
Nasehat Muslim
01. KITAB THAHARAH
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penulis memulainya dengan pembahasan thaharah (bersuci) 
mengikuti contoh para penulis dalam hal tersebut, dan mendahulukan urusan agama 
atas apa yang lainnya serta sebagai perhatian terhadap urusan yang paling 
penting yaitu shalat, karena thaharah merupakan salah satu syarat sahnya shalat 
sehingga harus dimulai darinya.
Hakikatnya adalah, orang-orang yang bersuci menggunakan air 
dan tanah –atau salah satunya- atas sifat yang disyariatkan dalam menghilangkan 
najis dan hadats. karena seorang fakih (ahli fikih) hanyalah membahas kondisi 
perbuatan mukallaf berupa wajib dan yang lainnya.
Mengingat air merupakan unsur terpenting dalam bersuci, maka 
ia pun mendahulukan untuk menerangkan hukum-hukumnya.
01.01. BAB 
AIR 
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Air adalah nama jenis yang berlaku bagi yang sedikit maupun 
yang banyak. Disebutkan dengan bentuk jamaknya lantaran perbedaan jenisnya 
menurut hukum syari’at, karena ada yang dilarang menggunakannya dan ada yang 
makruh. juga lantaran adanya perbedaan pada sebagian air seperti air laut, 
karena pensyarah menukil perbedaan mengenai bersuci dengannya dari Ibnu Umar dan 
Ibnu Amr. Dalam kitab An Nihayah disebutkan bahwa air laut itu dapat 
mensucikan, terjadi perbedaan pendapat pada sebagian generasi pertama. 
Terjadinya perbedaan pendapat sejak dahulu pada masalah ini, sepertinya membuat 
penulis memulai dengan hadits yang menunjukkan kesuciannya, dan hadits tersebut 
yang dijadikan hujjah oleh jumhur ulama, ia berkata:
0001 
١- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ 
- قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فِي 
الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ» أَخْرَجَهُ 
الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ 
خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ، [وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ 
وَأَحْمَدُ]
1. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda 
tentang laut, ”Airnya suci dan bangkainya halal.’ (Dikeluarkan oleh Imam 
yang empat dan Ibnu Abu Syaibah, lafazh tersebut miliknya, dan dishahihkan oleh 
Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi)
[Shahih: Shahihul Jami’ 7048] 
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi 
Abu Hurairah RA adalah Abdurrahman bin Shakhr, menurut 
pendapat Muhammad bin Ishaq dan Al Hakim Abu Ahmad. Ia meninggal dunia di 
Madinah pada tahun 59 H, dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Baqi, menurut 
salah satu pendapat.
Penjelasan Kalimat
Rasulullah SAW bersabda tentang laut 
(maksudnya: mengenai hukumnya) airnya suci 
(Ath-Thahur adalah nama bagi yang dapat digunakan bersuci, atau suci 
dan dapat mensucikan, sebagaimana dalam Al Qamus. Sedang menurut istilah Syara’, 
yaitu nama bagi yang dapat menyucikan) halal 
bangkainya.
Dikeluarkan oleh imam yang empat dan Ibnu Abi 
Syaibah (yaitu Abu Bakar. Mengenai dirinya, Adz Dzahabi berkata: ‘Seorang 
hafizh yang tidak ada tandingannya dan terbukti kecerdikannya adalah Abdullah 
bin Muhammad bin Abu Syaibah. Penulis Al Musnad, Mushannaf dan yang lainnya, 
termasuk Syaikh (guru) Al Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dishahihkan pula oleh Ibnu 
Khuzaimah. Adz Dzahabi berkata: “Hafizh besar, 
imam para imam, Syaikh Islam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, dialah 
imam yang paling tinggi dan paling banyak hafalannya pada masanya di Khurasan. 
Dan juga dishahihkan oleh At Tirmidzi, setelah menyebutkannya ia berkata: 
“Hadits ini hasan shahih, dan saya telah menanyakan kepada Muhammad bin Isma’il 
Al Bukhari tentang hadits ini maka ia berkata, “hadits shahih.” Ini ucapan At 
Tirmidzi sebagai dalam Mukhtashar As Sunan karya Al Hafidz Al Mundziri. 
Penulis telah menyebutkan hadits ini dalam At-Talkhis 
dari sembilan orang shahabat, tetapi tidak ada satu jalan pun yang lepas dari 
komentar para ulama, tetapi ulama yang saya dengar telah menetapkan 
keshahihannya. Dan dishahihkan oleh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Mandah, Ibnul Mundzir 
dan Abu Muhammad Al Baghawi.
Penulis berkata, “Sejumlah hadits yang tidak sampai pada 
derajat hadits ini dan tidak mendekatinya telah dihukumi shahih.”
Tafsir Hadits
Az Zarqani berkata dalam Syarh Al Muwaththa, “Hadits 
ini adalah salah satu dasar dari pokok-pokok Islam, telah diterima oleh umat, 
sangat populer di kalangan ulama fikih di semua negeri, pada setiap masa, dan 
diriwayatkan oleh para imam besar.” Kemudian ia menyebutkan orang yang 
meriwayatkan dan menshahihkannya.
Hadits tersebut adalah jawaban dari sebuah pertanyaan, 
sebagaimana dalam Al Muwaththa’ bahwa Abu Hurairah RA berkata, “Seorang 
laki-laki datang – dalam Musnad Ahmad dari Bani Mudlaj, dan menurut At Thabrani 
namanya Abdullah – kepada Rasulullah SAW lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, 
sesungguhnya kami biasa berlayar di laut dan kami membawa air hanya sedikit, 
jika kami menggunakannya berwudhu maka kami akan kehausan, bolehkan kami 
berwudhu  dengannya? –dalam lafazh Abu Daud –dengan air laut-? Maka 
Rasulullah SAW menjawab: ‘Ia (air laut) itu suci.” Beliau SAW menerangkan 
bahwa air laut itu suci dan dapat menyucikan, tidak keluar dari kesucian itu 
dengan kondisi bagaimana pun, melainkan apa yang diterangkan yaitu jika salah 
satu dari sifatnya telah berubah. Rasulullah SAW tidak menjawabnya dengan ‘Ya’. 
Meskipun hal itu sudah dipahami maksudnya, tetapi beliau menjawabnya dengan 
ucapan tersebut agar hukum tersebut berkumpul dengan illat (sebab)nya, 
yaitu kesucian yang terbatas dalam babnya.
Contohnya, ketika melihat air laut berbeda dengan air biasa 
dengan rasanya yang asin dan baunya yang busuk, ia bimbang kalau-kalau air 
tersebut tidak dimaksudkan oleh firman Allah SWT:
{فَاغْسِلُوا}
“Maka basuhlah.....” (QS. Al-Maidah [5]: 6)
Maksudnya dengan air yang sudah jelas yang Allah kehendaki 
dalam firman-Nya pada ayat sebelumnya.
Atau ketika ia telah mengetahui firman Allah SWT:
{وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً 
طَهُورًا}
“Dan Kami turunkan dari langit air yang 
amat bersih.” (QS. Al Furqan [25]: 48)
Ia menyangka hal itu berlaku khusus, maka ia pun 
menanyakannya. Lalu Nabi SAW menerangkan hukum air tersebut kepadanya, dan 
beliau menambahkan hukum yang tidak ditanyakannya bahwa bangkainya halal.
Ar-Rafi’i berkata: “Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa 
hal itu samar bagi si penanya mengenai air laut, beliau khawatir kalau ia juga 
ragu mengenai bangkainya, sementara ia sering berlayar di laut, maka beliau 
melanjutkan jawabannya dari pertanyaan itu dengan menerangkan hukum 
bangkainya.
Ibnu Al Arabi berkata: “Yang demikian itu adalah hal yang 
dipandang baik dalam memberikan fatwa, yaitu dengan memberikan jawaban lebih 
banyak dari yang di atasnya, dalam rangka menyempurnakan faedah dan menerangkan 
ilmu lainnya yang tidak ditanyakan.” Dan hal itu lebih dipertegas lagi manakala 
jelas adanya kebutuhan mendesak terhadap hukum. Sebagaimana disebutkan di sini, 
bahwa seorang yang tidak mengetahui kesucian air laut, tentu lebih tidak 
mengetahui kehalalan bangkainya, meski hal itu lebih utama.
Yang dimaksud dengan bangkai air laut adalah binatang laut 
yang mati di dalamnya. Yakni binatang yang hanya bisa hidup di laut, tidak 
berarti setiap binatang yang mati di dalamnya secara mutlak. Karena meskipun 
secara bahasa memang benar bangkai laut, akan tetapi sudah maklum bahwa yang 
dimaksud adalah yang telah kami sebutkan. Zhahirnya, bahwa halal setiap yang 
mati di dalamnya, walaupun seperti anjing dan babi. Komentar mengenai halt 
sebelum akan disebutkan pada babnya. Insya Allah.
٢ - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
- «إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ 
وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
2. Dan dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, Rasulullah SAW 
bersabda: “Sesungguhnya air itu suci tidak ada sesuatupun yang dapat 
menajiskannya. (HR. Imam yang tiga dan dishahihkan Ahmad)
[Shahih: Shahih Al-Jami 
1925]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Abu Sa’id nama lengkapnya adalah Sa’id bin Malik bin Sinan Al 
Khazraji Al Anshari. Al Khudri dinisbatkan kepada Khudrah, salah satu suku 
Anshar sebagaimana dalam Al Qamus.
Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama para shahabat yang 
menyaksikan Baiat Asy Syajarah. Meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa 
dalam beberapa waktu.”
Abu Sa’id meninggal pada awal tahun 74 H dalam usia 86 tahun. 
Banyak meriwayatkan haditsnya. Sekelompok shahabat meriwayatkan hadits darinya. 
Ia memiliki 84 hadits dalam Ash-Shahihain.
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang tiga, yaitu para 
penyusun kitab as sunan selain Ibnu Majah, sebagaimana yang sudah diketahui, dan 
dishahihkan oleh Ahmad. Dalam Mukhtashar As Sunan, Al Hafidz Al Mundziri 
berkata: “Sesungguhnya sebagian mereka mengomentarinya dan diceritakan dari Imam 
Ahmad bahwa ia berkata, “Hadits sumur Budha’ah shahih.”
At Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih.” Abu Usamah 
menganggap baik hadits ini. tidak ada hadits Abu Sa’id mengenai sumur Budha’ah 
yang lebih baik dari yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Hadits ini diriwayatkan 
lebih dari satu jalur dari riwayat Abu Sa’id.
Hadits tersebut memiliki sebab, yaitu ketika 
«قِيلَ لِرَسُولِ لِلَّهِ - صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ 
فِيهِ الْحَيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ: الْمَاءُ 
طَهُورٌ»
Rasulullah SAW ditanya, “Apakah kami boleh berwudhu  
dari sumur Budha’ah, yaitu sumur tempat membuang kain-kain bekas haidh, 
bangkai, anjing dan barang-barang busuk? Maka beliau menjawab, “Air itu 
suci”. Al hadits. 
Demikian yang terdapat dalam sunan Abu Daud dan dalam satu 
lafazh padanya:
[إنَّ الْمَاءَ]
Sesungguhnya air itu...
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis.
Perlu diketahui, bahwa dalam Asy-Syarh penulis telah 
mengomentarinya panjang lebar, dan menyebutkan pendapat-pendapat mengenai air 
secara memadai. Dalam membahas masalah air ini, kami akan membatasinya pada 
hadits-hadits terpenting, mengetahui pengambilan pendapat-pendapat tersebut dan 
cara pengambilan dalil, maka kami katakan, “Banyak hadits telah diriwayatkan 
yang dijadikan dalil tentang hukum-hukum air, seperti:
«الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ 
شَيْءٌ»
“air itu suci dan tidak ada sesuatu yang dapat 
menjadikannya najis.”
«إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ 
الْخَبَثَ»
Apabila air itu telah sampai dua qullah, maka tidak 
mengandung kotoran.
[shahih: Shahih Al-Jami 
416]
Dan hadits perintah menuangkan satu timba air pada tempat 
yang terkena air seni orang Arab Badui di dalam Masjid.
[shahih: shahih Al Bukhari (219, 221) Muslim 
(284)]
«إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ فَلَا يُدْخِلْ 
يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا»
“apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka 
janganlah ia masukkan tanggannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya tiga 
kali.”
[shahih: shahih Al Bukhari (162) Muslim 
(278)]
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ 
الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air 
yang tenang (air yang tidak mengalir) kemudian ia mandi padanya.”
[shahih: shahih Al Bukhari (239, 
282)]
«إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ 
أَحَدِكُمْ»
“Apabila ada anjing menjilat pada bejana salah seorang 
dari kalian....”
[shahih: shahih Muslim 
(279)]
Hadits-hadits tersebut semuanya kuat, dan akan disebutkan 
semuanya pada komentar penulis. Jika hal ini telah Anda ketahui, maka 
sesungguhnya pendapat-pendapat para ulama berbeda-beda mengenai air jika 
bercampur dengan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya.
Al Qasim, Yahya bin Hamzah dan sekelompok pengikutnya, Malik 
dan Azh-Zhahariayah berpendapat bahwa aiur itu suci, baik sedikit maupun banyak, 
berdasarkan hadits, Air itu suci. Hanya saja mereka menghukumi ketidaksucian air 
jika berubah salah satu sifatnya sebab terkena najis, berdasarkan kesepakatan 
ulama atas hal tersebut, sebagaimana yang sebentar lagi akan dibahas.
Menurut golongan Al Hadawiyah, Al Hanafiyah dan Asy Syafiiyah 
mereka membagi air dalam dua kategori, air sedikit yang dapat dirusak oleh najis 
secara mutlak, dan air yang banyak yang tidak dapat dirusak kecuali jika dapat 
mengubah salah satu sifat-sifatnya.
Kemudian mereka berbeda pendapat dalam memberikan batasan air 
sedikit dan air yang banyak:
Al Hadawiyah berpendapat dalam membatasi air yang 
sedikit, yaitu kondisi air yang terkena najis, ketika orang yang menggunakannya 
beranggapan bahwa dengan menggunakan air tersebut berarti ia telah menggunakan 
air najis. Jika si pemakai air tersebut tidak beranggapan demikian berarti 
dianggap sebagai air yang banyak. Dan selain mereka berpendapat yang berbeda 
dalam memberikan batasan air yang sedikit di antaranya:
·         Al Hanafiyah 
berkata: “Batasan air yang banyak adalah air yang apabila seseorang menggerakkan 
salah satu ujungnya, gerakan tersebut tidak sampai pada ujung lainnya, dan 
selain itu berarti sedikit.”
·         Sementara 
Asy-Syafi'iiyah berkata: “Air yang banyak adalah yang sampai dua kullah menurut 
ukuran kullah bani Hajar, yaitu sekitar 500 liter, berdasarkan hadits tentang 
air dua kullah, dan jika kurang berarti sedikit.”
Perbedaan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan 
hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu. Karena hadits tentang bangun 
tidur dan hadits tentang air tenang menunjukkan bahwa najis yang sedikit membuat 
najis air yang sedikit, demikian pula tentang air yang dijilat anjing dan 
perintah menuangkan air yang dijilatnya. Kemudian ditentang oleh hadits orang 
Badui dan perintah menuangkan satu timba air di atasnya, karena hal itu 
menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat menajiskan air yang sedikit, 
dan sudah maklum bahwa tempat yang terkena dengan air seni orang Badui tadi 
telah disucikan oleh satu timba tersebut, demikian pula sabda beliau, “Air 
itu suci dan tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu.”
Kelompok pertama, mereka yang berpendapat bahwa tidak ada 
sesuatu yang dapat menajiskannya kecuali yang mengubah salah satu sifatnya. 
Hadits-hadits tersebut dikumpulkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak 
ada yang dapat menajiskannya sebagaimana yang ditunjukkan lafazh ini dan hadits 
orang Badui. Sedang hadits bangun tidur, air tenang dan yang dijilat anjing 
tidak disebutkan untuk menjelaskan hukum najisnya air, tetapi perintah untuk 
menjauhinya sebagai ta’abud bukan karena najis, dan untuk menunjukkan 
makna yang tidak kita ketahui sebagaimana kita tidak mengetahui hikmah jumlah 
shalat dan yang lainnya.
Pendapat lain, bahwa larangan dalam hadits-hadits ini 
hanyalah makruh, tetapi ia suci dan menyucikan.
Asy-Syafi'iyyah memadukan hadits-hadits tadi, bahwa hadits 
‘tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya najis’, berlaku untuk air yang 
sampai dua kullah dan yang lebih dari itu berarti banyak. Sedangkan hadits 
bangun tidur dan air tenang berlaku untuk air sedikit. Sedangkan menurut Al 
Hadawiyah, bahwa hadits bangun tidur berlaku sebagai Sunnah, maka tidak wajib 
mencucinya.
Al Hanafiyah berkata, “Yang dimaksud dengan ’tidak ada 
sesuatu yang dapat menajiskannya, adalah air banyak yang telah terdahulu 
pembatasannya, dan mereka mencela hadits dua kullah bahwa hadits tersebut adalah 
mudhtharib. Demikian pula dianggap cacat oleh Imam Al Mahdi dalam Al 
Bahr, sebagian mereka menakwilkannya dan hadits-hadits lainnya pada air 
sedikit.
Akan tetapi diriwayatkan atas mereka hadits air seni orang 
Badui, karena sesungguhnya hadits tersebut –sebagaimana yang telah Anda ketahui- 
menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat merusak air yang sedikit, lalu 
Asy-Syafi'iyah membantahnya dengan membedakan antara air yang mencampuri najis 
dengan najis yang mencampuri air, mereka berkata, “Jika najis mencampuri air, 
maka ia menajiskannya, sebagaimana pada hadits bangun tidur, dan jika air yang 
mencampuri najis maka tidak merusaknya sebagaimana dalam hadits air seni orang 
Badui.” Dalam hal ini ada pembahasan yang telah kami teliti pada catatan kaki 
syarh Umdah dan Dha’untuk An Nahr.
Kesimpulannya yaitu mereka menghukumi bahwa jika najis 
mengalir pada air yang sedikit dapat membuatnya najis, dan jika air yang 
mengalir pada najis, maka tidak membuatnya najis. Mereka menjadikan Illat 
tidak dapatnya air menjadi najis karena mengalir pada benda najis. Namun tidak 
demikian, bahkan menurut penelitian ketika air mengalir di atas najis ia 
mengalir di atasnya sedikit demi sedikit hingga benda najis itu hilang dan najis 
tersebut hilang sebelum musnahnya benda najisnya, maka air yang terakhir 
mengalir di atas najis mendapati tempat najis  itu telah suci atau 
masih tersisa bagian yang ada najisnya, namun akan hilang dan lenyap ketika 
bertemu dengan bagian akhir dari air yang mengalir di atasnya, sebagaimana 
hancur dan lenyapnya najis yang mengalir di atas air yang banyak menurut ‘ijma. 
Maka tidak ada perbedaan antara ini dengan air yang banyak dalam menghilangkan 
najis, karena bagian akhir yang mengalir atas najis dapat menghilangkan bendanya 
lantaran banyaknya terhadap najis yang masih tersisa, maka Illat tidak 
najisnya dengan mengalir atasnya adalah karena banyaknya dan bukan karena ia 
mengalir di atasnya, sebab tidak masuk akal perbedaan antara dua yang mengalir 
bahwa salah satunya dapat menajiskannya dan yang lain tidak.
Jika Anda telah mengetahui apa yang telah kami terangkan 
terdahulu, bahwa tidak ada dalil yang tegas dalam pembatasan air banyak dan 
sedikit, maka pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) dengan memperhatikan 
dalil adalah pendapat Al Qasim bin Ibrahim dan para pendukungnya, yaitu pendapat 
sekelompok shahabat sebagaimana dalam Al Bahr, dan dipegangi oleh para 
imam mutaakhir dan di antara mereka yang memilihnya adalah Imam Syarafuddin.
Ibnu Daqiq Al Id berkata: “Sesungguhnya hal itu adalah 
pendapat Ahmad bin Hanbal, dan didukung oleh sebagian ulama mutaakhir dari para 
pengikutnya dan juga ditarjih (dikuatkan) oleh salah seorang pengikut Imam 
Asy-Syafi'i yaitu Al Qadhi Abul Hasan Ar-Ruyani penulis Bahr Al Mazhab, 
ia mengungkapkannya dalam Al Iman.”
Dalam Al Muhalla Ibnu Hazm berkata, “Sesungguhnya 
pendapat itu diriwayatkan dari Aisyah RA Ummul Mukminin, Umar bin Khaththab, 
Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Maimunah Ummul 
Mukminin, Abu Hurairah RA, Khuzaifah bin Al Yaman, Al Aswad bin Yazid, 
Abdurrahman saudaranya, Ibnu Al Musayyib, Ibnu Abi Laila, Sa’id bin Jubair, 
Mujahid, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad dan Al Hasan Al Bashri serta yang 
lainnya.
٣ - وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ - «إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى 
رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ» أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَضَعَّفَهُ أَبُو 
حَاتِمٍ
- 
وَلِلْبَيْهَقِيِّ «الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، 
أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ»
3. Dari Abu Umamah Al Bahili RA, Rasulullah SAW bersabda: 
“Sesungguhnya air itu tidak ada yang dapat menajiskannya kecuali yang merubah 
bau, rasa dan warnanya.” (HR. Ibnu Majah dan didhaifkan oleh Ibnu Abi 
Hatim)
[Dhaif: Dhaif Ibnu Majah 
527]
Dan bagi Al Baihaqi, “Air itu suci kecuali jika berubah 
bau, rasa dan warnanya disebabkan najis yang memasukinya.”
[Sunan Al Baihaqi 1/259: Adh-Dhaifah 
2644]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Abu Umamah, namanya shudai. Al Bahili dinisbatkan 
kepada Bahilah. Nama ayahnya Ajlan. Abu Umamah pernah tinggal di Mesir kemudian 
pindah dan tinggal di Himah lalu meninggal di sana pada tahun 81 H, pendapat 
lain tahun 86 H. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah shahabat yang terakhir 
meninggal dunia di Syam. Termasuk shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari 
Rasulullah SAW.
Tafsir Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan didhaifkan 
oleh Ibnu Abi Hatim. Adz Dzahabi berkata mengenai dirinya, “Abu Hatim adalah 
Ar-Razi, Imam Hafizh besar Muhammad bin Idris bin al Mundzir al Handzali, salah 
seorang ulama terkemuka, lahir tahun 195. Beliau menyanjungnya dan berkata, “An 
Nasa'i berkata, Tsiqah”. Abu Hatim meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun 277 
H, dalam usia 82 tahun.
Ia mendha’ifkan hadits tersebut karena berasal dari riwayat 
Rasyid bin Sa’d. Ibnu Yunus berkata, “Dia adalah orang shalih dalam agamanya, 
lalu ditimpa kelalaian orang-orang shalih, maka ia rancu dalam haditsnya dan ia 
matruk.”
Hakikat hadits dhaif adalah yang luput padanya salah satu 
dari syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Ia memiliki enam sebab yang 
terkenal, diterangkan dalam Asy-Syarh.
Dan bagi Al Baihaqi, ia adalah seorang Hafizh, allamah dan 
Syaikh di Khurasan, Abu Bakar Ahmad bin al Husain, ia memiliki karya-karya yang 
beliau pernah ada yang menyamainya sebelumnya. Ia seorang yang zuhud, wara’ dan 
bertakwa. Telah mengembara ke Hijaz dan Iraq. Adz Dzahabi berkata, “Karyanya 
hampir seribu jilid.” Baihaq adalah daerah dekat Naisabur.
Artinya, riwayat dengan lafazh, “Air itu suci kecuali jika 
berubah bau, rasa atau warnanya”, diathafkan atasnya binjasatin tahdutsu 
fiihi, huruf ba adalah sababiyah, artinya dengan sebab najis yang 
masuk ke dalamnya.
Penulis berkata, “sesungguhnya Ad Daruquthni telah berkata, 
‘Hadits ini tidak kuat’. Asy-Syafi'i berkata, ‘Saya tidak pernah mengatakan 
bahwa jika air itu berubah rasa, bau ataupun warnanya adalah najis, dan 
diriwayatkan dari Nabi SAW dari satu jalur yang para ahli hadits tidak 
menegaskan sepertinya.’ Dan Imam An Nawawi berkata, ‘Para ulama hadits telah 
sepakat melemahkannya, maksudnya melemahkan riwayat pengecualian bukan awal 
hadits, karena telah ditegaskan dalam hadits Sumur Buda’ah, akan tetapi tambahan 
ini para ulama telah sepakat mengenai hukumnya.’”
Ibnu Al Mundzir berkata, “para ulama telah sepakat bahwa air 
sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh ke dalamnya lalu mengubah rasa atau 
warna atau baunya maka air itu najis, maka ijma adalah dalil atas 
najisnya air yang berubah salah satu sifatnya bukan karena tambahan ini.
٤-  وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: 
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا كَانَ 
الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» وَفِي لَفْظٍ " لَمْ يَنْجُسْ " 
أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ 
حِبَّانَ.
4. Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW 
bersabda, “Jika air itu dua kullah, maka tidak mengandung kotoran.’ 
[shahih: shahih Al Jami 
416]
Dalam lafazh lain “Tidak mengandung najis.” (HR. Imam 
yang empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim dan Ibnu Hibban)
[shahih: shahih Al Jami 
758]
Biografi Perawi
Abdullah bin Umar adalah putra Ibnu al Khaththab. Ia masuk 
Islam sejak kecil di Makkah. Perang yang pertama diikutinya adalah perang 
Khandak. Banyak yang meriwayatkan hadits darinya, dan ia termasuk perbendaharaan 
ilmu. Meninggal dunia di Makkah pada tahun 73 H dan dimakamkan di Dzawi Thuwa 
pada pemakaman kaum Muhajirin.
Al Hakim adalah imam besar, imam para muhaqqiq 
(peneliti), Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah An Naisaburi, terkenal dengan 
Ibnu Al Ba’i. Memiliki banyak karya ilmiah. Lahir tahun 321 H. Ia menuntut ilmu 
dan mengembara ke Irak ketika masih berumur 20 tahun. Kemudian menunaikan ibadah 
haji dan berkeliling di daerah Khurasan dan sekitarnya. Ia belajar hadits dengan 
cara sima (mendengar) kepada sekitar dua ribu Syaikh. Ad Daruquthni, Abu 
Ya’la Al Khalil dan Al Baihaqi serta banyak lagi meriwayatkan darinya.
Ia memiliki banyak karya ilmiah yang memiliki kelebihan dari 
yang lainnya, dengan disertai nilai-nilai ketakwaan dan religius. Ia menyusun 
Al Mustadrak dan Tarikh Naisabur serta yang lainnya. Ia meninggal 
pada bulan Shafar tahun 405 H.
Ibnu Hibban; Adz Dzahabi berkata, “Dia adalah Hafizh 
Allamah Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Al Basti. 
Memiliki banyak karya ilmiah. Ia mendengar dari umat yang tak terhitung 
jumlahnya mulai dari Mesir hingga Khurasan. Al Hakim dan ulama yang lain 
meriwayatkan darinya. Ibnu Hibban adalah termasuk ahli fikih dan penghafal 
atsar, mendalami ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan dan 
disiplin-disiplin ilmu lainnya. Ia menyusun Al Musnad Ash Shahih, At 
Tarikh dan Kitab Adh Dhuafa’. Ia mengajarkan fikih kepada umat Islam 
di Samarqand. Al Hakim berkata, “Ibnu Hibban adalah perbendaharaan ilmu, fikih, 
bahasa dan nasihat, dan termasuk perawi hadits yang cerdas. Meninggal dunia pada 
bulan Syawal tahun 354 H.
Tafsir Hadits
Hadits ini telah diisyaratkan terdahulu, bahwa ia merupakan 
dalil Asy-Syafi'iyah dalam hal menjadikan air yang banyak yaitu yang sampai dua 
kullah. Telah dijelaskan bahwa Al Hadawiyah dan Al Hanafiyah tidak 
mengamalkannya karena alasan idhthirab (goncang) pada matannya; dimana 
dalam satu riwayat, “Jika sampai tiga kullah”, dan dalam riwayat lainnya, 
“satu kullah”, juga lantaran tidak diketahuinya ukuran satu kullah itu, 
dan maknanya mengandung kemungkinan lain. Karena sabda beliau, ‘tidak 
mengandung kotoran’, bisa jadi karena air yang sedikit itu kalah dengan 
kotoran sehingga kotoran tersebut merusak kesuciannya. Juga boleh jadi karena 
kotoran tersebut lenyap di dalamnya, semua ini telah dijawab oleh 
Asy-Syafi'iyah. Ia telah memaparkannya dalam Asy Syarh kecuali untuk 
hadits yang terakhir tidak disebutkannya, sepertinya ia meninggalkannya lantaran 
lemahnya, karena riwayat ‘tidak bernajis’ jelas tidak mengandung makna 
yang pertama.
٥- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا 
يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
- وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي 
لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: 
«وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
5. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW 
bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang 
(tidak mengalir) sedang ia junub.” (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 
283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang 
kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di 
dalamnya.”
[shahih: Al Bukhari 239, Muslim 
282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan 
janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami 
7595]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Janganlah salah seorang kalian mandi di 
dalam air yang tenang (yaitu air yang diam 
tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim 
meriwayatkannya dengan lafazh ini) di 
dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi 
dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia 
mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi 
(menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara 
tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian 
ia mandi darinya.”
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika 
pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit 
menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat 
menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka 
yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan 
pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan 
melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab 
bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka 
yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya 
berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap 
suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena 
larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut 
Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan 
bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan 
haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, 
“Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika 
tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya 
adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat 
dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh 
tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran 
keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya 
dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, 
karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa 
larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai 
kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir 
sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun 
air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang 
mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena 
hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, 
maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya 
dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada 
yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing 
dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di 
dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal 
itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai 
dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi 
kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram 
berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga 
berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak 
untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan 
dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam 
air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus 
dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air 
tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak 
terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu  dalam air yang telah dikencingi 
sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat 
disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ 
الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air 
yang diam kemudian ia berwudhu  darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami 
7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan 
kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At 
Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits 
Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan 
Al Baihaqi dengan tambahan, 
[أَوْ يَشْرَبُ]
‘atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 
1256]
٥- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا 
يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
- وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي 
لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: 
«وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
5. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW 
bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang 
(tidak mengalir) sedang ia junub.” (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 
283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang 
kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di 
dalamnya.”
[shahih: Al Bukhari 239, Muslim 
282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan 
janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami 
7595]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Janganlah salah seorang kalian mandi di 
dalam air yang tenang (yaitu air yang diam 
tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim 
meriwayatkannya dengan lafazh ini) di 
dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi 
dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia 
mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi 
(menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara 
tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian 
ia mandi darinya.”
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika 
pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit 
menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat 
menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka 
yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan 
pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan 
melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab 
bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka 
yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya 
berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap 
suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena 
larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut 
Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan 
bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan 
haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, 
“Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika 
tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya 
adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat 
dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh 
tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran 
keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya 
dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, 
karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa 
larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai 
kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir 
sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun 
air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang 
mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena 
hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, 
maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya 
dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada 
yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing 
dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di 
dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal 
itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai 
dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi 
kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram 
berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga 
berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak 
untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan 
dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam 
air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus 
dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air 
tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak 
terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu  dalam air yang telah dikencingi 
sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat 
disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ 
الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air 
yang diam kemudian ia berwudhu  darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami 
7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan 
kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At 
Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits 
Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan 
Al Baihaqi dengan tambahan, 
[أَوْ يَشْرَبُ]
‘atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 
1256]
٦- وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ - صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ، أَوْ 
الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ، وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا» أَخْرَجَهُ أَبُو 
دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ.
6. Dari seorang laki-laki yang menemui Rasulullah SAW, ia 
berkata: “Rasulullah SAW melarang seorang perempuan mandi dengan air bekas mandi 
laki-laki, atau laki-laki mandi dengan air bekas mandi perempuan, tetapi 
hendaklah keduanya masing-masing menciduk. (HR. Abu Daud dan An Nasa'i dengan 
sanad shahih)
[Shahih: Shahih Abu Daud 
81]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
Rasulullah SAW melarang seorang perempuan 
mandi dengan air bekas mandi laki-laki (maksudnya, air bekas mandi 
laki-laki) atau laki-laki mandi dengan air bekas mandi 
perempuan (sepertinya), tetapi hendaklah keduanya 
masing-masing menciduk (dari air ketika keduanya mandi)
Tafsir Hadits
Ditakhrij oleh Abu Daud dan An Nasa'i dengan sanad shahih. 
Sebagai isyarat atas jawaban pendapat Al Baihaqi dimana ia berkata, 
“Sesungguhnya hadits itu bermakna mursal.” Dan pendapat Ibnu Hazm, “sesungguhnya 
salah seorang rawinya dhaif.”
Adapun yang pertama, maka samarnya seorang shahabat tidaklah 
mempengaruhi; sebab semua shahabat adil (jujur) menurut para ahli hadits. 
Dan yang kedua, bahwa yang dimaksudkan Ibnu Hazm dhaif adalah Daud bin Abdullah 
Al Audi, sedang ia tsiqah. Dalam al Bahr sepertinya ia terpedaya dengan 
ucapan Ibnu Hazm, maka ia mengatakan setelah menyebutkan hadits tersebut, 
“Sesungguhnya perawinya lemah” dan ia menisbatkannya kepada perawi majhul 
(tak dikenal identitasnya)
Penulis berkata dalam Fathul Bari, “Sesungguhnya para 
perawinya tsiqah dan kami tidak mendapatkan cacat padanya”, oleh karenanya di 
sini ia berkata, ‘shahih’. Hal ini bertentangan dengan hadits berikut:
٧- وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُمَا -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ 
يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -» . أَخْرَجَهُ 
مُسْلِمٌ
- وَلِأَصْحَابِ 
السُّنَنِ: «اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ - فِي جَفْنَةٍ، فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا، فَقَالَتْ: إنِّي كُنْت 
جُنُبًا، فَقَالَ: إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ» وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، 
وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
7. Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Bahwa Nabi SAW pernah mandi 
dengan bekas mandi Maimunah RA.” (HR. Muslim)
[shahih: Muslim 
323]
Dan bagi para penulis kitab Sunan, “Salah seorang istri Nabi 
SAW pernah mandi dalam bejana, lalu beliau datang dan mandi di dalamnya, maka 
istrinya berkata, ‘sesungguhnya aku junub.’ Maka beliau menjawab, 
‘Sesungguhnya air itu tidak dapat membuat junub.’ (dishahihkan oleh At 
Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
[shahih: Shahih Al Jami 
1927]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Abdullah bin Abbas diberi gelar lautan ilmu pada masanya. 
Lahir 3 tahun sebelum Hijrah. Keunggulannya dalam ilmu berkat doa Nabi SAW agar 
diberikan hikmah dan pemahaman dalam agama yang cukup membuatnya terkenal. Wafat 
di Thaif tahun 68 H pada akhir kepemimpinan Az Zubair setelah penglihatannya 
buta.
Penjelasan Kalimat 
Salah seorang istri Nabi SAW pernah mandi 
dalam bejana, lalu beliau datang (yaitu Nabi SAW) dan 
mandi di dalamnya, maka istrinya berkata, ‘sesungguhnya aku junub.’ 
(maksudnya, aku telah mandi darinya) Maka beliau 
menjawab, ‘Sesungguhnya air itu tidak dapat membuat 
junub.’
Tafsir Hadits
Dalam shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa, 
“Nabi SAW dan Maimunah keduanya pernah mandi dalam satu bejana.” Tidak 
asing lagi bahwa tidak ada pertentangan padanya, karena kemungkinan keduanya 
masing-masing menciduk secara bersamaan, maka tidak ada pertentangan.
Betul, yang membantahnya adalah perkataannya, “dan bagi para 
pemilik Kitab As Sunan”, artinya dari hadits Ibnu Abbas, sebagaimana dikuatkan 
oleh Al Baihaqi dalam As Sunan, dan ia menisbatkannya kepada Abu Daud.
Makna hadits tersebut telah disebutkan dari beberapa jalan 
yang dipaparkan dalam Asy Syarh, dan menunjukkan bahwa bertentangan dengan 
hadits yang lalu, dan bahwa boleh seorang laki-laki mandi dengan air bekas mandi 
perempuan, dan sebaliknya diqiyaskan atasnya karena kesamaannya. Dalam dua hal 
tersebut terdapat perbedaan pendapat tetapi yang lebih jelas ad keduanya 
diperbolehkan, dan bahwa larangan itu dipahami sebagai tanzih (kesucian).
٨- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
«طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ 
مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ " 
فَلْيُرِقْهُ "، وَلِلتِّرْمِذِيِّ " أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُولَاهُنَّ 
"
8. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing, hendaknya ia 
mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah. (HR. Muslim)
Dan pada lafazh lain: “Hendaklah ia 
menumpahkannya”
[HR. Muslim 279]
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, atau yang pertama 
dengan tanah.”
[shahih: shahih al Jami 
8116]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian 
yang dijilat anjing, (ia minum apa yang terdapat di dalamnya dengan 
ujung-ujung lidahnya atau ia memasukkah lidahnya ke dalamnya lalu 
menggerak-gerakkannya) hendaknya ia mencucinya 
(maksudnya bejana tersebut) tujuh kali, yang 
pertama dengan tanah.”Hendaklah ia 
menumpahkannya” (yaitu air yang telah dijilat 
anjing)
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, 
(yaitu yang ketujuh).
Tafsir Hadits 
Hadits di atas menunjukkan beberapa hukum:
Pertama: najisnya mulut anjing. Rasulullah SAW 
memerintahkan untuk mencuci sesuatu (bejana) yang dijilat anjing, dan 
menumpahkan air yang ada di dalamnya. sabda beliau “sucinya bejana salah seorang 
dari kalian”. maka tidak diperintahkan dicuci, kecuali dari hadats atau najis, 
dan di sini tidak ada hadats, berarti najis. Menumpahkannya berarti 
membuang-buang harta, maka seandainya air tersebut suci niscaya beliau tidak 
akan menyuruh menyia-nyiakannya karena membuang-buang harta terlarang.
Secara zhalim, hadits itu menunjukkan bahwa mulut anjing itu 
najis dan badannya dihukumi sama dengan mengqiyaskannya. Karena jika telah jelas 
bahwa ludahnya najis, ludahnya adalah bagian dari mulutnya, dan ludah adalah 
peluh mulutnya serta peluh adalah bagian yang keluar dari badan, maka demikian 
pula semua badannya.
Tetapi ulama yang berpendapat bahwa perintah mencuci bukan 
lantaran najisnya anjing, ia berkata, “Boleh jadi najis itu terdapat pada mulut 
dan ludahnya, sebab mulutnya adalah tempat yang biasa ia gunakan untuk memakan 
najis sebagaimana umumnya, ia mengaitkan hukum tersebut dengan melihat kepada 
keumuman kondisinya seperti memakan berbagai najis dan bersentuhan secara 
langsung, tidak menunjukkan bahwa benda (mulut)nya yang najis.
Pendapat mengenai najisnya air liur anjing adapun pendapat 
jumhur, dan yang menyelisihinya adalah pendapat Malik, Daud dan Az Zuhri. Dalil 
kelompok pertama adalah sebagaimana yang telah disebutkan, dan dalil selain 
mereka – yaitu mereka yang berpendapat bahwa perintah mencuci adalah untuk 
ta’abbudi bukan lantaran najis -, mereka berkata, “Seandainya karena 
najis, niscaya cukup jika kurang dari tujuh kali, karena najisnya tidak lebih 
dari kotoran.” Argumen ini dapat dijawab, bahwa hukum asal perintah untuk 
mencuci dapat dipahami maknanya dan bisa dikemukakan alasannya, yaitu lantaran 
najis, dan dasar daripada berbagai hukum adalah dengan mengemukakan alasan, maka 
ia dikategorikan ke dalam yang umum dan mayoritas. Yang bersifat 
ta’abbudi hanyalah pada jumlahnya, demikian yang terdapat dalam Asy Syarh 
yaitu yang diambil dari Syarh Al Umdah.
Kami telah menetapkan pada catatan kaki yang menyelisihi apa 
yang telah mereka tetapkan, yaitu keumuman hukum yang bisa dikemukakan 
alasannya. Di sana kami telah mengomentarinya panjang lebar.
Kedua: bahwa hadits tersebut menunjukkan 
kewajiban mencuci tujuh kali pada bejana, dan hal itu sudah jelas. Yang 
mengatakan tidak wajib tujuh kali, tetapi jilatan anjing sama dengan najis-najis 
lainnya, dan tujuh kali hanyalah Sunnah, hal itu berdasarkan dalil bahwa perawi 
hadits yaitu Abu Hurairah RA berkata, “jilatan anjing dicuci tiga kali, 
sebagaimana ditakhrij oleh Ath Thahawi dan Ad Daruquthni.
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa yang diamalkan adalah yang 
diriwayatkan dari Nabi SAW bukan menurut pendapatnya dan yang ia fatwakan. Juga 
karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan darinya, bahwa ia 
memfatwakan dengan mencuci tujuh kali, dan ini lebih kuat sanadnya, dan juga 
menjadi lebih kuat karena sesuai dengan riwayat marfu. Dan berdasarkan 
hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau SAW bersabda mengenai anjing 
yang menjilat bejana,
[يُغْسَلُ ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ 
سَبْعًا]
“Dicuci tiga kali, atau lima kali, atau tujuh 
kali.”
[Penerbit Darus Sunnah (h. 50) dalam 
catatan kaki menuliskan hadits ini shahih riwayat muslim 279, ini adalah keliru 
yang benar hadits ini dikeluarkan oleh Ad Daruquthni 194, berkata Ad Daruquthni, 
Abdul Wahab meriwayatkannya secara sendirian dari Isma’il bin Ayyas dan dia 
matrukul hadits –ebook editor]
Mereka berkata, “Hadits tersebut menunjukkan tidak 
ditentukannya tujuh kali, bahkan diberikan pilihan, dan tidak ada pilihan bagi 
yang ditentukan.” Jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dhaif tidak bisa 
dijadikan hujjah.
Ketiga: wajib mencuci bejana dengan debu sebagaimana telah 
ditegaskan dalam hadits. Kemudian hadits tersebut menunjukkan ditentukannya 
tanah, dan digunakan pada cucian yang pertama. ulama yang mewajibkannya berkata, 
“Tidak ada perbedaan antara mencampur air dengan tanah hingga keruh, atau air 
disiramkan atas tanah, atau tanah dimasukkan ke dalam air.” Bagi mereka yang 
berpendapat wajibnya mencuci tujuh kali berkata, “Tidak wajib mencuci dengan 
tanah, lantaran hal itu tidak kuat menurutnya.” Dapat dijawab, bahwa telah 
ditegaskan dalam riwayat yang shahih tanpa keraguan dan tambahan dari perawi 
tsiqah dapat diterima.
Disebutkan bahwa riwayat tentang mencampur dengan tanah tidak 
konsisten. Terkadang diriwayatkan dengan lafazh yang pertama atau yang 
terakhir, atau salah satunya atau yang ketujuh atau yang 
kedelapan, dan idhthirab (ketidakkonsistenan) adalah aib, maka wajib 
dibuang. Dapat dijawab, bahwa ketidakkonsistenan tidak menjadi aib kecuali jika 
riwayat-riwayat tersebut sama, di sini tidak seperti itu. Karena, riwayat dengan 
lafazh  yang pertama lebih kuat lantaran banyaknya perawi, 
dan diriwayatkan oleh salah seorang Ash-Shahihain. Hal itu merupakan tarjih 
ketika terjadi perbedaan, sedang lafazh-lafazh riwayat yang bertentangan 
dengannya tidak dapat menandinginya.
Yakni, bahwa riwayat, ‘yang terakhir’ diriwayatkan 
secara menyendiri, tidak didapatkan sedikitpun dalam buku-buku hadits yang 
bersanad.
Riwayat ‘yang ketujuh dengan tanah’ terdapat perbedaan 
padanya, maka tidak dapat menyaingi riwayat ‘yang pertama dengan 
tanah’.
Riwayat ‘salah satu di antaranya’, tidak terdapat 
dalam buku-buku induk, tetapi diriwayatkan oleh Al Bazzar, meskipun shahih, hal 
itu bersifat mutlak (umum) sehingga wajib mengamalkan yang 
muqayyad (khusus)
Riwayat ‘yang pertama atau yang terakhir’, diberikan 
pilihan. Jika itu dari perawi maka hal itu adalah keraguan darinya dan harus 
dikembalikan kepada tarjih, dan riwayat ‘yang pertama’ lebih kuat. Dan 
jika termasuk sabda Rasulullah SAW, maka hal itu adalah pemberian pilihan dari 
beliau SAW. hal ini dikembalikan kepada pentarjihan riwayat ‘yang 
pertama’ karena disebutkan oleh salah seorang dari Ash-Shahihain sebagaimana 
Anda ketahui.
Sabda beliau, ‘Bejana selalu salah seorang dari 
kalian’, penyandaran bejana di sini dihilangkan, sebab hukum suci dan najis 
tidak hanya karena memiliki bejana. Demikian pula sabda beliau, ‘Maka 
hendaklah ia mencucinya’, tidak berarti bahwa harus pemilik bejana yang 
mencucinya. Dan dalam sabdanya yang lain, ‘maka hendaklah ia 
menumpahkannya’, adalah termasuk lafazh Muslim, yaitu perintah menumpahkan 
air atau makanan yang dijilat anjing. Lafazh tersebut adalah dalil paling kuat 
yang menunjukkan najis, karena yang ditumpahkan lebih umum daripada hanya 
sekedar air atau makanan. Sekiranya makanan atau air itu suci, pasti beliau 
tidak menyuruh untuk menumpahkannya, sebagaimana yang telah Anda ketahui.
Namun, penulis menukil dalam Fathul Bari bahwa lafazh 
ini tidak shahih dari para Hafizh. Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak pernah 
dinukil oleh para Hafizh dari sahabat-sahabat Al Amasy. Ibnu Mundah berkata, 
“Tidak dikenal dari Nabi SAW dalam bentuk bagaimanapun.”
Memang betul, penulis tidak menyebutkan cucian yang 
kedelapan, sementara hal ini ditegaskan oleh Muslim,
[وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ 
بِالتُّرَابِ]
“Dan campurlah yang kedelapan dengan tanah.” 
[HR. Muslim 280]
Ibnu Daqiqil Id berkata, “Sesungguhnya hal itu dikatakan oleh 
al Hasan al Bashri, dan tidak dikatakan oleh yang lainnya.” Ini adalah pendapat 
dari ulama terdahulu, dan derajat haditsnya kuat. Dan bagi yang tidak 
berpendapat dengannya, telah melakukan penakwilan yang tidak tepat.
Saya katakan, “Cara penakwilan yang tidak tepat, telah 
disebutkan oleh An Nawawi, ia berkata, “Maksudnya cucilah tujuh kali dan salah 
satu di antaranya dengan tanah bersama air”, dengan demikian berarti tanah 
menggantikan satu kali cucian, maka disebut yang kedelapan.”
Saya katakan, “Dan seperti itu dikatakan oleh Ad-Darimi dalam 
Syarh Al Minhaj”, dan ia menambahkan, “Sesungguhnya ia memutlakan mandi 
dengan mencampurkan debu sebagai kiasan.”
Saya katakan, “Tidak asing lagi, bahwa maksud penulis 
menyebutkannya, dan adanya takwil dengan mengeluarkannya kepada majaz, 
semua itu adalah pembelaan terhadap mazhab, dan yang benar adalah apa yang 
dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri.
Adapun perintah membunuh anjing, larangan membunuhnya, dan 
hal-hal yang boleh dipergunakan darinya, akan dibahas pada bab binatang 
buruan.
٩ - وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ -، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ - 
فِي الْهِرَّةِ -: إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ 
عَلَيْكُمْ» أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ 
خُزَيْمَةَ.
9. Dari Abu Qatadah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda 
mengenai kucing, “Sesungguhnya kucing itu tidak najis, dia hanyalah termasuk 
(makhluk-makhluk) yang mengelilingi kamu.” (HR. Imam yang empat, dan 
dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
[Shahih: Shahih Al Jami' 
2437]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Menurut pendapat mayoritas ulama, nama Abu Qatadah adalah Al 
Harits bin Rib’i Al Anshari. Ia adalah pahlawab berkuda Rasulullah SAW. 
mengikuti perang Uhud dan peperangan-peperangan setelahnya. Wafat tahun 54 H di 
Madinah. Ada yang berpendapat wafat di Kufah pada masa kekhalifahan Ali RA, dan 
ia menyaksikan seluruh peperangan bersama Ali. 
Tafsir Hadits
Hadits ini memiliki asbabun nuzul sebagai berikut: 
bahwa Abu Qatadah diberikan air wudhu, lalu ada seekor kucing datang ingin minum 
air tersebut. Maka Abu Qatadah memiringkan tempat wudhu itu hingga kucing 
tersebut minum darinya. Lalu Abu Qatadah ditanya perihal itu, maka ia menjawab, 
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya 
kucing hanyalah (makhluk-makhluk) yang mengelilingi kalian (yakni, apa yang 
disentuhnya tidak najis).”
Ibnu Al Atsir berkata, ‘(الطَّائِفُ) (yang 
mengelilingi), yakni pelayan yang melayani dan menolongmu dengan penuh kasih 
sayang.’ Kucing diserupakan dengan pelayan yang selalu mengelilingi majikannya. 
Hal ini diambil dari firman Allah SWT:
بَعْدَهُنَّ 
طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ...
“Selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani 
kamu....” ((QS. An-Nur [24]: 58)
Yakni para pelayan dan hamba sahaya.
Dalam keterangan tersebut mengisyaratkan, bahwa Allah SWT 
menempatkan kedudukan kucing seperti pelayan, karena seringnya berhubungan dan 
bersentuhan dengan penghuni rumah serta apa saja yang ada di dalam rumah mereka. 
Allah SWT memberikan keringanan kepada para hamba-Nya dengan menjadikan kucing 
tidak najis untuk menghilangkan kesulitan atas mereka.
Dikeluarkan oleh Imam yang empat, dan dishahihkan oleh At 
Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, juga dishahihkan oleh Al Bukhari, Al Uqaili dan Ad 
Daruquthni.
Hadits tersebut adalah dalil sucinya kucing dan bekas 
minumnya, meskipun ia bersentuhan langsung dengan najis. Dan bahwa kesucian 
mulut kucing itu tidak terikat dengan waktu. Ada yang mengatakan bahwa mulut 
kucing yang terkena najis tidak suci kecuali jika telah berlalu beberapa waktu, 
seperti satu malam, satu hari, satu jam, atau ia telah minum air, atau perginya 
kucing tersebut sehingga diduga dengan kepergian itu nasjisnya hilang, atau 
hilangnya benda najis dari mulutnya. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang 
lebih jelas. Karena dengan masih adanya benda najis pada mulutnya, dan hukum 
najis sebab benda najis tersebut, bukan karena mulutnya. Maka jika benda itu 
telah hilang, syariat menghukuminya tidak najis.
10 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ -، قَالَ: «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، 
فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
-، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
- بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ» مُتَّفَقٌ 
عَلَيْهِ.
10. Dari Anas bin Malik RA ia berkata, ‘Seorang Arab Badui 
datang, lalu kencing di sudut masjid, maka orang-orang membentaknya, dan Nabi 
SAW melarang mereka. Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh untuk 
mengambil air satu timba, lalu dituangkan di tempat yang kena najis tersebut. 
(Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 221, Muslim 
284]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi 
Anas bin Malik  adalah Abu Hamzah Khazraji 
pelayan Rasulullah SAW sejak beliau datang ke Madinah hingga wafatnya. Ketika 
Rasulullah SAW datang ke Madinah, Anas baru berumur 10 atau 9 atau 8 tahun, 
dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Ia tinggal di Bashrah sejak masa 
Khilafah Umar untuk mengajar kepada umat manusia. Umurnya panjang hingga 103 
tahun. Ada yang mengatakan kurang dari itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Pendapat 
yang paling shahih adalah 99 tahun.” Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal 
dunia di Bashrah yaitu pada tahun 91 atau 92 atau 93 H.
Penjelasan Kalimat
‘Seorang Arab Badui datang, 
(dinisbatkan kepada Al Arab yaitu mereka yang tinggal di pedesaan baik orang 
Arab maupun non Arab. Disebutkan namanya adalah Dzul Khuwaisharah Al Yamani, 
bertabiat kasar) lalu kencing di sudut masjid, (yaitu 
sudut Ath Thaifah, adalah bagian dari sesuatu) maka orang-orang 
membentaknya, (yakni menghardik. 
Dalam lafazh lain: 
[فَقَامَ إلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا 
بِهِ]
‘maka orang-orang menuju kepadanya untuk memukulnya’
[shahih: shahih Al Bukhari 
5777]
Dalam lafazh lain:
فَقَالَ أَصْحَابُ 
رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَهْ، مَهْ،
‘maka para shahabat Rasulullah SAW berkata ‘mah..mah..’
[shahih: shahih Muslim 
285]
dan Nabi SAW melarang mereka. (dengan 
mengatakan: 
[دَعُوهُ]
biarkanlah dia. 
Dalam lafazh lain:
لَا 
تَزْرِمُوهُ
“janganlah kalian memutuskannya.”)
[Shahih: Shahih Al Bukhari 5679, Muslim 
285]
Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh 
untuk mengambil air satu timba, (yaitu satu timba penuh. Pendapat lain 
mengatakan yang banyak) dari air (sebagai bentuk 
penegasan, jika bukan sebagai penegasan maka telah ditunjukkan oleh lafazh 
(الذَّنُوبِ) (satu timba air) sama dengan (كَتَبْت بِيَدَيَّ) (saya menulis dengan tanganku). Dalam satu 
riwayat (سَجْلًا), artinya satu timba) lalu 
dituangkan di tempat yang kena najis tersebut. 
Tafsir Hadits 
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan 
najisnya air kencing manusia, dan ini merupakan ijma ulama. Juga 
menunjukkan bahwa bumi itu dapat disucikan dengan air sebagaimana najis-najis 
lainnya. Lalu, apakah najis bisa disucikan dengan selain air? Ada yang 
berpendapat bahwa dapat disucikan oleh matahari dan angin, karena pengaruh 
keduanya dalam menghilangkan najis lebih besar daripada air, dan berdasarkan 
hadits:
[زَكَاةُ الْأَرْضِ يُبْسُهَا]
“sucinya bumi itu ketika telah kering.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 624, 
merupakan perkataan Abu Ja’far –ebook editor]
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dapat dijawab 
bahwa ia menyebutkannya secara mauquf bukan sabda Rasulullah SAW. 
sebagaimana Abdurrazzaq menyebutkan hadits Abu Qilabah mauquf atasnya 
dengan lafazh:
جُفُوفُ الْأَرْضِ 
طَهُورُهَا
“Keringnya bumi itu –menunjukkan- sucinya tempat 
tersebut.”
[HR. Abdurrazaq dalam Al Mushanaf 5143, 
merupakan perkataan Abu Qilabah –ebook editor]
Maka keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dengan 
menuangkan air dapat menyucikan tanah, baik tanah yang lunak maupun keras. Ada 
yang mengatakan bahwa harus mencuci tanah yang keras sebagaimana benda-benda 
lainnya yang terkena najis, karena tanah Masjid Rasulullah SAW ketika itu lunak 
maka cukup dengan menuangkan air di atasnya. Hadits tersebut juga menjelaskan 
bahwa sucinya tanah tidak hanya dengan meresapnya air, karena beliau SAW tidak 
mensyaratkan sesuatu atas kencing seorang Arab Badui, pendapat ini yang dipilih 
oleh Al Mahdi dalam Al Bahr. Dan bahwa tidak diisyaratkan menggali dan 
membuang tanahnya.
Abu Hanifah berkata, “jika tanahnya keras, maka harus digali 
dan dibuang tanahnya, karena air tidak mengenai semua bagian atas dan bagian 
bawahnya. Juga karena diriwayatkan dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa 
Rasulullah SAW bersabda:
«خُذُوا مَا بَالَ عَلَيْهِ مِنْ التُّرَابِ 
وَأَلْقُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى مَكَانِهِ مَاءً»
“Ambillah tanah yang telah terkena air kencing lalu 
buanglah, dan tuangkanlah air di atas tempatnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 
381]
Penulis rahimahullah berkata dalam At Talkhis, 
“Hadits ini memiliki dua sanad yang maushul (bersambung); yang pertama 
dari Ibnu Mas'ud dan yang lainnya dari Watsilah bin Al Asqa, tetapi pada 
keduanya terdapat pembicaraan.” Dan seandainya tambahan ini kuat, niscaya 
batallah pendapat orang yang mengatakan bahwa tanah Masjid Nabi SAW lunak, 
karena dia berkata, “tidak digali dan tidak dibuang kecuali dari tanah yang 
keras.”
Dalam hadits tersebut terdapat beberapa faedah:
1.      
Menghormati Masjid. Hal ini 
ditunjukkan dengan sikap Nabi SAW, bahwa ketika orang Badui tersebut selesai 
buang air kecil, beliau memanggilnya dan berkata kepadanya,
إنَّ هَذِهِ 
الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إنَّمَا 
هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid ini tidak layak terhadap 
sesuatu dari kencing dan kotoran, masjid itu adalah untuk berdzikir kepada Allah 
SWT dan membaca Al Qur'an.”
[Shahih: Muslim 
285]
Dan sikap para shahabat dengan segera melarangnya, 
disetujui oleh Nabi SAW. hanya saja, beliau menyuruh mereka bersikap lemah 
lembut, sebagaimana dalam riwayat Al Jama’ah, kecuali Muslim. Bahwa beliau 
bersabda kepada mereka:
«إنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ 
تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»
“Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan 
tidak diututs untuk mempersulit.”
[Shahih: Al Bukhari 
220]
Seandainya pengingkaran itu dilarang, tentu beliau akan 
mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tidaklah orang Badui itu datang 
(melakukan sesuatu) yang mana kalian wajib melarangnya.”
2.      
Bersikap lemah lembut dan tidak kasar 
terhadap orang yang bodoh.
3.      
Kemuliaan akhlak Rasulullah SAW dan 
sikap lemah lembut dalam memberikan pelajaran kepada umatnya.
4.      
Menjauh dari keramaian orang ketika 
buang hajat hanyalah bagi yang ingin buang hajat besar, bukan kencing. Karena 
menurut urf (kebiasaan) orang Arab, hal itu tidak wajib dan disetujui 
oleh syariat. Dan Rasulullah SAW perempuan buang air kecil dan menyuruh shahabat 
yang berada di belakang beliau untuk menutupinya.
5.      
Menolak kemudharatan yang lebih besar 
dengan memilih yang lebih ringan di antara keduanya. Seandainya kencingnya 
terputus (ditahan), tentu akan mendatangkan madharat bagi dirinya. Dan 
seandainya ia berpindah tempat yang pertama kali telah terkena najis, tentu 
najis itu akan mengenai badan dan pakaiannya, serta tempat-tempat lain di dalam 
masjid.
11 - وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
«أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ 
وَالْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، 
وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.
11. Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: 
“Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu 
belalang dan ikan, dan dua darah yaitu limpa dan hati.” (HR. Ahmad dan Ibnu 
Majah dan padanya terdapat kelemahan)
[Shahih: Shahih Al Jami' 
210]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Dihalalkan bagi kami dua bangkai 
(yakni setelah diharamkan sebagaimana yang termaktub dalam ayat) 
 dan dua darah Adapun dua bangkai yaitu belalang 
(yakni bangkainya) dan ikan (yakni bangkainya), dan dua darah yaitu limpa dan hati.” 
HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan padanya terdapat kelemahan, 
karena diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Ibnu 
Umar. Ahmad berkata, “haditsnya munkar.” Ia menshahihkannya secara mauquf, 
sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim. jika telah jelas 
mauquf, maka ia memiliki hukum sama dengan marfu. Karena ucapan 
shahabat ‘dihalalkan bagi kami begini..’ atau ‘diharamkan bagi kami begini...’ 
seperti ucapan ‘Kami diperintahkan...’ atau ‘Kami dilarang...’, maka dapat 
dijadikan hujjah.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan halalnya belalang dalam kondisi 
bagaimanapun didapatkan. Maka tidak perlu dipertimbangkan sedikit pun, baik mati 
secara normal (alami) maupun mati karena sebab tertentu.
Hadits tersebut juga merupakan bantahan bagi yang 
mensyaratkan kematiannya dengan sebab manusia, atau dengan memotong kepalanya, 
dan jika tidak karena sebab ini maka diharamkan. Demikian pula menunjukkan atas 
halalnya bangkai ikan dalam kondisi bagaimanapun didapatkan, baik dalam keadaan 
mengapung ataupun tidak berdasarkan hadits ini dan juga hadits ‘Halal 
bangkainya.’
Ada yang berpendapat bahwa bangkai ikan tidak halal kecuali 
yang mati dengan sebab manusia, surutnya air, melemparnya atau karena masuk ke 
dalam tanah, sedang yang mengapung tidak halal, berdasarkan hadits:
«مَا أَلْقَاهُ الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ 
فَكُلُوا، وَمَا مَاتَ فِيهِ فَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ»
“Apa yang terdapat di laut atau yang dipotong maka 
makanlah, dan yang mati di dalamnya lalu mengapung maka janganlah kamu 
memakannya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Jabir)
[Dhaif: Dhaif Al Jami 
5019]
Hadits ini khusus dan mengkhususkan keumuman dua hadits 
terdahulu. Hal ini dapat dijawab bahwa hadits ini dhaif menurut kesepakatan para 
imam hadits.
An Nawawi berkata, “Hadits Jabir ini dhaif menurut 
kesepakatan para imam hadits, tidak boleh dijadikan hujjah jika tidak ditentang 
hadits lain, namun hadits ini ditentang oleh hadits lain, sehingga tidak dapat 
mengkhususkan hadits yang umum. Karena Nabi SAW makan sejenis ikan paus yang 
didapat oleh salah seorang pasukan di laut, dan beliau tidak bertanya sebab 
kematiannya. Kisah ini sangat terkenal dalam buku-buku hadits dan sejarah.”
Hati hewan hukumnya halal menurut ijma, begitu juga 
dengan limpa. Tetapi dalam Al Bahr Dijelaskan bahwa limpa hukumnya makruh 
berdasarkan hadits Ali RA. Akan tetapi hadits ini tidak diketahui siapa yang 
meriwayatkannya dari Ali. 
«إنَّهُ لُقْمَةُ الشَّيْطَانِ»
Bahwa limpa adalah suapan setan, 
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 
5/126] *
artinya ia gembira dengan memakannya.
_____________
* yakni no 24370 pada maktabah syamilah dengan 
menyertakan sanad yaitu:
حَدَّثَنَا أَبُو 
بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ 
الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «الطِّحَالُ لُقْمَةُ الشَّيْطَانِ»
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, ia 
berkata, Waqi menceritakan pada kami, dari Isra’il dari Abu Ishaq, dari Al 
Harits, dari Ali, Ia berkata: ‘limpa adalah suapan setan.’
Jadi pernyataan pensyarah (yakni Ash-shan’ani, 
‘hadits ini tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya dari Ali’ adalah tidak 
benar, karena Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkannya dengan sanad yang jelas, 
walau sanadnya mungkin perlu diteliti kembali. (ebook editor)
12 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ 
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي 
شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ 
جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً» أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو 
دَاوُد. وَزَادَ «وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ 
الدَّاءُ»
12. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, telah bersabda 
Rasulullah SAW, “Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang kalian, 
maka hendaklah ia memasukkannya (dalam minuman tersebut) kemudian membuangnya, 
karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada yang lainnya terdapat 
obat. (HR. Al Bukhari dan Abu Daud).
[shahih: Al Bukhari 
3320]
Ia menambahkan: “Dan sesungguhnya dia menjaga diri dengan 
sayapnya yang terdapat penyakit.”
[Shahih: Shahih Al Jami' 
835]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Apabila lalat jatuh ke dalam minuman 
salah seorang kalian, (sebagaimana yang telah kami sebutkan 
terdahulu bahwa idhafah (penyandaran) digugurkan sebagaimana dalam sabda 
beliau, ‘apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian.’ dalam 
lafazh lain: ‘dalam makanan’)
maka hendaklah ia memasukkannya -dalam 
minuman tersebut- (dalam riwayat Al Bukhari ada tambahan, (كُلَّهُ) ‘semuanya’, sebagai penegasan. Dan dalam lafazh Abu Daud 
(فَامْقُلُوهُ) ‘maka hendaklah kalian 
membenamkannya’.  Dalam lafazh Ibnu Sakan (فَلْيَمْقُلْهُ) ‘maka hendaklah ia membenamkannya’)
kemudian membuangnya, (dalam 
lafazh tersebut menunjukkan boleh menunda dan membuangnya setelah dibenamkan 
dalam air)
karena pada salah satu sayapnya terdapat 
penyakit dan pada yang lainnya terdapat obat. (ini adalah keterangan 
perintah membenamkan dalam air tersebut).”
Sedang lafazh Al Bukhari:
«ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ 
جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً»
‘Kemudian ia membuangnya, karena pada salah satu sayapnya 
terdapat obat dan pada yang lain terdapat penyakit.’ 
وَفِي لَفْظٍ 
[سُمًّا]
Dan dalam lafazh lain: ‘racun’
HR. Al Bukhari dan Abu Daud. Ia menambahkan: 
“Dan sesungguhnya dia menjaga diri dengan sayapnya yang terdapat 
penyakit.”
(Menurut Ahmad dan Ibnu Majah:
إنَّهُ يُقَدِّمُ 
السُّمَّ وَيُؤَخِّرُ الشِّفَاءَ
“sesungguhnya dia mendahulukan racun dan mengakhirkan 
obat.” )
[Shahih: Shahih Al Jami' 
4234]
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil yang jelas atas bolehnya 
membunuh lalat untuk mencegah mudharat, setelah dibunuh lalat dibuang dan tidak 
dimakan. Jika lalat mati dalam benda cair, maka tidak membuatnya najis, karena 
Rasulullah SAW menyuruh untuk membenamkannya. Karena dengan memasukkannya ke air 
atau makanan lalat itu akan mati, terlebih jika makanan tersebut panas. 
Seandainya dapat membuatnya najis, niscaya perintah tersebut untuk merusak 
makanan, sementara Rasulullah SAW melarang merusak makanan, beliau justeru 
menyuruh untuk memperbaikinya.
Kemudian, hukum ini dapat diberlakukan terhadap setiap hewan 
yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lebah, kumbang atau lalat 
kerbau, laba-laba dan yang mirip dengannya. Sebab, hukum itu dapat berlaku umum 
lantaran illat-nya umum dan menjadi tiada dengan ketiadaan illat 
(sebab). Maka dikarenakan sebab najis adalah darah yang membeku pada hewan 
dengan kematiannya, dan itu tidak terdapat pada hewan yang tidak memiliki darah 
yang mengalir, maka hukum najis hilang dengan tidak adanya illat.
Perintah untuk membenamkan lalat ke dalam air agar obat yang 
ada padanya keluar sebagaimana penyakit keluar darinya. Telah diketahui, bahwa 
pada lalat terdapat kekuatan racun. Hal itu diindikasikan dengan adanya bengkak 
dan gatal yang terjadi ketika digigit. Gigitan lalat menjadi senjata baginya. 
Maka jika terjadi hal yang mengganggunya, ia akan melindungi diri dengan 
senjatanya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Sesungguhnya ia 
(lalat) menjaga diri dengan sayapnya terhadap penyakit”, maka Rasulullah SAW 
menyuruh menolak racun itu dengan obat yang telah diletakkan oleh Allah SWT pada 
sayapnya yang lain dengan memasukkan lalat tersebut ke dalam air. Maka racun dan 
obat itu akan bertemu sehingga hilanglah madharatnya.
Beberapa dokter mengatakan, bahwa bagian (tubuh) yang 
tersengat oleh kalajengking dan kumbang, apabila digosok dengan lalat, akan 
memberi manfaat dan penawar. Hal itu tiada lain karena obat yang terdapat 
padanya.
0013 
13 - وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
«مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ» أَخْرَجَهُ 
أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ، وَاللَّفْظُ لَهُ.
13. Dari Abu Waqid Al Laitsi RA ia berkata, Rasulullah SAW 
bersabda, “Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup adalah 
bangkai.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, ia menghasankannya, dan lafazh 
tersebut miliknya)
[Shahih: Shahih Al Jami' 
5652]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Menurut salah satu riwayat, nama Abu Waqid adalah Al Harits 
bin Auf. Dikatakan bahwa ia ikut perang Badar. Ada yang berpendapat bahwa dia 
termasuk orang yang masuk Islam pada penaklukan Makkah. Pendapat yang pertama 
lebih kuat. Meninggal tahun 68 atau 65 H di Makkah. Al Laitsi adalah nisbat 
kepada Al Laits dari Bani Amr dari Laits.
Penjelasan Kalimat
Apa saja yang dipotong dari hewan 
(dalam Al Qamus, (الْبَهِيمَةُ) 
adalah setiap hewan yang berkaki empat meskipun hidup di air atau setiap yang 
hidup dan tidak berakal. Dan (الْبَهِيمَةُ) 
adalah anak domba dan kambing, sepertinya yang dimaksud di sini adalah yang 
terakhir sebagaimana yang akan diterangkan). yang masih hidup 
(yakni hewan yang dipotong itu) adalah 
bangkai.”
Dikeluarkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi dan ia 
menghasankannya, yakni ia berkata, “Sesungguhnya hadits itu hasan.” Definisi 
hasan telah disebutkan pada definisi hadits shahih yang lalu.
Tafsir Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dipotong dari tubuh 
hewan yang masih hidup adalah bangkai yang diharamkan. Latar belakang hadits 
tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan (الْبَهِيمَةُ) 
adalah binatang berkaki empat. Yaitu makna yang pertama lantaran disebutnya unta 
padanya, bukan makna yang terakhir yang disebutkan oleh Al Qamus. Akan tetapi 
dikhususkan dengan apa yang dikecualikan berupa ikan meskipun berkaki empat. 
Atau yang dimaksudkan adalah makna yang pertengahan, yaitu setiap yang hidup dan 
tidak berakal lalu dikhususkan belalang dan ikan darinya, dan apa yang telah 
disebutkan yang tidak memiliki darah yang mengalir.
14 - عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ - «لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا 
فِي صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ» 
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
14. Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA ia berkata, Rasulullah SAW 
bersabda: “Janganlah kamu minum dalam bejana emas dan perak, dan janganlah 
makan pada piring (yang terbuat dari) keduanya, karena sesungguhnya (bejana atau 
piring emas dan perak itu) adalah bagi mereka (orang-orang musyrik) di dunia dan 
bagi kamu di akhirat.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5426, Muslim 
2067]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Hudzaifah adalah Abu Abdullah Hudzaifah bin Al Yaman. 
Hudzaifah dan ayahnya adalah dua orang shahabat Nabi SAW yang mulia. Keduanya 
mengikuti perang Uhud. Hudzaifah adalah pemegang rahasia Rasulullah SAW. 
sekelompok shahih dan thabi’in meriwayatkan (hadits) darinya. Ia meninggal dunia 
di Al Mada’in pada tahun 35 atau 36 H, empat malam setelah terbunuhnya Utsman 
RA.
Penjelasan Kalimat
Janganlah kamu minum dalam bejana emas dan 
perak, dan janganlah makan pada piring (yang terbuat dari) keduanya, 
(kata (صِحَافِهِمَا) adalah bentuk jamak dari (صَحْفَةٍ). Al Kisa’i berkata, “(الصَّحْفَةُ) adalah 
piring yang isinya dapat mengenyangkan lima orang) karena 
sesungguhnya ia (yaitu bejana emas dan perak serta piring yang 
terbuat dari keduanya) adalah bagi mereka (yaitu 
bagi orang-orang musyrik meskipun tidak disebutkan, karena mereka itu sudah 
maklum) di dunia (sebagai informasi dari kondisi 
mereka, bukan berarti sebagai informasi bahwa hal itu halal buat mereka) 
dan bagi kamu di akhirat.” 
Tafsir Hadits
Hadits di atas adalah dalil haramnya makan dan minum pada 
bejana dan piring yang terbuat dari emas dan perak, baik bejana tersebut khusus 
emas maupun yang tercampur dengan perak, karena ia termasuk bejana emas dan 
perak. An Nawawi berkata, ‘Sesungguhnya telah terjadi ijma atas haramnya 
makan dan minum pada keduanya.’
Terjadi perbedaan mengenai illat-nya. Ada yang 
mengatakan karena sombong, dan yang lain mengatakan karena terbuat dari emas dan 
perak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tempat yang dilapisi 
dengan emas atau perak, apakah juga diharamkan sebagaimana emas dan perak? Ada 
yang berpendapat bahwa jika lapisan emas dan perak itu bisa dipisahkan maka 
haram secara ijma, karena termasuk menggunakan emas dan perak. Dan jika tidak 
mungkin dipisahkan, maka tidak haram. Dan yang lebih dekat kepada kebenaran, 
jika disebut bahwa itu adalah bejana emas atau perak dan dinamai dengannya, maka 
tercakup dalam lafazh hadits tersebut, dan jika tidak, maka tidak haram. 
Standarnya adalah dengan menamainya (bejana emas atau perak) pada masa kenabian, 
jika tidak diketahui maka asalnya adalah halal.
Adapun bejana yang ditambal dengan keduanya, maka 
diperbolehkan makan dan minum padanya menurut ijma.
Berkenaan dengan menggunakan tempat yang terbuat dari emas 
dan perak untuk makan dan minum tidak ada perbedaan padanya. Adapun untuk selain 
makan dan minum, yakni untuk penggunaan yang lain, apakah juga diharamkan? Ada 
yang mengatakan tidak diharamkan karena tidak ada nashnya, kecuali pada makan 
dan minum. Ada pula yang mengatakan bahwa diharamkan semua penggunaan lainnya 
menurut ijma, kemudian sebagian ulama mutaakhirin membantahnya dan berkata, 
“Nashnya disebutkan pada makan dan minum, selainnya tidak, menyamakan semua 
penggunaan dengan keduanya secara qiyas tidak memenuhi syarat-syarat qiyas.
Yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak haram 
selain tempat untuk makan dan minum, sebab itu yang ditegaskan dengan nash. 
sedang klaim ijma tidak benar, inilah kemalangan mengganti lafazh nabawi dengan 
yang lainnya. Karena hadits menyebutkan keharamannya pada makan dan minum, maka 
mereka meninggalkan redaksinya kepada semua bentuk penggunaan dan meninggalkan 
ucapan Nabi SAW, lalu mendatangkan lafazh umum dari diri mereka sendiri.
Sepertinya penulis menyebutkan hadits pada pembahasan ini 
untuk menunjukkan haramnya wudhu pada bejana emas dan perak. Karena penggunaan 
terhadap keduanya menurut mazhabnya adalah haram. Jika tidak ada maksud ini, 
maka hadits ini sebenarnya masuk dalam bab makanan dan minuman.
Kemudian, apakah batu-batu berharga seperti permata dan 
mutiara disamakan dengan emas dan perak? Dalam hal ini terdapat perbedaan 
pendapat. Dan nampaknya yang lebih kuat adalah tidak disamakan, dan 
diperbolehkan menurut asal kebolehannya karena tidak ada dalil yang disebutkan 
mengenai hal tersebut.
15 - وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
«الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ 
جَهَنَّمَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
15. Dari Ummu Salamah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 
“Sesungguhnya orang yang minum dalam bejana perak, dia telah memasukkan api 
jahannam ke dalam perutnya.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5634, Muslim 
2065]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Ummu Salamah yaitu Ummul Mukminin, istri Nabi SAW. namanya 
adalah Hindun binti Abi Umayah. pernah menjadi istri Abu Salamah bin Abdil Asad. 
Hijrah ke Habasyah bersama suaminya. Suaminya meninggal dunia setelah keduanya 
kembali dari Habasyah. Lalu ia menikah dengan Rasulullah SAW di Madinah pada 
tahun keempat Hijriyah. Ia meninggal pada tahun 59 H. Ada yang mengatakan tahun 
62 H dan dimakamkan di Baqi umurnya 84 tahun.
Penjelasan Kalimat
“Sesungguhnya orang yang minum dalam 
bejana perak, (demikian menurut Asy-syaikhan dan Muslim dalam redaksi 
lain: فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ 
وَالذَّهَبِ  (dalam bejana emas dan perak) 
dia telah memasukkan (الْجَرْجَرَةُ adalah suara jatuhnya air ke dalam mulut 
dan suara unta ketika memamak, ia menjadikan minum dan meneguk sebagai جَرْجَرَةً )  api jahannam ke dalam 
perutnya.”
Az Zamakhsyari berkata, ‘Diriwayatkan dengan merafakan kata 
(النَّارِ) untuk menunjukkan kedudukannya sebagai 
(فَاعِلٌ مَجَازًا). Karena sebenarnya neraka jahannam tidak 
dimasukkan ke dalam perutnya, akan tetapi ungkapan ini hanya sebagai majaz, 
demikian menurut riwayat yang marfu’ sebagaimana firman Allah SWT:
{إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ 
نَارًا}
‘Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.’ 
(QS. An-Nisa' [4]: 10)
Hadits tersebut menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh 
hadits Hudzaifah yang pertama.
16 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
«إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَعِنْدَ 
الْأَرْبَعَةِ " أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ "
16. Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 
“Apabila kulit disamak, maka ia telah suci.” (HR Muslim)
[Shahih: Muslim 
366]
Dan menurut Imam yang empat: ‘Kulit apa saja yang 
disamak.’
[Shahih: Shahih Al Jami' 
2711]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
“Apabila kulit disamak, (yaitu 
kulit, atau yang belum disamak sebagaimana dalam Al Qamus dan juga dalam An 
Nihayah) maka ia telah suci.” 
Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini. sedangkan menurut 
imam yang empat ‘Kulit apa saja yang disamak.’ Lanjutannya (فَقَدْ طَهُرَ) ‘maka sungguh telah suci.’
Tafsir Hadits
Hadits tersebut dikeluarkan oleh perawi yang lima, hanya saja 
lafazhnya berbeda-beda. Hadits tersebut diriwayatkan dengan beberapa lafazh dan 
disebutkan latar belakangnya bahwa Nabi SAW melewati bangkai kambing milik 
Maimunah maka beliau bersabda:
 أَلَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا 
فَإِنَّ دِبَاغَ الْأَدِيمِ طَهُورٌ
“tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya, sesungguhnya 
dengan menyamak kulit berarti dapat menyucikannya.”
[Shahih: Shahih Al Jami' 
3359]
Al Bukhari meriwayatkan dari hadits Saudah, ia berkata:
«مَاتَتْ لَنَا شَاةٌ فَدَبَغْنَا مِسْكَهَا ثُمَّ 
مَا زِلْنَا نَنْتَبِذُ فِيهِ حَتَّى صَارَ شَنًّا»
‘Kambing kami mati lalu kami menyamak kulitnya, kami tetap 
menjadikannya sebagai tempat minuman hingga lusuh.’
[Shahih: Al Bukhari 
6686]
Hadits tersebut adalah dalil bahwa menyamak dapat menyucikan 
kulit bangkai setiap hewan sebagaimana ditunjukkan kalimat () (yakni kulit apa 
saja), dan bahwa dengan menyamaknya dapat menyucikan bagian luar kulit dan juga 
bagian dalamnya.
Dalam masalah ini ada tujuh pendapat:
Pertama; Dapat menyucikan setiap kulit bangkai, 
baik pada bagian dalam maupun luarnya dan tidak dikhususkan sesuatu pun darinya. 
Hal ini berdasarkan zhahirnya hadits Ibnu Abbas dan yang semakna dengannya. 
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali RA dan Ibnu Mas'ud.
kedua; Menyamak tidak dapat menyucikan sesuatu, 
ini adalah pendapat jumhur Al Hadawiyah dan diriwayatkan dari sekelompok 
shahabat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i, Ahmad 
dan Al Bukhari dalam Tarikhnya dan perawi yang empat, Ad Daruquthni, Al 
Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abdullah bin Ukaim, ia berkata, 
«أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَبْلَ مَوْتِهِ أَلَّا تَنْتَفِعُوا مِنْ 
الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ»
telah datang kepada kami wasiat Rasulullah SAW sebelum beliau 
meninggal dunia, “Bahwa janganlah kalian menggunakan sesuatu dari bangkai, 
baik dengan menyamak maupun dengan membalutnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 
4127]
Dalam riwayat Asy-Syafi'i dan Abu Daud “Satu bulan sebelum 
meninggalnya.” Dalam riwayat lain, ‘satu atau dua bulan’. At Tirmidzi berkata 
‘hasan’ dan Ahmad berpendapat dengannya dan berkata ‘ini adalah pendapat 
terakhir dari dua pendapat, kemudian ia meninggalkannya.’
Mereka berkata, ‘hadits ini menasakh (menghapus) hadits Ibnu 
Abbas, karena menunjukkan haramnya menggunakan kulit bangkai dengan menyamak dan 
membalutnya.’
Pendapat tadi dapat dijawab dengan beberapa alasan:
1.      
bahwa hadits tersebut adalah 
mudhtarib pada sanadnya, karena terkadang diriwayatkan dari para penulis 
Rasulullah SAW, dan terkadang dari para Syaikh dari Juhainah dan terkadang pula 
dari orang yang membaca wasiat Nabi SAW. juga mudhtarib pada matannya, 
karena diriwayatkan dengan tanpa batasan dan inilah riwayat yang terbanyak, dan 
diriwayatkan dengan membatasi satu bulan, dua bulan, empat puluh hari ataupun 
tiga hari.
Kemudian juga memiliki cacat yaitu mursal, karena 
Abdullah bin Ukaim tidak mendengarnya dari Nabi SAW, juga dengan keterputusan 
sanad, karena tidak didengarkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila dari Ibnu Ukaim. 
Oleh karenanya, Ahmad meninggalkan pendapat ini setelah sebanyak ia bpdp 
dengannya sebagaimana dikatakan oleh At Tirmidzi.
2.      
hadits tersebut tidak bisa untuk 
menasakh, karena hadits menyamak lebih shahih, sebab diriwayatkan oleh Muslim 
dan diriwayatkan dari beberapa jalan. Dan yang semakna dengannya ada beberapa 
hadits dari sekelompok shahabat.
Dari Ibnu Abbas ada dua hadits, dari Ummu Salamah ada 
tiga hadits, dari anas ada dua hadits, dan satu hadits dari Salamah bin Al 
Muhabbik, Aisyah RA, Al Mughirah, Abu Umamah serta Ibnu Mas'ud. Dan hadits yang 
menasakh harus terbukti diucapkan terakhir sementara tidak ada dalil bahwa 
hadits Ibnu Ukaim lebih terakhir. Dan riwayat yang menyebutkan satu atau dua 
bulan ada cacat padanya, maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk 
menasakh, meskipun riwayat dengan membatasinya tadi shahih, namun tidak secara 
otomatis menunjukkan bahwa itulah yang terakhir dari keduanya.
Tidak dapat dikatakan, jika tidak terjadi nasakh maka 
dua hadits tadi bertentangan, yaitu hadits Ibnu Ukaim dan hadits Ibnu Abbas dan 
yang menyertainya. Meskipun bertentangan, maka harus ditarjih atau didiamkan, 
karena kami mengatakan tidak ada pertentangan kecuali jika keduanya sama. 
Sementara di sini tidak demikian karena hadits Ibnu Abbas shahih dan banyaknya 
para perawi yang menyertainya, dan hal itu tidak terdapat pada riwayat Ibnu 
Ukaim
3.      
Bahwa (الْإِهَاب) 
sebagaimana yang Anda ketahui dari Al Qamus dan An Nihayah adalah 
nama bagi kulit yang belum disamak, menurut salah satu dari dua pendapat. An 
Nadhr bin Syuma’il berkata, ‘Ihab adalah nama bagi yang belum disamak dan 
setelah disamak namanya syannun (geriba yang sudah lusuh) atau qirbah (geriba 
adalah tempat air atau susu yang terbuat dari kulit), dan ini yang ditegaskan 
oleh Al Jauhari.
Ada yang mengatakan, karena mengandung makna kedua hal 
tersebut, maka diriwayatkanlah dua hadits yang bertentangan yang kami 
kompromikan antara keduanya, bahwa dilarang menggunakan kulit yang belum 
disamak, dan jika telah disamak tidak dinamakan lagi ihab, maka tidak 
termasuk yang terlarang, dan ini pendapat yang baik
Ketiga. Dapat menyucikan kulit setiap hewan 
yang dapat dimakan, sedangkan kulit hewan yang tidak bisa dimakan tidak bisa 
disamak. Hal ini bertentangan dengan keumuman hadits, ‘kulit apa 
saja’.
Keempat; Dapat menyucikan semua hewan 
kecuali babi, karena babi tidak memiliki kulit, ini adalah mazhab Abu 
Hanifah.
Kelima; Dapat menyucikan kecuali babi, 
berdasarkan firman Allah SWT: {فَإِنَّهُ رِجْسٌ} ‘Karena sesungguhnya semua itu 
kotor.” (QS. Al-An'am [6]: 145), kata ganti yang tersebut dalam ayat 
menunjukkan babi, maka dihukumi dengan najisnya semua anggota badannya, dan 
ajing diqiyaskan kepadanya karena sama-sama najis, ini adalah pendapat 
Asy-Syafi'i.
Keenam; Dapat menyucikan semuanya, akan tetapi 
hanya bagian luarnya dan tidak dapat menyucikan bagian dalamnya. sehingga dapat 
digunakan untuk benda-benda yang kering selain yang cair. Boleh shalat di 
atasnya dan tidak boleh shalat pada bgn dalamnya. pendapat ini diriwayatkan dari 
Malik, dengan memadukan antara hadits-hadits di atas, dengan demikian maka tidak 
terdapat pertentangan.
Ketujuh; Kulit bangkai dapat dimanfaatkan 
walaupun tidak disamak, baik bagian luar maupun bagian dalamnya, berdasarkan 
hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari riwayat Ibnu Abbas 
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِإِهَابِهَا؟ قَالُوا: 
إنَّهَا مَيْتَةٌ، قَالَ: إنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»
bahwa Rasulullah SAW melewati seekor bangkai kambing, lalu 
bersabda, “Tidakkah kalian memanfaatkan dengan menyamaknya?” para 
shahabat menjawab ,’sesungguhnya itu bangkai.’ Beliau bersabda, “Yang 
diharamkan adalah memakannnya.”
[Shahih: Al Bukhari 1492, Muslim 
363]
Ini adalah pendapat Az Zhuri. Dan telah dijawab bahwa hadits 
tersebut bersifat mutlak, dan telah dibatasi oleh hadits-hadits menyamak yang 
telah lalu.
17 - وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ - «دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طَهُورُهَا» صَحَّحَهُ ابْنُ 
حِبَّانَ.
17. Dari Salamah bin Al Muhabbiq RA ia berkata, Rasulullah 
SAW bersabda, ‘Dengan menyamak kulit bangkai maka dapat menyucikannya.’ 
(dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
[Shahih: Shahih Al Jami' 
3360]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Salamah bin Al Muhabbiq RA adalah seorang shahabat, termasuk 
dari kalangan orang-orang Bashrah. Putranya yang bernama Sinan meriwayatkan 
hadits darinya dan Sinan juga seorang shahabat.
Tafsir Hadits
Menurut Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, Al Baihaqi dan Ibnu 
Hibban dari Salamah dengan lafazh:
«دِبَاغُ الْأَدِيمِ ذَكَاتُهُ»
‘Dengan menyamak kulit berarti dapat 
menyucikannya’
[Shahih: Shahih Abu Daud 
4125]
Dalam lafazh lain:
«دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا»
‘Menyamaknya dapat mensucikannya’
Yang lainnya:
«دِبَاغُهَا طَهُورُهَا»
‘Menyamaknya dapat mensucikannya’
Lafazh lain:
«ذَكَاتُهَا دِبَاغُهَا»
Kesucian dengan menyamaknya
Yang lain lagi:
«ذَكَاةُ الْأَدِيمِ دِبَاغُهُ»
Kesucian kulit dengan menyamaknya.
Dalam bab ini banyak hadits semakna yang menunjukkan apa yang 
telah disebutkan hadits Ibnu Abbas.
Menyamakan antara menyamak dengan menyembeli sebagai 
pemberitahuan bahwa menyamak kulit kambing untuk menyucikannya sama kedudukannya 
dengan menyembelih dalam menjadikannya halal, karena dengan menyembelih dapat 
menyucikannya dan halal untuk dimakan.
18 - وَعَنْ مَيْمُونَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا 
- قَالَتْ: «مَرَّ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِشَاةٍ 
يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا فَقَالُوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، 
فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد 
وَالنَّسَائِيُّ.
18. Dari Maimunah Ra ia berkata, Rasulullah SAW melewati 
seekor kambing yang mereka seret, maka beliau bersabda, “Bagaimana jika 
kalian mengambil kulitnya?’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya ia telah menjadi 
bangkai.’ Maka beliau bersabda, “(bangkai itu) dapat disucikan dengan air dan 
menyamaknya.” (HR. Abu Daud dan An Nasa'i)
[Shahih: Shahih Al Jami' 
5234]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Maimunah adalah Ummul Mukminin, Maimunah binti Al Harits Al 
Hilaliyah. Namanya semula adalah Barrah, lalu diganti oleh Rasulullah SAW dengan 
Maimunah. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Dzul Qa’dah tahun ketujuh 
pada Umrah Al Qadhiyah, wafat tahun 61 H. Ada yang mengatakan tahun 51H, yang 
lain mengatakan tahun 66H, dan yang lainnya lagi mengatakan selain itu. Dia 
adalah bibi Ibnu Abbas dan Rasulullah SAW tidak menikah lagi setelah menikah 
dengannya.
Tafsir Hadits
Dalam lafazh lain menurut Ad Daruquthni dari Ibnu Abbas
«أَلَيْسَ فِي الْمَاءِ وَالْقَرَظِ مَا 
يُطَهِّرُهَا»
“Bukankah pada air dan menyamak dapat 
mensucikannya?”
[Sunan Ad Daruquthni 
1/42]
Adapun riwayat:
«أَلَيْسَ فِي الشَّثِّ وَالْقَرَظِ مَا 
يُطَهِّرُهَا»
“Bukankah pada asy-syats (jenis pohon) dan menyamak dapat 
menyucikannya.”
An Nawawi berkata, “sesungguhnya hadits dengan lafazh ini 
batil dan tidak ada asalnya.”
Dalam syarh Muslim ia berkata, “Boleh menyamak dengan 
sesuatu yang dapat menyerap kotoran-kotoran kulit dan membuatnya harum, serta 
menjaganya dari terjadinya kerusakan, seperti asy-syats (jenis pohon).” Ia 
melanjutkan, bahwa ia termasuk mutiara yang dijadikan oleh Allah di bumi 
menyerupai logam. Al Jauhari berkata, “sesungguhnya pohon itu baunya wangi, 
rasanya pahit, dapat digunakan menyamak dan menguliti buah delima dan 
obat-obatan yang suci. Tidak dapat disucikan dengan matahari kecuali menurut Al 
Hanafiyah, dan juga tidak dapat disucikan dengan tanah, debu, garam mnrt 
pendapat yang paling shahih.
19 - وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ - 
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا بِأَرْضِ 
قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوا 
فِيهَا، إلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا» 
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
19. Dari Abu Tsa’labah al Khusyani RA ia berkata, “Aku 
bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya kami berada pada negeri ahli 
kitab, bolehkah kami makan pada bejana mereka?’ beliau SAW menjawab, 
“Janganlah kamu makan padanya, kecuali jika kalian tidak mendapatkan yang 
lain, maka cucilah (bejana mereka) kemudian makanlah padanya.” (Muttafaq 
alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5478, Muslim 
1930]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abu Tsa’labah al Khusyani, dinisbatkan kepada Khusyain bin an 
Namir dari Qudha’ah. namanya Jurhum bin Nasyib, ia lebih terkenal dengan julukan 
yang diberikan padanya. Ia membaiat Rasulullah SAW pada Baiat ar Ridhwan. 
Rasulullah SAW memberikan bagian kepadanya pada perang Khaibar dan mengutusnya 
kepada kaumnya, lalu mereka pun masuk Islam. Ia berpindah ke Syam dan meninggal 
dunia di sana pada tahun 57 H, dan ada yang berpendapat yang lain tentang tahun 
meninggalnya.
Tafsir Hadits
Hadits ini dijadikan dalil najisnya bejana ahli kitab. Apakah 
karena najisnya makanan mereka, ataukah karena mereka makan babi dan minum 
khamar (arak) padanya, ataukah karena dimakruhkan? Yang mengatakan najisnya 
makanan orang kafir adalah Al Hadawiyah dan Al Qasimiyah, dan didukung oleh Ibnu 
Hazm. Mereka juga berdalil dengan zhahirnya firman Allah SWT:
 {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ 
نَجَسٌ}
“Sesungguhnya orang-orang yang Musyrik itu najis.” 
(QS. At-Taubah [9]: 28)
Dan ahli kitab disebut orang musyrik, karena mereka 
mengatakan bahwa Isa adalah putra Allah, dan Uzair adalah putra Allah.
Selain mereka dari Ahlul Bait seperti Al Mu’ayyid dan yang 
lainnya berpendapat mengenai sucinya makanan mereka, dan ini yang benar 
berdasarkan firman Allah SWT:
 {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا 
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ} 
‘makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab 
itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Maidah 
[5]: 5)
Dan bahwa Nabi SAW berwudhu  dari tempat bekal 
seorang musyrik. Juga berdasarkan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh ahmad dan 
Abu Daud:
«وَكُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَنُصِيبُ مِنْ آنِيَةِ الْمُشْرِكِينَ 
وَأَسْقِيَتِهِمْ وَلَا يَعِيبُ ذَلِكَ عَلَيْنَا»
“Kami pernah bersama Rasulullah SAW, lalu mendapatkan bejana 
dan tempat minum orang musyrik, dan beliau tidak mencela hal itu atas kami.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 
3838]
Ahmad meriwayatkan dari hadits Anas, bahwa Rasulullah SAW 
diajak oleh seorang Yahudi kepada jamuan makanan roti yang terbuat dari gandum 
yang telah berubah.
[Musnad Ahmad 3/210]
Dalam Al Bahr ia berkata, “Seandainya makanan mereka 
haram, niscaya beliau menyuruh untuk menjauhinya lantaran minimnya jumlah kaum 
Muslimin ketika itu. Dan banyaknya mereka menggunakannya pasti tidak lepas dari 
pakaian dan makanan mereka. Kebiasaan semacam ini perlu adanya penentuan 
hukum.
Mereka berkata, “Hadits Abu Tsa’labah tidak berarti 
dimakruhkannya makan pada bejana mereka lantaran kotoran, karena jika najis, 
beliau tidak akan mensyaratkan ketiadaan yang lain, sebab bejana yang bernajis 
dan juga benda lainnya setelah menghilangkan najisnya adalah sama-sama tidak 
bernajis, atau untuk menutup kemungkinan agar tidak jatuh kepada haram, atau 
karena ia najis lantaran apa yang dimasak di dalamnya bukan karena makanan 
mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Abu Daud dan Ahmad dengan 
lafazh:
«إنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ 
يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ 
الْخَمْرَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنْ 
وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا»
“Sesungguhnya kami hidup di sekitar Ahli Kitab dan mereka 
memasak babi dalam panci mereka, minum khamar dalam bejana mereka, maka 
Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mendapatkan yang lainnya.”
[Shahih: Abu Daud 3839]
Haditsnya yang pertama mutlak, sedang yang ini 
muqayyad (terikat atau khusus) dengan bejana yang di dalamnya dimasak dan 
diminum apa yang telah disebutkan, maka yang mutlak ditinggalkan lalu 
mengamalkan yang muqayyad. Adapun ayat, maka najis menurut bahasa adalah 
yang dianggap kotor, lebih umum dari pengertian menurut syariat. Ada yang 
berpendapat bahwa maknanya adalah yang bernajis, karena mereka disertai 
kemusyrikan yang sama dengan najis, juga karena mereka tidak bersuci, tidak 
mandi dan tidak menjauhi berbagai najis yang bercampur dengan mereka, olehnya 
itu maka dipadukanlah antara hadits ini dengan ayat Al Maidah dan hadits-hadits 
tersebut sesuai dengan hukumnya, dan ayat Al Maidah lebih jelas maksudnya.
20 - وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رَضِيَ 
اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ امْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ» . مُتَّفَقٌ 
عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.
20.  Dari Imran bin Hushain RA bahwa Nabi SAW 
bersama para shahabatnya berwudhu  dari bejana seorang perempuan 
musyrik. (Muttafaq alaih dalam sebuah hadits yang panjang)
[Shahih: Al Bukhari 3444, Muslim 
682]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Biografi Perawi
Imran bin Hushain adalah Abu Nujaid al Khuza’i Al Ka’bi. 
Masuk Islam pada perang Khaibar, ia tinggal di Bashrah hingga meninggal dunia 
pada tahun 52 atau 53 H, dia termasuk shahabat yang paling mulia dan ahli 
fikih.
Tafsir Hadits
Dikeluarkan oleh Al Bukhari dengan beberapa lafazh, di 
antaranya:
“bahwa beliau SAW mengutus Ali RA dan seorang shahabat lain 
bersamanya pada salah satu perjalanan beliau, lalu mereka kehabisan air, maka 
beliau SAW bersabda, “Pergilah kalian berdua mencari air.” Lalu keduanya 
berangkat dan menemui seorang perempuan di antara kedua bejana atau tempat 
perbekalan yang terbentang dan penuh air di atas untanya. Lalu keduanya bertanya 
kepadanya, “Dimana air?” ia menjawab, ‘kemari, saya berjanji akan mendatangkan 
air untuk saat ini.; kedua berkata, ‘Pergilah kepada Rasulullah SAW –hingga 
ucapannya- lalu Nabi SAW minta bejana kemudian beliau SAW menuangkan dari kedua 
mulut tempat perbekalan tadi, lalu menyeru kepada manusia, “minumlah dan 
berilah minum,” maka minumlah di antara mereka yang ingin minum dan 
memberikan minum siapa yang dikehendakinya. Dalam hadits tersebut terdapat 
tambahan dan mukjizat nabawiyah.
Maksudnya, bahwa beliau SAW berwudhu  dari 
tempat bekal perempuan musyrik, dan inilah dalil apa yang telah berlalu dalam 
Syarh hadits Abu Tsa’labah mengenai sucinya bejana kaum musyrikin.
Juga menunjukkan atas sucinya kulit bangkai dengan disamak, 
karena kedua tempat bekal tersebut terbuat dari kulit hewan sembelihan orang 
musyrik, sedang sembelihan mereka adalah bangkai. Menunjukkan pula sucinya 
makanan orang musyrik karena perempuan musyrik tadi telah menyentuh air tersebut 
secara langsung, yang kurang dari dua kullah, karena mereka telah menyebutkan 
bahwa satu unta tidak dapat membawa air sebanyak dua kullah.
Siapa yang berpendapat bahwa makanan mereka najis, dan 
berkata bahwa air tidak bernajis kecuali dengan yang dapat merubahnya, maka 
hadits tersebut adalah dalil atasnya.
21 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ 
عَنْهُ -: «أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - 
انْكَسَرَ، فَاِتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سَلْسَلَةً مِنْ فِضَّةٍ» . أَخْرَجَهُ 
الْبُخَارِيُّ.
21. Dari Anas bin Malik RA, bahwa gelas Rasulullah SAW pecah, 
lalu beliau menempelkan pada tempat yang retak itu sambungan dari perak. (HR. Al 
Bukhari)
[Shahih: Al Bukhari 
3109]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل 
السلام]
Penjelasan Kalimat
bahwa gelas Rasulullah SAW pecah, lalu beliau 
menempelkan pada tempat yang retak itu (maksudnya terbelah dan pecah) 
sambungan dari perak (yakni yang menghubungkan sesuatu 
dengan yang lain. Atau silsilah, yaitu lingkaran yang terbuat dari besi 
(rantai) dan yang semacamnya)
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil diperbolehkannya menempel 
(menambal) bejana dengan perak, dan tidak ada perbedaan mengenai kebolehannya 
sebagaimana yang telah disebutkan. Tetapi di sini, mereka berbeda pendapat 
mengenai orang yang meletakkan sambungan tersebut. Al Baihaqi menuturkan dari 
sebagian mereka bahwa yang meletakkan sambungan tersebut adalah Anas bin Malik, 
dan ditetapkan oleh Ibnu Ash Shalah. Penulis berkata, “pendapat tersebut perlu 
dipertimbangkan, karena dalam Shahih Al Bukhari dari hadits Ashim al Ahwal, “Aku 
melihat gelas Nabi SAW di sisi anas telah terbelah maka ia menyambungnya dengan 
perak.”
Ibnu Sirin berkata, “Padanya terdapat rantai yang terbuat 
dari besi, lalu Anas hendak menggantinya dengan rantai dari emas atau perak, 
maka Abu Thalhah berkata kepadanya, ‘Janganlah sekali-kali engkau mengubah 
sesuatu yang telah dibuat Rasulullah SAW, lalu ia pun meninggalkannya.’ Ini 
adalah lafazh Al Bukhari mengandung makna bahwa kata ganti yang terdapat pada 
ucapannya (فَسَلْسَلَهُ 
بِفِضَّةٍ) kembali kepada 
Nabi SAW, juga bisa kembali kepada Anas, sebagaimana yang dikatakan Al Baihaqi, 
akan tetapi bagian akhir dari hadits tersebut menunjukkan makna yang pertama, 
dan bahwa gelas tersebut tidak berubah dari semula pada masa Rasulullah SAW.
Saya katakan, “Sambungan tersebut bukan rantai yang hendak 
diubah oleh Anas, yang nampak bahwa ucapannya (فَسَلْسَلَهُ) 
adalah Nabi SAW, dan ini merupakan hujjah bagi yang telah disebutkan,.
Lihat: 
[سبل السلام]
Nasehat Muslim :
www.nasehat-muslim.blogpsot.com
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar