakan larangan tersebut kembali kepada sesuatu di luar transasksi untuk
menipu, maka tidak serta merta menjadikan transaksi tersebut batal.
Adapun yang dinukil dari Ibnu Abdi Al-Bar, Ibnu Al-Arabi dan
Ibnu Al-Hazm bahwa, haram hukumnya apabila selisih harganya melebihi harga yang
semestinya. Seandainya ada orang menjual barang di bawah harga yang semestinya.
Lalu dia menaikkannya agar mencapai harga yang wajar, maka orang tersebut tidak
disebut pelaku najasy yang telah melakukan maksiat. Justru bisa jadi berpahala
sesuai niatnya. Mereka mengatakan, bahwa hal tersebut termasuk nasihat. Pendapat
tersebut tertolak, karena nasihat bisa dilakukan tanpa harus pura-pura membeli.
Ini adalah merupakan tipuan dan gharar yang diharamkan, Al-Bukhari mengeluarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Aufa, mengenai sebab turunnya firman
Allah Ta'ala: "Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah
dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit" (QS. Ali Imran: 77)
Beliau mengatakan, ada orang memuji barang dagangan yang dimilikinya dengan
bersumpah atas nama Allah dan mengatakan bahwa dia telah dikaruniai sesuatu yang
tidak dikarunia kepada orang lain, maka turunlah ayat tersebut.
Ibnu Abi Aufa mengatakan, bahwa pelaku Najasy adalah pemakan
riba dan juga pengkhianat. Ibnu Abi Aufa menganggap orang yang menyebutkan harga
barangnya lebih tinggi dari harga sebenarnya adalah termasuk pelaku najasy. Dan
dikarenakan pelaku najasy bukan si penjual, maka jika dia diberi upah oleh si
penjual berarti dia termasuk pemakan riba.
وَعَنْ جَابِرٍ -
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
«نَهَى عَنْ الْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُزَابَنَةِ، وَالْمُخَابَرَةِ، وَعَنْ
الثُّنْيَا، إلَّا أَنْ تُعْلَمَ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا ابْنَ مَاجَهْ،
وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ.
748. Dari Jabir Radhiyallahu Anhu bahwasannya Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli dengan cara muhaqalah,
muzabanah, mukhabarah, dan tsunaya, kecuali jika diketahui. (HR. Al-Khamsah
kecuali Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
[shahih, Muslim
(1536)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini mencakup empat hal yang dilarang syariat,
yaitu:
Pertama; Al-Muhaqalah. Perawi hadits ini (Jabir)
menafsirkannya dengan transaksi dimana seorang lelaki menjual sawahnya kepada
orang lain dengan harga seratus firq gandum. Abu Ubaid menafsirkannya dengan
transaksi menjual makanan yang masih berada di tangkainya. Imam Malik
menafsirkannya dengan transaksi sewa tanah yang dibayar dengan hasil yang
tumbuhan yang ditanam di atas tanah tersebut. Inilah yang disebut Al-Mukhabarah.
Penyebutan transaksi Al-Mukhabarah bergandengan dengan Al-Muhaqalah dalam hadits
ini membuat tafsiran ini tidak benar. Dan bahwa sahabat lebih paham dengan
penafsiran dari hadits yang dia riwayatkan sendiri. Dia menafsirkannya
sebagaimana kamu ketahui sesuai dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam
Asy-Syafi'i.
Kedua; Al-Muzabanah secara etimologi berarti mendorong
dengan keras, seakan tiap pelaku jual beli mendorong yang lainnya untuk
mendapatkan haknya. Ibnu Umar menafsirkannya seperti yang diriwayatkan oleh
Malik yaitu jual beli ruthab (kurma yang masih basah) dengan tamr (kurma kering)
dengan ditimbang dan menjual anggur dengan zabib (kismis) dengan ditimbang.
Riwayat ini juga dikeluarkan Asy-Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm, dia mengatakan
bahwa penafsiran Al-Muhaqalah dan Al-Muzabanah dalam hadits bisa jadi langsung
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam secara tertulis, namun bisa juga
merupakan penafsiran dari perawi. Adapun Illat (alasan) dilarangnya hal
tersebut adalah riba karena ketidaktahuan mengenai kadar di antara keduanya.
Ketiga; Al-Mukhabarah, yakni transaksi penggunaan
lahan pertanian yang dibayar dengan hasil pertanian yang akan dihasilkan dari
lahan tersebut. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam bab pertanian.
Keempat; Ats-Tsunayya, transaksi ini adalah merupakan
hal yang dilarang kecuali jika diketahui. Bentuknya adalah seseorang menjual
sesuatu lalu mengecualikan sebagiannya. Apabila yang dikecualikannya dapat
diketahui, maka hukumnya sah. Seperti seseorang menjual pohon atau anggur lalu
mengecualikan satu dari pohon atau anggur tersebut, yang seperti ini disepakati
sah hukumnya. Berbeda halnya apabila si penjual mengatakan, kecuali sebagiannya,
ini tidak sah. Karena pengecualiannya tidak diketahui. Secara eksplisit dari
hadits dapat dipahami bahwa bila kadar yang dikecualikan itu diketahui maka
transaksi sah secara mutlak. Ada yang mengatakan, tidak boleh mengecualikan
lebih dari sepertiga. Demikianlah sebab dilarang transaksi jual beli
ats-tsunayya adalah ketidakjelasan. Adapun jika diketahui maka illat
(alasan) pelarangannya berarti hilang, maka ia pun keluar dari kriteria
transaksi yang dilarang. Hadits di atas menegaskan mengenai Illat
(alasan) pelarangannya, yaitu dalam sabda beliau, "kecuali jika
diketahui."
وَعَنْ طَاوُسٍ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا تَلَقُّوا الرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِعْ
حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْت لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ «وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ
لِبَادٍ؟ قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ
لِلْبُخَارِيِّ
750. Dari Thawus dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Janganlah kamu menghadang rombongan
(pedagang) di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangan mereka
sebelum sampai pasar) dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan
orang kampung'." Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud sabda beliau,
"dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung?" Ibnu Abbas
menjawab, "Janganlah dia menjadi makelar untuknya." (Muttafaq Alaih, dan
lafazhnya adalah lafazhAl-Bukhari)
[shahih, Al-Bukhari (2158), dan Muslim
(1521)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits di atas mencakup dua bentuk transaksi jual beli yang
di larang:
Pertama; larangan talaqqi rukbaan (menghadang
rombongan) yakni rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan makanan ke
suatu negeri untuk dijual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki, baik
beramai-ramai atau sendirian. Dalam hadits disebutkan yang umum, karena umumnya
pedagang itu berombongan. Transaksi dianggap talaqqi rukbaan jika terjadi
luar pasar.
Dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu disebutkan, "Dahulu
kami pernah menghadang rombongan (pedagang), kami beli makanan dari mereka, lalu
Rasulullah melarang kami untuk menjualnya hingga pedagang itu tiba di pasar
makanan."
Dalam lafazh lain disebutkan bahwa menghadang pedagang tidak
berlaku di pasar.
Ibnu Umar berkata, "Dahulu mereka membeli makanan di pasar,
kemudian mereka menjualnya di tempat yang sama. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam pun melarang mereka untuk menjualnya di tempat yang sama hingga mereka
memindahkannya." (HR. Al-Bukhari) [shahih, Al-Bukhari
(2167)]
Hadits ini menunjukkan bahwa pergi ke pasar tidak termasuk
kategori talaqqi rukbaan dan batasan kategori talaqqi rukbaan adalah apabila
menghadangnya di luar pasar. Al-Hadawiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan, tidak
dikategorikan talaqqi rukbaan kecuali bila dia menghadangnya di luar kota.
Seakan mereka mencari makna yang cocok dengan alasan dari Larangan transaksi
tersebut, yakni penipuan terhadap rombongan pedagang tersebut. Karena apabila
mereka telah masuk ke kota., mereka bisa mengetahui harga pasaran dari barang
yang dibawanya hingga dia bisa menyesuaikan. Jika itu tidak dilakukan maka itu
adalah keteledorannya sendiri. Al-Malikiyah, Imam Ahmad dan Ishaq
mengkategorikan talaqqi rukbaan jika terjadi di luar pasar secara mutlak
berdasarkan zhahir hadits.
Larangan di atas jelas menunjukkan perbuatan itu haram,
karena orang yang melakukannya memang sengaja bermaksud menghadang rombongan
dagang dan tahu kalau hal itu dilarang. Abu Hanifah dan Al-Auza'i membolehkan
melakukan hal itu selagi tidak merugikan masyarakat, bila merugikan, maka hal
tersebut makruh. Dan apabila dilakukan juga, maka menurut Al-Hadawiyah dan
As-Syafi'iyah transaksi itu tetap sah.
Dan Imam Asy-Syafi'i memberikan hak pilih bagi si penjual,
berdasarkan hadits yang dikeluarkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dishahihkan
oleh Ibnu Khuzaimah, yaitu hadits Abu Hurairah dengan lafazh,
«لَا تَلَقُّوا الْجَلَبَ فَإِنْ تَلَقَّاهُ
إنْسَانٌ فَاشْتَرَاهُ فَصَاحِبُهُ بِالْخِيَارِ إذَا أَتَى
السُّوقَ»
"Jangan kalian menghadang rombongan pedagang, apabila
seseorang menghadangnya kemudian membeli sesuatu darinya, maka pedagang
mempunyai hak pilih (khiyar) bila tiba di pasar" [Shahih:
Abi Dawud (3437)]
Zhahir hadits menunjukkan bahwa illat (alasan) dilarangnya
hal tersebut adalah untuk kemaslahatan penjual dan menghindarinya dari kerugian.
Ada yang mengatakan, alasannya adalah untuk kemaslahatan komunitas pasar
berdasarkan hadits Ibnu Umar, "Janganlah kalian menghadang barang dagangan
hingga kalian tiba di pasar dengannya". Ulama berbeda pendapat dalam hal
apakah transaksi jual beli yang terjadi dengan cara tersebut sah atau tidak?
Bagi ulama yang telah kita sebutkan sebelumnya, transaksi tersebut sah, karena
larangan tidak kembali pada akad itu sendiri dan tidak pula kembali kepada sifat
yang melekat pada hal itu, sehingga larangan tadi tidak bermakna bahwa jual beli
tersebut rusak, tidak sah. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi tersebut
rusak, tidak sah. Karena larangan secara mutlak menunjukkan tidak sahnya
transaksi tersebut. Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran.
Sebagian ulama menjadikan talaqai rukbaan haram dengan
beberapa syarat, di antaranya ada yang mengatakan ia haram jika orang yang
menghadang berbohong mengenai harga yang berlaku di kota hingga dia membeli dari
rombongan penjual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga semestinya. Ada
juga yang menyatakan ia haram jika si pembeli mengabari rombongan itu bahwa
untuk bisa masuk pasar diperlukan biaya sangat besar. Ada lagi yang mengatakan
haram apabila si pembeli menipu mereka dengan mengatakan bahwa dagangan mereka
tidak akan laku. Semua syarat yang disebutkan tidak dilandasi satu dalil pun,
justru hadits tersebut berbicara secara mutlak dan hukum aslinya adalah
haram.
Kedua; larangan untuk melakukan transaksi seperti yang
disabdakan Rasulullah, "dan janganlah orang kota menjualkan barang
dagangan orang kampung", Ibnu Abbas
menafsirkan dengan perkataannya, "Janganlah dia menjadi makelar
untuknya' Kata makelar (Simsar) asal maknanya adalah orang menilai suatu urusan
dan mengawasinya, kemudian dikenal dengan istilah perantara jual beli bagi orang
lain dengan upah sebagai imbalan. Demikianlah Al-Bukhari mengaitkannya. Dia
menjadikan hadits Ibnu Abbas sebagai ketentuan tambahan dari hadits-hadits yang
berbicara secara mutlak. Adapun melakukan hal itu dengan tanpa imbalan, maka ia
termasuk nasihat dan tolong menolong, maka dia membolehkannya. Tetapi zhahir
pendapat para ulama mengisyaratkan bahwa larangan tadi mencakup semuanya, baik
yang dengan imbalan maupun tidak. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang
dirnaksud dengan "orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung" adalah
transaksi di mana seorang asing datang ke suatu daerah dengan membawa barang
dagangan yang hendak dijual dengan harga pasaran pada saat itu juga. Kemudian
datang orang kota kepadanya dan berkata, "Tinggalkan daganganmu pada saya, saya
jualkan untukmu secara berangsur dengan harga lebih mahal dari harga
sekarang."
Kemudian ada juga ulama yang mengkhususkan hukum ini berlaku
pada orang desa dan mereka menjadikannya ketentuan yang mengikat. Ada juga yang
memberlakukannya pula untuk orang kota, jika keduanya sama dalam hal tidak tahu
harga. Dan mereka mengatakan bahwa penyebutan orang desa dalam hadits tersebut
hanya karena tradisi umum yang berlaku. Adapun orang desa yang tahu harga, maka
tidak masuk dalam kriteria ini. Kemudian di antara mereka ada pula yang
meletakkan syarat, yakni bahwa si pembeli tahu bahwa transaksi itu dilarang dan
bahwa barang dagangan yang dibawa orang desa tadi adalah termasuk barang yang
banyak dibutuhkan orang. Dan bahwa yang menawarkan lebih dulu adalah orang kota
kepada orang desa. Dan jika orang desa yang justru menawarkannya ke orang kota,
maka tidak dilarang. Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidak didukung oleh
hadits, mereka hanya menyimpulkan dari sekian banyak illat (alasan hukum) yang
terdapat dalam hadits yang digunakan sebagai hukum.
Kemudian telah sama-sama dipahami bahwa larangan asalnya
adalah haram, inilah pendapat yang diyakini oleh sekelompok ulama. Ulama yang
lain mengatakan, bahwa hadits tersebut sudah dihapus (mansukh) dan bahwa
transaksi seperti itu dibolehkan secara mutlak seperti halnya perwakilan dan
terhapus pula oleh hadits nasehat.
Adapun anggapan bahwa hadits tersebut sudah dihapus, tidak
dapat dibenarkan karena hal itu perlu memahami histori dari hadits tersebut agar
dapat diketahui mana hadits yang terakhir. Sedangkan hadits nasehat, mempunyai
syarat, bila salah seorang dari kalian dimintai nasehat oleh saudaranya, maka
nasehatilah dia dan bila dia pasti akan menasehatinya dengan perkataan, bukan
dengan menjualkan barangnya karena ini masuk dalam hukum orang kota menjualkan
barang orang desa dan begitu pula halnya hukum membelikan barang untuk orang
kampung, tidak orang kota membelikan barang ntuk orang kampung. Imam Al-Bukhari
mengatakan, "Bab tidak boleh orang kota membelikan barang untuk orang desa
dengan bertindak sebagai calonya". Ibnu Hubaib Al-Maliki berkata, bahwa
membelikan barang untuk orang desa sama dengan menjualkan barang dagangannya,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tidaklah seorang dari
kalian menjualkan barang jualan sebagian yang lain."
Termasuk makna hadits tersebut adalah membeli. Dan dalam
kitab shahihnya Abu Uwanah mengeluarkan hadits dari Ibnu Sirin yang mana dia
berkata, "Saya pernah bertemu Anas bin Malik, kemudian saya berkata, 'Apakah
orang kota (di zamanmu menjualkan barang dagangan orang kampung? apakah kalian
dilarang untuk menjual atau membeli untuk mereka?' dia berkata, 'Ya'."
Dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Sirin dari Anas bin
Malik. Dahulu dikatakan, "Janganlah orang kota menjualkan barang dagangan
orang desa.” Ini adalah kalimat umum yang mencakup makna janganlah menjual
untuk mereka dan jangan pula membeli untuk mereka. Bila dikatakan, dari hasil
pengamatan diketahui bahwa pertimbangan larangan menghadang orang desa
(transaksi talaaai rukbaan) adalah agar mereka tidak tertipu, sedangkan
pertimbangan larangan bagi orang kota untuk menjualkan barang dagangan orang
desa (sebagai calo) adalah bentuk keberpihakan terhadap penduduk kota (agar calo
tidak menjual barang dengan harga mahal -edt.) di sini ada dua pertimbangan agar
orang kampung tidak tertipu dan agar orang kota juga tidak tertipu, kalau
diperhatikan di sini terdapat kontradiksi. Jawabannya adalah bahwa syariat
memperhatikan kepentingan orang banyak dan mengedepankan kepentingan publik
daripada kepentingan individu, bukan justru sebaliknya, mengedepankan
kepentingan individu daripada kepentingan publik. Dikarenakan apabila orang desa
menjual barang dagangannya sendiri, maka semua pelaku pasar akan mendapatkan
manfaat, mereka bisa membeli barang dengan harga relatif murah dan semua
penduduk pun akan mendapatkan manfaat. Di sini syariat mengedepankan kepentingan
penduduk daripada kepentingan orang kampung. Dan dikarenakan pada transaksi
talaqqi rukbaan (menghadang rombongan pedangan dari kampung) terdapat maslahat
individu, ditambahkan lagi alasan kedua berupa adanya kemudharatan bagi pelaku
pasar disebabkan orang yang menghadap rombongan pedagang dari kampung itu dapat
menjual barang dengan harga lebih murah dari yang lainnya, sehingga dapat
memutus sumber pencarian pedagang lain yang jumlahnya lebih banyak, maka syariat
lebih mengedepankan pelaku pasar daripada pihak si penghadang tersebut. Dan
dengan demikian tidak ada kontradiksi pada kedua masalah ini. Justeru keduanya
tepat dalam segi hikmah.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا تَلَقُّوا الْجَلَبَ. فَمَنْ تُلُقِّيَ
فَاشْتُرِيَ مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ»
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
751. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Janganlah kalian
menghadang pedagang (dari kampung). Barangsiapa yang menghadangnya lalu membeli
sesuatu darinya, maka jika pemilik barang itu datang ke pasar, dia boleh
memilih (membiarkan transaksi tersebut atau membatalkannya)."(HR.
Muslim)
[shahih, Muslim
(1519)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits ini telah dibahas pada hadits sebelumnya. Hadits ini
merupakan dalil adanya hak pilih bagi penjual walaupun si penghadang (rombongan
dari kampung) membelinya dengan harga pasaran, namun hak memilih tetap
ada.
وَعَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - «أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِيعُ
الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا
تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إنَائِهَا» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ «لَا يَسُمْ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ
الْمُسْلِمِ»
752. Dan darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu Anhu, dia
berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang orang kota menjualkan
barang dagangan orang kampung, dan janganlah kalian melakukan transaksi jual
beli dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan), janganlah
seseorang menjual sesuatu yang sedang dijual oleh saudaranya, janganlah
seseorang melamar orang yang sedang dilamar saudaranya, dan janganlah seorang
perempuan meminta talak saudarinya agar ia menduduki posisinya". (Muttafaq
Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (2140), dan Muslim
(1413)]
Menurut riwayat Muslim: "Janganlah seorang muslim menawar
atas tawaran saudaranya".
[shahih, Muslim
(1414)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa hal yang dilarang,
yaitu:
Pertama; larangan bagi orang kota untuk menjualkan
barang dagangan orang desa sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.
Kedua, apa yang disiratkan dalam sabda beliau, "dan
janganlah kalian melakukan transaksi jual beli dengan najasy (memuji barang
dagangan secara berlebihan)", hal tersebut disambungkan dengan kata, "melarang".
Karena maknanya janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang desa dan
janganlah melakukan transaksi jual beli dengan najasy. Masalah ini telah dibahas
sebelumnya dalam hadits Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam melarang najasy.
Ketiga, sabda beliau, "janganlah seseorang menjual
sesuatu yang sedang dijual oleh saudaranya", diriwayatkan dengan dua versi
dalam bentuk nafi dan nahi (peniadaan dan pelarangan). Keberadaan
huruf "ya" (pada lafazh yabi’u) memperkuat versi pertama.
Bentuk transaksi menjual sesuatu yang sedang dijual oleh
saudaranya (sesama muslim) adalah apabila telah terjadi jual beli, namun masih
dalam tenggang waktu khiyar (hak untuk memilih) kemudian seseorang datang dan
berkata kepada si pembeli, "Batalkan jual beli itu dan saya akan menjual
kepadamu barang yang sama dengan harga yang lebih murah darinya atau dengan
barang yang lebih bagus darinya." Begitu juga halnya dengan membeli, contoh
seseorang berkata kepada si penjual dalam masa khiyar, "Batalkanlah jual beli
itu dan saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi."
Adapun bentuk menawar atas tawaran orang lain adalah ketika
kedua belah pihak si penjual dan peminatnya, telah sepakat untuk melakukan jual
beli, tetapi transaksi belum terjadi. Kemudian seseorang berkata kepada penjual,
"Saya siap membelinya darimu dengan harga lebih tinggi" padahal si penjual telah
sepakat mengenai harganya dengan peminat pertama. Ulama sepakat bahwa semua
bentuk transaksi tersebut adalah haram dan pelakunya telah berarti telah
bermaksiat.
Adapun jual beli muzayadah (lelang), yaitu menjual
barang kepada orang yang siap membayar dengan harga tertinggi, adalah bukan
termasuk transaksi yang dilarang. Al-Bukhari menamakan Bab dalam kitabnya dengan
nama, Bab Jual Beli Muzayadah (Lelang). Terdapat dalil yang jelas dalam
hal ini yaitu sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan,
lafazhnya dari At-Tirmidzi, dia mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.
Diriwayatkan dari Anas,
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
بَاعَ حِلْسًا وَقَدَحًا وَقَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَا الْحِلْسَ وَالْقَدَحَ
فَقَالَ رَجُلٌ: آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ فَقَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ
فَأَعْطَاهُ رَجُلٌ دِرْهَمَيْنِ فَبَاعَهُمَا مِنْهُ»
bahwa beliau (Rasulullah) Shallallahu Alaihi wa Sallam
menjual Hilsan dan Qadah kemudian bersabda: 'Siapakah yang hendak membeli
Hilsan dan Qadah ini?' seseorang berkata, "Saya beli keduanya dengan harga
satu dirham", lalu beliau bersabda, "Siapa yang berani lebih dari satu
dirham?" Ada seseorang berani membelinya dengan harga dua dirham, maka
beliau pun menjual kedua benda tersebut kepadanya. [Dhaif:
At-Tirmidzi (1218)]
Ibnu Abdil Bar berkata, "Telah disepakati bahwa tidak haram
hukumnya menjual barang kepada orang yang berani membayar dengan harga yang
lebih tinggi." Ada pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut makruh dengan
dalil sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan dari Sufyan bin Wahab, dia
mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli dengan cara
lelang (muzayadah), tapi hadits tersebut diriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah
sedang dia adalah perawi yang dha'if (lemah).
Keempat, sabda Beliau, "janganlah seseorang melamar
orang yang sedang dilamar saudaranya"', Imam Muslim menambahkan 'kecuali
jika saudaranya tersebut mengizinkannya" dan dalam suatu riwayat disebutkan
"hingga dia mengizinkan". Larangan di sini menunjukkan bahwa hal tersebut
haram hukumnya. Ulama sepakat mengenai haramnya hal tersebut bila si wanita
telah menjawab lamaran secara jelas dan si pelamar tidak memberikan izin juga
tidak meninggalkannya. Bila dia menikahi si wanita dalam kondisi seperti ini,
maka dia telah berbuat maksiat menurut kesepakatan ulama dan jumhur ulama
mengatakan bahwa nikahnya tetap sah. Sedangkan Dawud mengatakan, "Nikahnya batal
(fasakh)", demikianlah yang diriwayatkan dari Imam Malik.
Adapun disyaratkan lamarannya telah dijawab secara tegas dan
jelas walaupun sebenarnya larangan tersebut bersifat mutlak, adalah karena
hadits Fathimah binti Qais, dia berkata, "Saya pernah dilamar oleh Abu Jahm dan
Mu'awiyah." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingkari lamaran
sebagian mereka atas sebagian yang lain, bahkan beliau juga turut melamarnya
untuk Usamah. Pendapat yang mengatakan bahwa hal itu bisa jadi karena mereka
sama-sama tidak mengetahui perihal lamaran kawannya. Sedangkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam hanya sebatas mengisyaratkan untuk Usamah bukan melamar, adalah
bertentangan dengan zhahir hadits.
Sabda beliau 'saudaranya' yakni saudara seagama.
Dipahami dari kata tersebut bahwa kalau bukan saudara seagama, seperti seorang
yang kafir, maka tidak haram. Sebagai contoh bila perempuannya adalah seorang
Ahli Kitab. Demikianlah pendapat Imam Al-Auzai. Sedangkan ulama lain mengatakan
haram pula melamar atas lamaran orang kafir. Adapun hadits di atas berdasarkan
konteks secara umum, hingga pengertian seperti tersebut di atas tidak dapat
dianggap.
Kelima, Sabda Beliau: "dan janganlah seorang perempuan
meminta" maksudnya perempuan yang bukan mahram, yakni jangan meminta kepada
seorang lelaki untuk menceraikan istrinya, agar bisa menikah dengannya sehingga
nafkah dan hubungan baik suami itu yang sedianya untuk istri beralih
kepadanya.
وَعَنْ أَبِي
أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ «سَمِعْت رَسُولَ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ» رَوَاهُ أَحْمَدُ. وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ وَلَكِنْ
فِي إسْنَادِهِ مَقَالٌ، وَلَهُ شَاهِدٌ
753. Dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu Anhu, ia berkata,
"Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa
memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan dia dari
kekasihnya pada hari kiamat". (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi
dan Al Hakim, sanadnya masih dipertentangkan, namun ia mempunyai hadits
penguat).
[hasan, At-Tirmidzi
(1283)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Sanadnya masih dipertentangkan karena di dalamnya terdapat
perawi bernama Huyay bin Abdillah Al-Ma'afiri yang masih diperselisihkan. Namun
ia mempunyai hadits penguat, seakan penulis mengisyaratkan hadits Ubadah bin
Ash-Shamit,
«لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا قِيلَ
إلَى مَتَى قَالَ حَتَّى يَبْلُغَ الْغُلَامُ وَتَحِيضَ
الْجَارِيَةُ»
"Tidaklah dipisahkan antara ibu dan anaknya." Kemudian
dipertanyakan, "sampai kapan" Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"sampai anak laki-laki baligh dan anak perempuan haidh".
[Ad-Daraquthni (6813), dan Al-Hakim (2/64)]
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al Hakim
tapi dalam keduanya terdapat perawi bernama Abdullah bin Amr Al-Waqifi, dia
adalah perawi dhaif. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa hadits ini dan hadits
setelahnya akan menjadi baik jika digabungkan dengan hadits Ibnu Umar yang telah
lalu mengenai larangan menjual ummahatul awlaad atau hadits tersebut
diakhirkan ke sini.
Hadits ini, dalil yang jelas mengenai haramnya memisahkan ibu
dari anaknya. Dan secara zhahir bersifat umum, baik dalam kepemilikan dan orang
yang memilikinya. Hanya saja tidak diketahui seorang ulama pun yang berpegang
pada keumuman tersebut, sehingga dipahami bahwa maksud pemisahan adalah dalam
hal kepemilikan, ini pula makna yang jelas dari hadits Ali Radiyallahu Anhu
berikut ini. Secara zhahir, hadits menunjukkan keharaman memisahkan keduanya
walaupun setelah akil baligh, hanya saja pengertiannya terikat dengan hadits
Ubadah bin As-Shamit. Dan dalam kitab Al-Ghaits dinyatakan bahwa ijma' ulama
mengkhususkan bagi anak yang sudah besar seperti halnya dalam kasus pembebasan
budak. Seakan yang menjadi dasar sandaran ijma' tersebut adalah hadits Ubadah.
Kemudian hadits tersebut adalah nas yang jelas dalam hal haramnya memisahkan ibu
dari anaknya, dikiaskan pula dengannya semua jenis kerabat rahim yang haram
dinikahi dengan dasar hubungan rahim. Begitu pula terdapat nash berkenaan dengan
saudara seperti yang ditunjukkan dalam hadits:
وَعَنْ «عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ أَبِيعَ غُلَامَيْنِ أَخَوَيْنِ،
فَبِعْتُهُمَا، فَفَرَّقْت بَيْنَهُمَا. فَذَكَرْت ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَ: أَدْرِكْهُمَا فَارْتَجِعْهُمَا، وَلَا
تَبِعْهُمَا إلَّا جَمِيعًا» رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَقَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ، وَابْنُ الْجَارُودِ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ،
وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ الْقَطَّانِ
754. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menyuruh saya untuk menjual dua
orang budak kecil yang bersaudara. Lalu saya menjual keduanya secara terpisah,
kemudian saya beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka
beliau bersabda, "Susullah dan mintalah kembali, jangan kamu jual mereka
kecuali dengan bersama-sama". (HR. Ahmad dengan perawi-perawi Tsiqaat. Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Al-Jarud, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath-Thabrani dan Ibnu
Al-Qaththan menshahihkannya)
[Shahih: Abu Dawud
(3451)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Ibnu Abi Hatim dari bapaknya menceritakan dalam kitab Al-Ilal
bahwa Al-Hakam mendengarnya dari Maimun bin Abi Syaibah dan dia meriwayatkannya
dari Ali Radhiyallahu Anhu. Sedangkan Maimun sendiri belum pernah berjumpa Ali
Radhiyallahu Anhu.
Tafsir Hadits
Dalam hadits terdapat dalil mengenai batalnya jual beli ini.
Dan menunjukkan haramnya memisahkan (budak perempuan dari anaknya) sebagaimana
yang diisyaratkan hadits yang pertama. Hanya saja hadits pertama menunjukkan
haramnya memisahkan mereka secara umum dalam bentuk apa pun, sedangkan hadits
ini adalah nash yang menunjukkan haram memisahkan keduanya saat menjual mereka.
Dan qiyaskan dengannya semua bentuk pemisahan seperti saat menjadikan mereka
sebagai hadiah ataupun nadzar yakni transaksi dimana pemilik bebas untuk
bertindak. Adapun pemisahan karena pembagian warisan si pemilik tidak memiliki
kebebasan, karena pembagian tersebut bersifat memaksa. Hadits Ali Radhiyallahu
Anhu menunjukkan batalnya jual beli ini, akan tetapi ditentang oleh hadits
pertama yakni hadits Abu Ayub, karena ia menunjukkan sahnya mengeluarkan hak
milik dengan cara jual beli dan hal serupa, yang mengakibatkannya harus menerima
hukuman. Karena bila tidak sah mengeluarkan sebagian hak miliknya, maka tidak
perihal pemisahannya tidak terealisasi, sehingga tidak perlu ada sanksi. Maka
dari itulah para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Hanifah berpendapat
jual beli tersebut sah namun pelakunya bermaksiat. Mereka mengatakan, bahwa
perintah untuk mengembalikannya dua budak tersebut bisa terjadi dengan akad baru
didasarkan atas kerelaan sang pembeli.
Tafsir Hadits
Dalam hal memisahkan hewan ternak dengan anaknya ada dua
pendapat, pertama; tidak boleh berdasarkan larangan beliau Shallallahu Alaihi wa
Sallam untuk menyiksa hewan ternak. Kedua; boleh diqiyaskan dengan masalah
penyembelihan, inilah yang lebih tepat.
وَعَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «غَلَا السِّعْرُ فِي الْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَ النَّاسُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ غَلَا السِّعْرُ، فَسَعِّرْ لَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ، الْقَابِضُ،
الْبَاسِطُ، الرَّازِقُ، وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ تَعَالَى
وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ» رَوَاهُ
الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
755. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata,
"Pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan
harga barang-barang di kota Madinah. Maka orang-orang berkata, 'Wahai
Rasulullah, harga barang-barang melonjak tinggi, tetapkanlah harga bagi kami.
Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Sesungguhnya Allahlah
menetapkan harga, Dia-lah yang menyempitkan, melapangkan, dan memberi rezeki.
Saya berharap bertemu Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun yang menuntutku
karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda". (HR.
Al-Khamsah kecuali An-Nasa'i, dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini)
[shahih, Abu Daud 3451, At Tirmidzi 1314,
Ibnu Majah 2200. Ebook editor]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Anas bin Malik Radiyallahu Anhu, dia
berkata, "Pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah terjadi
kenaikan harga barang-barang (yakni naik dari harga normal) di kota Madinah. Maka orang-orang berkata, 'Wahai Rasulullah, harga
barang-barang melonjak tinggi, tetapkanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Sesungguhnya Allahlah menetapkan
harga (yakni Allah mampu melakukan hal ini sendiri dengan iradahnya),
Dia-lah yang menyempitkan
(yakni tidak memberikan rezeki), melapangkan, diambil
dari firman Allah, "Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki)",
dan memberi rezeki. Saya berharap bertemu Allah dalam keadaan
tidak ada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah
maupun harta benda". (HR. Al-Khamsah kecuali An
Nasa'i, Ibnu Hibban mengesahkan hadits ini) Dan dikeluarkan oleh Ibnu
Majah, Ad-Darimi, Al-Bazzaar dan Abu Ya’la dari hadits Anas bin Malik dan
sanadnya sesuai syarat Imam Muslim dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut merupakan dalil bahwa tindakan menetapkan
harga adalah merupakan kezhaliman, dan apabila termasuk kezhaliman, maka
hukumnya haram. Inilah pendapat mayoritas ulama, diriwayatkan dari Imam Malik
bahwa dia berpendapat boleh menetapkan harga bahkan termasuk pada dua jenis
makanan pokok. Sedangkan hadits di atas menunjukkan haramnya menetapkan harga
bagi semua jenis barang walaupun alur ungkapan tersebut tertuju pada barang
tertentu. Al-Mahdi mengatakan, bahwa ulama muta'akhir menganggap baik penetapan
harga pada selain dua jenis bahan pokok seperti daging dan minyak samin untuk
kemaslahatan masyarakat umum dan menghindarkan mereka dari kemudharatan. Kami
telah membahas permasalahan ini secara lengkap dalam kitab Minhatul
Ghaffar dan kami telah memaparkan hingga tidak perlu tambahan
lagi.
وَعَنْ مَعْمَرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «لَا يَحْتَكِرُ إلَّا خَاطِئٌ» رَوَاهُ
مُسْلِمٌ.
756.Dari Ma'mar bin Abdullah Radhiyallahu Anhu dari
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Tidaklah menimbun
(barang) kecuali orang yang berdosa". (HR. Muslim)
[shahih, Muslim
(1605)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Ma'mar bin Abdilah, dia juga dipanggil Ma'mar bin Abi Ma'mar,
masuk Islam sejak dulu dan pernah hijrah ke Habasyah. Dan dia terlambat hijrah
ke Madinah, tetapi dia tetap hijrah dan menetap di sana.
Tafsir Hadits
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Tidaklah
menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa" yakni orang yang melakukan
perbuatan itu berarti telah melakukan kemaksiatan dan dosa. Di dalam bab ini
terdapat beberapa hadits yang menunjukkan haramnya menimbun. Dalam kitab
An-Nihayah disebutkan berdasarkan sabda Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang menimbun makanan", yakni siapa yang membeli kemudian
menahannya agar barang menjadi jarang lantas harganya jadi membumbung tinggi.
Zhahir hadits Muslim ini menunjukan haramnya menimbun makanan dan lainnya, hanya
saja ada anggapan bahwa tidak dikategorikan menimbun kecuali pada makanan. Abu
Yusuf berpendapat bahwa larangan ini bersifat umum, dia berkata, "Setiap barang
yang jika ditahan dapat merugikan orang banyak, maka menahannya dikategorikan
penimbunan walaupun berupa emas atau pakaian." Ada pula yang mengatakan, "Tidak
dikategorikan menimbun, kecuali pada makanan pokok manusia dan hewan ternak." In
adalah pendapat yang dipegang oleh kalangan Al-Hadawiyah dan Asy-Syafi'iyah.
Sangat jelas bahwa hadits yang melarang menimbun barang, ada
yang mutlak dan ada yang muaayyad (terikat dengan sifat tertentu) dalam hal ini
makanan. Jika terdapat hadits-hadits seperti ini, maka menurut jumhur ulama
tidak bisa menjadi yang mutlak menjadi muaayyad, karena tidak ada pertentangan
antara keduanya. Akan tetapi, hadits yang mutlak tetap pada kemutlakannya. Dan
ini menuntut untuk diterapkannya larangan menimbun secara mutlak (yakni pada
semua jenis barang) tanpa dipersempitkan menjadi hanya makanan saja. Kecuali
menurut pendapat Abu Tsaur yang kemudian dibantah oleh para ulama ushul Seakan
jumhur ulama mengkhususkan larangan hanya pada dua jenis bahan makanan, karena
mempertimbangkan sisi hikmah yang sesuai maksud dari pengharaman, yaitu mencegah
kemudharatan bagi banyak orang. Secara umum, hal yang sering mendatangkan
mudharat pada orang banyak adalah pada makanan. Oleh karena itu, mereka mengikat
kemutlakan hadits itu dengan sisi hikmah yang sesuai dengan maksud dari
pengharaman atau bisa juga mereka mengikatnya dengan pendapat sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut. Imam Muslim mengeluarkan hadits dari Said bin Al
Musayyib, bahwa dahulu dia melakukan penimbunan. Kemudian dikatakan kepadanya,
kamu telah melakukan penimbunan. Dia menjawab, "Karena Ma'mar perawi hadits itu
sendiri telah melakukan penimbunan." Ibnu Abdil Bar berkata, "Dahulu kedua orang
tersebut telah menimbun minyak."
Dan ini jelas menunjukkan bahwa Said mengikat (taqyid)
kemutlakan hadits dengan perilaku sang perawi." Adapun Ma'mar kita tidak tahu
dengan apa beliau mengikatnya? Bisa jadi dia mengikatnya dengan sisi hikmah
seperti halnya pendapat jumhur ulama.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - قَالَ: «لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ. فَمَنْ ابْتَاعَهَا
بَعْدُ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، إنْ شَاءَ
أَمْسَكَهَا. وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ «فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ» وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ
عَلَّقَهَا الْبُخَارِيُّ «وَرَدَّهَا مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، لَا سَمْرَاءَ»
قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَالتَّمْرُ أَكْثَرُ.
757. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sollam, beliau bersabda, "Janganlah menahan susu unta
dan kambing (agar terkesan subur susunya -edt.). Barangsiapa membelinya
dan sempat memerah susu darinya, maka ia boleh memilih dua hal, jika mau ia
boleh menahannya, jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan memberi satu sha'
kurma (sebagai ganti dari susu yang telah diperahnya)." (Muttafaq Alaih).
Menurut riwayat Muslim, "Ia mempunyai hak pilih selama tiga hari".
Menurut riwayat Muslim yang dita’liq oleh Al-Bukhari, "Ia
mengembalikannya beserta satu sha' makanan bukan gandum".
Al-Bukhari berkata, "Kebanyakan adalah berbentuk kurma."
[shahih, Al-Bukhari (2148) dan Muslim
(1524)]
ــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
At-Tashriyah secara bahasa bermakna menahan air. Imam
Asy-Syafi'i berkata, "Makna Tashriyah -dalam hadits- adalah mengikat tetek unta
atau kambing dan membiarkannya tanpa diperah sampai terkumpul banyak, sehingga
pembeli menyangka itu merupakan kebiasaannya sedangkan dalam hadits kata sapi
tidak disebutkan, tapi hukumnya sama.
Tafsir Hadits
Hadits di atas melarang perbuatan tashriyah (menahan
susu) pada hewan jika ingin dijual karena terdapat pada riwayat An-Nasa'i hadits
yang mengaitkannya dengan lafazh menjual,
«وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ
لِلْبَيْعِ»
"Janganlah menahan susu unta dan kambing untuk dijual"
[shahih, An-Nasa'i (7/253), dan lihat Shahih Al-Jami'
(7449)]
dalam riwayatnya yang lain,
«إذَا بَاعَ أَحَدُكُمْ الشَّاةَ أَوْ اللِّقْحَةُ
فَلْيَحْلُبْهَا»
"Bila salah seorang dari kalian menjual kambing atau unta,
maka perahlah susunya".
Inilah pendapat paling kuat menurut jumhur. Dan hal ini
diindikasikan oleh dalih penipuan dan kecurangan, hanya saja penulis tidak
mendapati nash dalih tersebut secara tertulis.
Adapun tashriyah (menahan susu) yang dilakukan bukan
karena ingin menjual hewan tersebut, akan tetapi agar susunya terkumpul demi
kemaslahatan si pemilik, maka walaupun dapat menyiksa binatang, tetapi hukumnya
boleh. Hadits secara zahir menunjukkan tidak ada khiyar (hak memilih) kecuali
setelah susunya diperah. Seandainya ketahuan adanya tashriyah walaupun belum
memerahnya, maka hak memilih tetap ada. Adanya hak memilih adalah menunjukkan
sahnya jual beli hewan yang ditahan susunya (tashriyah).
Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa
mengembalikan hewan karena adanya praktek tashriyah pada hewan itu, dilakukan
secara langsung, karena huruf Fa' dalam sabdanya: (فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ) "Maka ia boleh memilih dua hal"
menunjukkan kejadian secara langsung tanpa waktu jeda. Itulah yang dipegang oleh
sebagian kalangan Asy-Syafi'iyah, akan tetapi mayoritas mereka membolehkan jeda
waktu berdasarkan sabda beliau, "Maka ia boleh memilih selama tiga hari".
Mereka yang berpendapat harus langsung tanpa jeda disanggah dengan argumen bahwa
hal tersebut bisa ditorapkan jika si pembeli tidak mengetahui bahwa hewan
tersebut di tahan susunya, kecuali pada hari ketiga. Karena umumnya hal tersebut
tidak dapat diketahui dalam waktu yang kurang dari tiga hari karena susu bisa
berkurang karena perbedaan rumput yang dimakannya. Dalam riwayat Ahmad dan
Ath-Thahawi,
فَهُوَ بِأَحَدِ
النَّظَرَيْنِ بِالْخِيَارِ إلَى أَنْ يَحُوزَهَا أَوْ يَرُدَّهَا
"Maka dia boleh memilih satu dari dua hal terbaik sampai
dia membawanya" [Ahmad (2/242) dan Ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma'ani
Al-Atsar (4/17)]
Adapun pembatasan tiga hari, maka batas kapan memulainya
masih diperselisihkan, ada yang mengatakan, tiga hari Setelah diketahui adanya
tashriyah (penahanan susu), Ada juga yang mengatakan, dari semenjak
terjadinya transaksi jual beli, yang lain mengatakan, dimulai Setelah dia
menguasainya.
Hadits di atas juga menunjukkan kompensasi susu yang telah
diperah oleh pembeli adalah satu sha' kurma. Adapun riwayat yang dikomentari
Al-Bukhari dengan menyebutkan, "Satu sha' makanan", Al-Bukhari sendiri cenderung
menguatkan riwayat yang menyebutkan bahwa penggantinya adalah kurma, karena
itulah yang paling banyak dipakai orang. Bila hukum bahwa si pembeli harus
mengganti susu yang telah diperah dengan kurma telah ditetapkan, maka dalam
masalah ini terdapat 3 pendapat:
Pertama, pendapat jumhur para sahabat dan tabi'in,
yakni menetapkan penggantian susu dengan satu sha' kurma, baik susu tersebut
banyak ataupun sedikit, baik kurma sebagai makanan pokok penduduk setempat
ataupun tidak.
Kedua, pendapat Al-Hadawiyah, mereka mengatakan hewan
yang susunya ditahan itu harus dikembalikan, akan tetapi bersamaan dengan itu
mereka mengatakan, bahwa susu yang telah diperahnya itu harus dikembalikan
seperti sedia kala jika masih tersisa, atau dengan barang yang senilai bila
sudah habis atau diganti dengan uang sesuai harganya saat dikembalikan, jika
tidak didapati barang senilai. Mereka mengatakan, sudah menjadi ketetapan bahwa
pengganti barang yang hilang, jika barang tersebut ada kesamaannya, maka
gantinya adalah harus barang yang sama dan jika barang tersebut merupakan barang
yang bisa ditaksir harganya, maka harus diganti dengan uang seharga barang
tersebut. Bila susu merupakan barang yang ada kesamaannya, maka harus diganti
dengan barang yang sama, dan jika ia merupakan barang yang dapat ditaksir
harganya, maka ia harus diganti dengan uang sesuai harganya, lantas bagaimana
bisa, susu diganti dengan kurma atau dengan makanan? Mereka juga berkata,
penggantinya pun harus disesuaikan kadarnya dengan kadar susu tersebut, tidak
bisa diganti dengan satu sha' tanpa mempedulikan kadar susu tersebut lebih
sedikit atau lebih banyak. Hal ini dijawab, bahwa hal tersebut merupakan qiyas
yang bersifat umum terhadap semua jenis barang yang harus diganti. Sedangkan
masalah ini bersifat khusus, terdapat nash secara eksplisit yang mengaturnya.
Dan perkara yang bersifat khusus harus didahulukan daripada perkara yang
bersifat umum.
Adapun mengenai kadar satu sha', ia adalah kadar yang
ditentukan syariat untuk menghindari pertikaian, karena sulit untuk memastikan
kadar susu tersebut, karena bisa jadi tercampur dengan sesuatu yang lain setelah
hewan tersebut dijual. Maka syariat pun memutuskan perselisihan ini dan ia
tentukan kadar yang tidak boleh dilanggar, agar tidak terjadi permusuhan.
Syariat menetapkan penggantinya dengan sesuatu yang paling dekat dengan susu
(yaitu kurma -peny), karena keduanya merupakan makanan pokok kala itu.
Hukum-hukum seperti ini banyak sekali padanannya dalam syariat Islam, seperti
dalam hal ganti rugi tindak pidana melukai tubuh (muwaddihah). Penggantiannya
ditentukan syariat walaupun berbeda besar atau kecil luka tersebut. Begitu pula
membunuh janin di perut walaupun berbeda kondisinya. Hikmah di balik itu semua
adalah menghindari pertikaian.
Ketiga, pendapat kalangan Hanafiah. Mereka berbeda
pendapat pada inti permasalahan, mereka mengatakan bahwa barang yang dijual
tidak boleh dikembalikan hanya karena ada cacat tashriah dan tidak wajib
mengembalikan satu sha' kurma. Mereka menyatakan keberatan tentang keabsahan
hadits ini dengan berbagai alasan. Di antaranya dengan cara mencela sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut, menganggap hadits tersebut mudthtarib
(tidak konsisten), hadits tersebut mansukh (terhapus) dan hadits tersebut
bertentangan dengan firman Allah,
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا
عُوقِبْتُمْ بِهِ}
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." (QS. An-Nahl:
126)
Akan tetapi, semua alasan tersebut tertolak. Dan mereka juga
mengatakan hadits tersebut melanggar qiyas ushul, jika ditinjau dari
berbagai aspek, di antaranya:
Aspek Pertama; Dari sisi air susu yang terpakai, bila
hal tersebut ada pada saat akad jual beli, maka ia adalah bentuk kekurangan dari
barang dagangan, sehingga tidak perlu dikembalikan, dan bila hal tersebut
terjadi setelah berada di tangan pembeli, maka bukan menjadi tanggung jawab
penjual. Pernyataan ini dapat disanggah dengan alasan:
· Pertama, hadits
tersebut adalah dalil asal yang berdiri sendiri dan tidak dapat dikatakan bahwa
Ia menyelisihi qiyas ushul.
· Kedua, Bahwa
kekurangan dapat alasan untuk tidak dibolehkannya mengembalikan barang yang
telah dijual, apabila bukan dipergunakan untuk mengetahui adanya aib. Di sini
digunakan untuk mengetahui aib sehingga tidak terlarang.
Aspek Kedua, dari sisi penentuan hak pilihan selama
tiga hari, padahal hak memilih karena adanya aib (khiyar aib), hak memilih saat
penjual dan pembeli masih di tempat transaksi (khiyar majlis) dan hak memilih
karena berubah pikiran (khiyar ru'yah) sama sekali tidak ditetapkan dengan tiga
hari. Pernyataan ini disanggah dengan argumentasi, bahwa masalah musharrah
merupakan kasus khusus yang disebutkan bilangan harinya, karena secara umum
hukum tashriyah tidak diketahui, berbeda halnya dengan masalah lainnya.
Aspek Ketiga, dari sisi kewajiban barang jaminan
walaupun air susu tersebut masih ada. Pernyataan ini dibantah dengan argumen
bahwa dalam hal ini tidak ada bentuk yang lain [berbeda] karena telah tercampur
dengan air susu yang baru. Sehingga, tidak dapat dikem-balikan dalam jenis yang
sama karena telah bercampur. Maka, dalam hal ini jaminan yang berlaku seperti
halnya pada jaminan hamba yang dirampas dan kabur.
Aspek Keempat, dari sisi kewajiban mengembalikan
walaupun tidak ada cacat. Karena, bila berkurangnya air susu dianggap adanya
cacat, maka harus dikembalikan juga pada kasus lain walaupun bukan masalah
tashriyah tanpa perlu ada syarat sebelumnya, karena tidak mensyaratkan untuk
dikembalikan. Penulis menanggapi pendapat ini dengan argumen bahwa hal tersebut
merupakan hukum khiyar syarat jika dilihat dari sisi makna, karena saat pembeli
melihat tetek hewan tersebut penuh terisi susu seakan-akan penjual mensyaratkan
hal tersebut sebagai kebiasaannya. Masalah seperti ini sering sekali kita
dijumpai, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bab menghadang kafilah
pedagang.
Bila Anda dapat mengetahui adanya kelemahan kedua pendapat
tersebut, maka Anda dapat menyimpulkan bahwa pendapat yang kuat ialah pendapat
pertama. Anda tentu mengetahui bahwa hadits di atas adalah dalil yang
menunjukkan larangan berbuat curang [menipu], dan hukum khiyar bagi orang yang
merasa tertipu. Dalam hadits tersebut juga disebutkan bahwa penipuan tidak
merusak akad jual beli.
Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan larangan untuk
melakukan tashriyah dan adanya hak pilih. Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud secara marfu',
«بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ
الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ»
"Jual beli muhaffalah adalah bentuk jual beli yang
mengandung unsur menipu [curang], sedangkan seorang muslim dilarang menipu
[berbuat curang].” [Dhaif: Ibni Majah
(2281)]
Akan tetapi, dalam sanad hadits ini terdapat kelemahan.
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, hadits ini diriwayatkan secara marfu'
dengan sanad yang shahih. [Al-Mushannaf
(4/339)]
Yang dimaksud dengan al-muhaffalah adalah hewan yang
tidak diperah susunya agar air susunya banyak dan teteknya terlihat besar -untuk
menunjukkan bahwa air susunya banyak- sehingga ketika dijual pembeli mengira
bahwa hewan itu dapat menghasilkan susu yang banyak.
وَعَنْ ابْنِ
مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُحَفَّلَةً
فَرَدَّهَا فَلْيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَزَادَ
الْإِسْمَاعِيلِيُّ مِنْ تَمْرٍ.
758. Dari Ibnu
Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Barangsiapa membeli seekor kambing muhaffalah
(yang tidak diperas susunya), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia
mengembalikannya dengan membayar satu sha'." (HR. Al-Bukhari dan Al-Isma'ili
menambahkan dengan lafazh: [satu sha'] kurma)
[shahih, Al-Bukhari
(2149)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
Dalam hadits ini, penulis tidak menjadikannya sebagai hadits
marfu' dan hanya berhenti pada Ibnu Mas'ud, karena Al-Bukhari tidak
menjadikannya sebagai hadits marfu'. Pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan
sebelumnya.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَرَّ عَلَى صُبْرَةٍ مِنْ طَعَامٍ. فَأَدْخَلَ يَدَهُ
فِيهَا. فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا. فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ
الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَفَلَا
جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي»
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
759. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah
Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan bahan makanan [yang
dapat ditimbang atau ditakar untuk dijual]. Lalu beliau memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan tersebut dan ternyata jari-jari tangan beliau basah [karena di
dalam tumpukan itu ada bahan makanan yang masih basah]. Maka beliau bertanya,
"Wahai penjual makanan, kenapa ada yang basah?" Ia menjawab, "Terkena
hujan, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa tidak engkau letakkan
pada bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu
maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
[shahih, Muslim
(102)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
An-Nawawi berkata, "Sesuai dengan kaidah ushul, kata "bukan
termasuk golonganku" artinya bukan dari golongan orang-orang yang mendapat
petunjukku, serta mengikuti ilmu, amal dan jalanku. Sufyan bin Uyainah tidak
suka dengan penafsiran seperti itu seraya berkata, "Kita menahan diri dari
penafsiran yang lain agar lebih membekas dalam diri dan efektif sebagai
hardikan."
Hadits ini menunjukkan bahwa berbuat curang [menipu] adalah
perbuatan yang dilarang menurut syariat dan pelakunya dicela menurut akal yang
sehat.
وَعَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى
يَبِيعَهُ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ النَّارَ عَلَى بَصِيرَةٍ»
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
760. Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
"Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa menahan buah
anggur -dari hasil panen- pada musim panen tiba untuk dijual kepada pembuat
minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam api
neraka dengan sengaja." (HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dengan sanad
hasan)
//Dhaif Jiddan: Adh-Dhaifah: 1269. Ebook
editor//
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Biografi Perawi
Abdullah bin Buraidah nama lengkapnya adalah Abu Sahl
Abdullah bin Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami. Ia adalah seorang qadhi, perawi
dan tabi'i.
Penjelasan Kalimat
"Barangsiapa menahan buah anggur -dari hasil
panen- pada musim panen tiba (yakni, pada hari-hari musim dipetik) untuk dijual kepada pembuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah
menceburkan dirinya ke dalam api neraka dengan sengaja (yakni, dia telah
mengetahui sebab dan perkara yang dapat menceburkannya ke dalam neraka dengan
sengaja).
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al-Baihaqi dalam kitab
Syu'ab Al-Iman dari hadis Buraidah dengan tambahan,
«حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ
نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ
فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ»
"Sehingga menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau
kepada seseorang yang sudah diketahui -bahwa anggur itu- akan dibuat arak, maka
sungguh ia telah sengaja menceburkan dirinya ke dalam api neraka."
[Asy-Syu'ab (5/17)]
Tafsir Hadits
Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan haramnya menjual
buah anggur kepada seseorang [penjual] yang sudah jelas-jelas diketahui bahwa
anggur itu akan dijadikan sebagai bahan pembuat minuman keras. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya ancaman api neraka bagi penjualnya, sebagaimana
tersebut dalam hadits. Jika penjualan tersebut dilakukan dengan penuh
kesengajaan -si penjual sudah mengetahui bahwa si pembeli akan menjadikannya
sebagai bahan pembuat minuman keras-, maka para ulama sepakat atas keharamannya.
Adapun bila tanpa sengaja, Al-Hadawiyah mengatakan bahwa jual beli tersebut
boleh, tetapi termasuk perbuatan yang dibenci. Hal ini jika penjual ragu-ragu
apakah anggur itu akan dijadikan sebagai minuman keras atau tidak. Adapun bila
mengetahuinya dengan jelas, maka diharamkan. Hal ini diqiyaskan dengan sesuatu
yang dapat digunakan untuk melakukan -menolong- perbuatan maksiat. Sedangkan
sesuatu yang jelas-jelas digunakan untuk bermaksiat seperti seruling, gendang
dan semisalnya, maka telah disepakati para ulama bahwa menjual ataupun
membelinya tidak diperbolehkan. Begitu juga menjual senjata dan perlengkapannya
kepada orang kafir dan orang-orang yang berbuat aniaya, maka tidak
diperbolehkan, karena mereka menggunakannya untuk memerangi orang-orang muslim.
Akan tetapi, diperbolehkan apabila menjualnya kepada pihak yang bisa
dipertanggungjawabkan, sehingga senjata itu bisa digunakan untuk tujuan yang
baik dan semestinya.
وَعَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
«الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَضَعَّفَهُ الْبُخَارِيُّ،
وَأَبُو دَاوُد، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ، وَابْنُ
الْجَارُودِ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ، وَابْنُ الْقَطَّانِ.
761. Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pengeluaran itu dengan
tanggungan." (HR. Al-Khamsah. Hadits ini dhaif menurut Al-Bukhari dan Abu
Dawud. Akan tetapi dianggap shahih menurut At-Tirmidzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu
Al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu Al-Qaththan)
[hasan, Abi Dawud
(3508)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata,
"Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pengeluaran itu dengan
tanggungan." HR. Al-Khamsah. Hadits ini dhaif menurut Al-Bukhari
(karena di dalamnya terdapat Muslim bin Khalid Az-Zanji yang hilang hafalan
haditsnya) dan Abu Dawud. Akan tetapi, hadits ini dianggap
shahih menurut At-Tirmidzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim,
dan Ibnu Al-Qaththan (hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi'i
dan Ashabu As-Sunan secara panjang lebar. Hal tersebut bermula saat seorang
sahabat di zaman Nabi membeli seorang budak dengan kondisi yang ada padanya,
kemudian dia meminta dikembalikan karena terdapat aib pada diri budak tersebut.
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan untuk dikembalikan karena
terdapat aib, sedang shahabat yang diputuskan perkaranya -penjual-mengatakan
bahwa si pembeli telah menggunakannya. Sehingga Beliau bersabda, "Pengeluaran
itu dengan tanggungan."
Tafsir Hadits
Al-Kharaj artinya penghasilan dan sewa [upah]. Yakni,
jika barang dagangan itu dapat mendatangkan penghasilan, maka pemilik budaklah
yang menanggungnya, dan dia berhak atas hasil yang dikeluarkan itu berdasarkan
tanggungan yang dia lakukan. Bila seorang membeli tanah kemudian memanfaatkannya
untuk cocok tanam, atau hewan ternak kemudian menghasilkan, atau hewan
tunggangan kemudian ditungganginya, atau budak kemudian dipergunakannya, lalu
didapati padanya suatu cacat maka si pembeli berhak mengembalikannya tanpa ada
beban tanggungan atas sesuatu yang telah dimanfaatkannya. Karena, bila barang
tersebut rusak dalam waktu akad jual beli atau saat membatalkannya maka menjadi
tanggungan si pembeli sehingga tanggungannya menjadi kewajibannya. Ulama berbeda
pendapat dalam hal ini menjadi beberapa pendapat, yakni:
Pertama; Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa
pengeluaran itu dengan tanggungan, hal ini sesuai yang telah kita tetapkan dalam
makna hadits tersebut. Sedangkan mengenai faedah [manfaat] dari barang dagangan
itu baik berupa faedah yang utama maupun faedah yang lainnya menjadi hak si
pembeli, dan barang dagangan dapat dikembalikan selama tidak berkurang [dalam
kondisi yang sama] seperti pada saat dia menerimanya.
Kedua; Al-Hadawiyah membedakan antara faedah-faedah
yang utama dengan faedah yang timbul lainnya. Bagi si pembeli berhak atasnya
selain faedah yang utama. Sedangkan induknya menjadi amanat yang berada di
tangannya, bila pembeli mengembalikannya sesuai hukum yang berlaku maka wajib
dikembalikan dan mengganti yang rusak. Bila disepakati dengan penuh kerelaan
kedua pihak, maka tidak perlu dikembalikan.
Ketiga, pendapat Al-Hanafiah bahwa pembeli berhak atas
faedah dari cabangnya seperti kira', sedangkan faedah induknya seperti
kurma maka bila masih tersisa, dikembalikan beserta induknya dan bila sudah
habis maka tidak mungkin dikembalikan sehingga patut menerima ganti ruginya.
Keempat, pendapat Imam Malik dengan membedakan antara
faedah induk seperti bulu dan rambut maka menjadi hak milik pembeli dan anak
dikembalikan beserta ibunya. Hal tersebut selama tidak berhubungan langsung,
dengan barang dagangan saat dikembalikan. Bila berhubungan langsung maka wajib
dikembalikan kepadanya sesuai ijma' ulama. Itulah pendapat orang-orang yang
telah disebutkan namanya.
Zhahir hadits sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafi'i. Adapun
bila si pembeli telah menyetubuhi budaknya kemudian didapati padanya suatu
cacat, maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Al-Hadawiyah, ahli ra'yi,
Ats-Tsauri dan Ishaq berkata, tidak dapat dikembalikan sebab bersetubuh
merupakan tindak pidana karena tidak halal menyetubuhi budak, baik untuk induk
pembeli maupun cabangnya, sehingga dia telah mencorengkan cacat dengan
perilakunya tersebut. Mereka mengatakan, begitu pula dengan pendahuluan
bersetubuh tidak bisa dikembalikan setelah itu. Kata mereka, akan tetapi hal
tersebut diserahkan kepada penjual dengan mengembalikan ganti rugi atas cacat
yang terjadi. Dikatakan bahwa dikembalikan disertai dengan mahar wanita yang
sepadan dengannya. Di antara mereka ada pula yang memisahkan antara janda dan
perawan, hal tersebut telah cukup pembahasannya diulas oleh Al-Khathabi yang
dinukil oleh pemberi penjelasan (syarih). Semua pendapat tersebut hanya pendapat
semata tanpa didasari argumentasi dalil dan anggapan bersetubuh merupakan tindak
pidana tidak dapat dibenarkan dan alasan yang mengharamkan induk dan cabangnya
merupakan bentuk pidana tersendiri merupakan alasan yang lemah sebab tidak dapat
dicakup oleh pembeli pada keduanya.
وَعَنْ عُرْوَةَ
الْبَارِقِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَعْطَاهُ دِينَارًا لِيَشْتَرِيَ بِهِ أُضْحِيَّةً، أَوْ
شَاةً، فَاشْتَرَى بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، فَأَتَاهُ
بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، فَكَانَ لَوْ
اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ.
وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ، وَلَمْ يَسُقْ لَفْظَهُ.
وَأَوْرَدَ التِّرْمِذِيُّ لَهُ شَاهِدًا مِنْ حَدِيثِ حَكِيمِ بْنِ
حِزَامٍ.
762. Dari Urwah Al-Bariqi Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor
hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan
menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau
dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual belinya
diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh
keuntungan." (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa'i. Al-Bukhari meriwayatkan hadits
tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafazhnya tidak seperti itu.
At-Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim bin Hizam)
[Shahih Abi Dawud
(3384)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Urwah Al-Bariqi Radhiyallahu Anhu bahwa
Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan
seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor
kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada
beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual belinya
diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh
keuntungan. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa'i. Al-Bukhari meriwayatkan hadits
tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafazhnya tidak seperti itu.
At-Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim bin Hizam)
(Dalam sanad hadits terdapat Said bin Zaid saudara Hamad yang masih
diperselisihkan, Al-Mundziri dan An-Nawawi mengatakan sanadnya hasan shahih. Di
dalamnya ada banyak catatan: Penulis mengatakan, "Yang benar bahwa hal tersebut
tersambung, di dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak diketahui.")
Tafsir hadits
Dalam hadits terdapat petunjuk bahwa Urwah membeli sesuatu
yang tidak dapat diwakilkan dan saat menjualnya pun demikian. Karena Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar untuk membeli hewan kurban.
Kalaulah berhenti melakukannya niscaya dia membeli hewan kurban dengan sebagian
dinar dan mengembalikan sebagian yang lainnya. Hal ini yang telah dilakukannya
dan dinamai oleh para ahli fikih dengan istilah jual beli yang terhenti oleh
izin dan hal tersebut telah terjadi pada hadits ini. Dalam masalah ini ulama
mempunyai lima pendapat:
Pertama, sah jual beli yang terhenti. Inilah pendapat
yang dipegang oleh jama'ah dari ulama salaf dan Al-Hadawiyah sebagai bentuk
pengamalan hadits.
Kedua, tidak sah, itulah pendapat Imam Syafi'i dengan
mengatakan, "Sesungguhnya izin tidak dapat mengesahkannya dengan argumentasi
hadits,
«لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
"Janganlah engkau jual sesuatu yang tidak engkau
miliki" dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan An-Nasa'i. [Shahih: Abi Dawud (3505)]
Hadits tersebut mencakup barang yang tidak ada dan milik
orang lain. Asy-Syafi'i ragu akan keabsahan hadits Urwah dan beliau memberikan
catatan akan keshahihan haditsnya.
Ketiga, diperinci seperti pendapat Abu Hanifah, beliau
mengatakan, "Dibolehkan menjual bukan membeli. Seakan beliau membedakan antara
keduanya. Karena menjual adalah mengeluarkan sesuatu dari kepemilikan sang
pemilik barang. Dan pemilik mempunyai hak untuk menyempurnakan miliknya, bila
dia mengizinkan, maka gugurlah haknya. Hal tersebut berbeda dengan membeli
merupakan penetapan kepemilikan sehingga harus ada penguasaan pemilik atas
barang tersebut.
Keempat, pendapat Imam Malik kebalikan apa yang
dikatakan Abu Hanifah seakan beliau hendak menggabungkan antara dua hadits.
Yakni hadits "Janganlah engkau jual sesuatu yang tidak engkau miliki"
dengan hadits Urwah kemudian mengamalkannya selama tidak bertentangan.
Kelima, pendapat Al-Jashshash menganggap sah bila
diwakilkan untuk membeli sesuatu tapi dia membeli sebagiannya. Bila hadits Urwah
shahih, maka mengamalkan hadits tersebut merupakan pendapat yang kuat.
Dalam hadits terdapat petunjuk sahnya jual beli hewan kurban
bila telah ditentukan dengan membeli untuk mengganti barang yang serupa dan
tidak layak menambahkan harga sehingga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk menyedekahkannya. Dalam doa Nabi kepadanya dengan keberkahan
merupakan petunjuk bahwa mengucapkan syukur kepada pelaku kebaikan dan
membalasnya merupakan hal yang dicintai walaupun sekadar doa.
وَعَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ شِرَاءِ مَا فِي بُطُونِ الْأَنْعَامِ
حَتَّى تَضَعَ، وَعَنْ بَيْعِ مَا فِي ضُرُوعِهَا، وَعَنْ شِرَاءِ الْعَبْدِ وَهُوَ
آبِقٌ، وَعَنْ شِرَاءِ الْمَغَانِمِ حَتَّى تُقَسَّمَ، وَعَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ
حَتَّى تُقْبَضَ، وَعَنْ ضَرْبَةِ الْغَائِصِ» . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
وَالْبَزَّارُ وَالدَّارَقُطْنِيّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
763. Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang melakukan jual beli anak yang masih berada
dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya,
seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang
belum diterima, dan hasil seorang penyelam. (HR. Ibnu Majah dan Al-Bazzar.
Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad yang lemah)
[Hadits ini dhaif, Al-Irwa’
(1293)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu
bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang melakukan jual beli anak yang
masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada
dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum
dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. HR. Ibnu Majah
dan Al-Bazzar. Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad yang lemah
(karena dari hadits Syahr bin Huwaisyib. Syahr banyak dikritik oleh berbagai
kalangan seperti An-Nadhr bin Syamil, An-Nasai dan Ibnu Adi. Al-Bukhari berkata,
"Syahr baik haditsnya dan kuat perkaranya." Diriwayatkan dari Ahmad, ia
mengatakan, "Alangkah baik haditsnya.")
Tafsir Hadits
Hadits tersebut mencakup enam bentuk larangan yaitu:
Pertama, menjual janin di perut hewan berdasarkan
kesepakatan ulama yang mengharamkannya.
Kedua, air susu yang di dalam tetek yang disepakati
juga keharamannya.
Ketiga, budak yang melarikan diri karena tidak mampu
diserah-terimakan.
Keempat, membeli harta rampasan sebelum dibagikan
karena tidak ada pemiliknya.
Kelima, membeli harta sedekah sebelum diterima
disebabkan belum sempurna menjadi milik penerima sedekah, kecuali setelah
diterima. Para fuqaha mengecualikan menjual harta sedekah setelah dilepas dari
pemberi sedekah karena mereka menjadikannya sama dengan serah terima.
Keenam, perilaku penyelam dengan mengatakan: aku akan
menyelam di laut dengan bayaran sekian, sedangkan hasil yang kutangkap menjadi
milikmu. Alasan keharamannya karena mengandung gharar (ketidakjelasan) dan
terdapat unsur penipuan.
وَعَنْ ابْنِ
مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
«لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ، فَإِنَّهُ غَرَرٌ» رَوَاهُ أَحْمَدُ،
وَأَشَارَ إلَى أَنَّ الصَّوَابَ وَقْفُهُ
764. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah membeli ikan dalam air
karena ia tidak jelas." (HR. Ahmad, Ia memberi isyarat bahwa yang benar
hadits ini mauquf)
[dhaif, Dhaif Al-Jami'
(6231)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah membeli ikan
dalam air karena ia tidak jelas." HR. Ahmad, Ia memberi isyarat bahwa yang
benar hadits ini mauquf (hadits ini sebagai dalil keharaman menjual ikan
di air sebab adanya tipu daya (gharar). Hal itu terjadi karena saat dalam air
hakekat ikan tidak dapat diketahui sehingga nampak ikan yang kecil menjadi besar
dan begitu pula sebaliknya.
Tafsir Hadits
Larangan di sini nampak bersifat mutlak, sedangkan para
fuqaha merinci hal tersebut dengan mengatakan; bila ikan berada di dalam air
yang banyak dan tidak mungkin mengambilnya, kecuali dengan cara dipancing dan
dibolehkan pula tanpa mengambilnya, maka jual belinya tidak sah. Dan bila berada
di air yang mungkin diketahui keberadaannya dan mungkin diambil dengan cara
dipancing, maka jual belinya sah dan boleh melakukan khiyar setelah barang
diterima. Bila mungkin didapatkan tanpa perlu dipancing maka jual belinya sah
dan boleh melakukan khiyar penglihatan. Rincian ini terambil dari dalil-dalil
yang ada dan mengharuskan (mengkhususkan) sesuatu larangan yang bersifat
umum.
وَعَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ تُبَاعَ ثَمَرَةٌ حَتَّى تُطْعَمَ، وَلَا
يُبَاعَ صُوفٌ عَلَى ظَهْرٍ، وَلَا لَبَنٌ فِي ضَرْعٍ» . رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ
فِي الْأَوْسَطِ وَالدَّارَقُطْنِيّ. وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد فِي الْمَرَاسِيلِ
لِعِكْرِمَةَ، وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مَوْقُوفًا عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ
قَوِيٍّ، وَرَجَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ.
765. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu
yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. (HR.
Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Ad-Daraquthni. Abu Dawud meriwayatkan
dalam hadits-hadits Mursal Ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu
Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Al-Baihaqi)
[Al-Ausath (4/101), dan Ad-Daraquthni (3/14), Al-Marasil
no. (182,183)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga
masak (yakni nampak layak dikonsumsi) dan tidak menjual
bulu yang masih melekat di punggung -hewan hidup-, dan susu dalam tetek. HR.
Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Ad-Daraquthni (dan dikuatkan oleh
Al-Baihaqi) Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits Mursal
Ikrimah (inilah yang kuat) ia juga meriwayatkan secara
mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh
Al-Baihaqi.
Tafsir hadits
Hadits di atas mengandung tiga persoalan, yaitu:
Pertama, larangan menjual buah-buahan hingga nampak
kelayakannya untuk dipetik dan dikonsumsi. Pembahasan hal ini lebih jelas akan
dibahas pada bab tersendiri.
Kedua, larangan menjual bulu di punggung hewan,
terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.
1) Tidak dibolehkan sesuai dengan makna hadits di atas
karena masih terdapat perbedaan tempat memotong sehingga menyakiti hewan
tersebut. Inilah pendapat Al-Hadawiyah dan kalangan Asy-Syafi'iyah serta Abu
Hanifah.
2) Sah jual belinya karena hal tersebut dapat dilihat
dan bisa diserah-terimakan sebagaimana disahkan pula dari hewan sembelihan.
Inilah perkataan Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya. Mereka
mengatakan bahwa kondisi hadits di atas mauquf pada Ibnu Abbas.
Pendapat pertama paling nampak kebenarannya, sedangkan hadits
di atas dikuatkan oleh hadits mursal dan mauquf. Adapun larangan penipuan
sungguh benar dilarang, sedangkan sikap gharar terjadi padanya.
Ketiga, menjual air susu di tetek karena terdapat
unsur tipuan. Sedangkan said bin Jubair membolehkan hal tersebut dengan
mengatakan, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut tetek sebagai
gudang dalam sabdanya saat menyebut orang yang memerah kambing saudaranya tanpa
izin darinya.
«يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إلَى خِزَانَةِ أَخِيهِ
وَيَأْخُذُ مَا فِيهَا»
"Seseorang dari kalian sengaja mendekati gudang saudaranya
dan mengambil apa yang ada di dalamnya.”
Penulis menjawab, bahwa penamaan tersebut hanya berupa majaz.
Kalaupun alasan tersebut dapat diterima maka jual beli yang dalam gudang itu
berupa tipuan (gharar) yang tidak dapat diketahui jumlah dan kualitasnya.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمَضَامِينِ وَالْمَلَاقِيحِ» . رَوَاهُ
الْبَزَّارُ، وَفِي إسْنَادِهِ ضَعْفٌ
766. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli anak hewan dalam kandungan dan
mani ternak jantan. (HR. Al-Bazzar dengan sanad yang lemah)
[shahih, Al-Bazzar (1267) Al-Kasysyaf, dan
lihat Shahih Al-Jami’ (6937)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli anak hewan dalam
kandungan (yakni apa yang dalam kandungan unta) dan mani
ternak jantan (yakni apa yang di punggung unta jantan). HR. Al-Bazzar dengan sanad yang lemah (karena di dalam
riwayatnya terdapat Shalih bin Abil Akhdhar dari Az-Zuhri dia seorang yang lemah
dan diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri dari Said secara mursal. Dalam kitab
Al-Ilal Ad-Daraqutni berkata, "Diikuti oleh Ma'mar dan disambungkan oleh
Umar bin Qais dari Az-Zuhri, sedangkan perkataan Malik adalah benar. Dan dalam
bab tersebut dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Abdurrazaq dengan sanad yang
kuat)
Tafsir Hadits
Hadits ini sebagai dalil tidak sahnya jual beli yang masih
ada dalam kandungan (perut) dan sesuatu yang di punggung unta. Ulama sepakat
keharamannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «وَمَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتَهُ أَقَالَ
اللَّهُ عَثْرَتَهُ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَابْنُ مَاجَهْ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ
حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ.
767. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membebaskan jual beli
seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya." (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim)
[Shahih: Abi Dawud
(3460)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Makna Hadits
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membebaskan
jual beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya." (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim) pada
lafazhnya disebutkan:
«مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ»
"Barangsiapa membebaskan jual beli seorang muslim, Allah
akan membebaskan kesalahannya di hari kiamat"
Abu Fath Al-Qusyairi berkata, "Hadits tersebut sesuai syarat
Al-Bukhari dan Muslim. Dalam bab tersebut terdapat hadits-hadits yang memperkuat
keutamaan melakukan pembebasan (Iqalah)."
Tafsir Hadits
Secara syariat Iqalah (pembebasan) artinya menarik
kembali jual beli yang telah terjadi di antara kedua pelaku akad. Hal tersebut
disyariatkan berdasarkan ijma' ulama dengan mengharuskan adanya pengucapan
lafazh yang menunjukkan pembebasan jual beli (Iqalah) seperti perkataan: 'aku
bebaskan' atau ungkapan yang menunjukkan hal tersebut secara adat istiadat.
Iqalah mempunyai berbagai jenis syarat yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab
sub induk karangan para ulama yang tanpa diperkuat dengan dalil. Hadits di atas
hanya menunjukkan bahwa hal itu terlaksana dengan dua sisi pelaku akad dengan
sabdanya: "jual belinya". Sedangkan sifat orang yang diberi Iqalah seorang yang
muslim bukan menjadi syarat mutlak. Penyebutannya hanya bersifat keumumann
hukum, kalau tidak demikian niscaya pahalanya akan menjadi bagian orang kafir.
Terdapat pula riwayat yang menyebutkan:
مَنْ أَقَالَ
نَادِمًا
'barangsiapa membebaskan orang yang menyesal'
dikeluarkan oleh Al-Bazzar. [dhaif, Dhaif Al-Jami', (5464)]
Nasehat Muslim
Hadist nomor 775 tidak ada kah?
BalasHapusJazakumullahu khairan bermanfaat sekali mohon bs dilengkapi juga untuk bab lainnya.
BalasHapus