Nasehat Muslim
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ
فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ» مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
893. Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang miliki sesuatu
yang ingin ia wasiatkan, lalu ia menginap dua malam, kecuali wasiat itu telah
tertulis di sisinya." (Muttafaq Alaih)
[shahih, Al-Bukhari (2738), Muslim
(1627)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Tafsir Hadits
Asy-Syafi'i Rahimahullah berkata, "Hendaknya seorang muslim
selalu waspada, apabila ia memiliki sesuatu yang dapat diwasiatkan, maka
sepatutnya untuk segera menulis wasiatnya, karena dia tidak tahu kapan ajal akan
menjemputnya, bila hal itu tidak dilakukan, maka dia tidak bisa menyampaikan
keinginannya."
Ada yang berpendapat, kata 'Al-Haqq' secara bahasa bermakna
sesuatu yang tetap, sedangkan menurut syari'at adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan syari'at Islam, dan hukum Islam itu bisa wajib, sunnah, atau
mubah.
Sabda Nabi, "sesuatu yang ia wasiatkan" menunjukkan bahwa
wasiat hukumnya tidak wajib, tetapi hanyalah sesuai dengan keinginan pemberi
wasiat. Para ulama bersepakat agar kaum muslimin menuliskan wasiat, hanya saja
mereka berbeda pendapat apakah anjuran itu hukumnya menjadi wajib atau
tidak?
Jumhur ulama berpendapat bahwa menulis wasiat hukumnya
sunnah, sedangkah Dawud dan Ahli Zhahir berpendapat bahwa menulis wasiat itu
hukumnya wajib. Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i dalam Al-Qadim (pendapat-pendapat
terdahulu) dan Ibnu Abdil Bar mengatakan, sudah menjadi ijma' ulama bahwa
menulis wasiat hukumnya tidak wajib berdasarkan pada pemahaman makna hadits;
sebab jika dia tidak berwasiat tentu hartanya dibagikan kepada semua ahli
warisnya berdasarkan ijma ulama. Kalau sekiranya wasiat hukumnya wajib, tentu
akan dikeluarkan dari sebagian hartanya sebagai ganti dari wasiat.
Pendapat yang paling tepat untuk menggabungkan antara dua
pendapat yang berbeda di atas adalah, wasiat itu hukumnya wajib seperti pendapat
Al-Hadawiyah dan Abu Tsaur kalau seorang tersebut mempunyai tanggungan yang
ditetapkan berdasarkan syari'at bila tidak diwasiatkan khawatir akan
menghilangkan hak-hak lainnya seperti menyimpan barang titipan, mempunyai
hutang, baik kepada sesama maupun kepada Allah, artinya diwajibkan bila ada
hak-hak lainnya yang ada padanya dan ia tidak bisa menunaikan semua itu, kecuali
hanya dengan menuliskan wasiat. Bila hal-hal yang tersebut di atas tidak ada;
maka wasiat itu tidak wajib hukumnya.
Sabda Nabi, "dua malam" hanyalah sebagai perkiraan
saja bukan untuk menentukan batasan waktu, sebab ada riwayat yang menyatakan
"tiga malam." Ath-Thabari berkata, "Penentuan tiga dan dua malam sebagai
bentuk toleransi batas minimal bagi yang ingin menuliskan wasiat maksudnya
jartgan menunda-nunda menulis wasiat, dan hendaknya batasan minimal itu tidak
dilampaui,"
Diriwayatkan Muslim dari hadits Ibnu Umar, perawinya sendiri
berkata, "Saya tidak pernah tidur di waktu malam kecuali wasiatku sudah
tertulis." [shahih, Muslim (1627)]
Sedangkan apa yang diriwayatkan Ibnu Mundzir dengan sanad
shahih dari Nafi', bahwasanya Ibnu Umar ditanya ketika sedang sakit yang
membawanya kepada kematian, "Apakah kamu tidak berwasiat? Maka Umar menjawab,
"Apa yang berkenaan dengan hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku
perbuat." Hadits ini menunjukkan bahwa Umar tidak menulis surat wasiat menjelang
kematian. Maka untuk menggabungkan antara hadits yang pertama dengan yang kedua
ini, bahwa Umar selalu menulis wasiat, memeriksa dan melaksanakan apa yang
ditulis dalam wasiatnya sehingga ketika sedang sakit, Umar tidak mempunyai
wasiat yang harus ditulis. Maka dalam perkataannya, "Apa yang berkenaan dengan
hartaku, Allah Maha Mengetahui apa yang telah aku perbuat", menjadi bukti atas
penggabungan pemahaman kedua hadits yang berbeda tersebut.
Sabda Nabi, "wasiat itu telah tertuiis di sisinya"
adalah dalil yang membolehkan menulis wasiat walaupun tidak persaksikan dengan
yang lainnya. Sebagian para pemuka madzhab Asy-Syafi'i berpendapat, "Hal itu
hanya khusus pada masalah wasiat saja, yang membolehkan untuk menuliskan wasiat
tanpa harus dipersaksikan berdasarkan ketetapan hadits; karena ketika syari'at
menyuruh berwasiat, menuliskan kewajiban dan hal-hal yang harus ditunaikan yang
tidak pernah terhapus, tetapi selalu diperbaharui setiap waktu, maka untuk
menghadirkan saksi pada setiap penulisan wasiat sebagai syarat menunaikan
kewajiban, sangat sulit bahkan tidak bisa diwujudkan dalam setiap waktu; karena
ajal bisa datang kapan saja, maka syari'at tidak mewajibkan penulisan wasiat
dengan menghadirkan saksi; karena tidak ada faedahnya, sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam hadits terdahulu, dan itu menjadi dalil diterimanya penulisan
wasiat yang tidak menghadirkan saksi." Sedangkan jumhur ulama berpendapat, "Yang
dimaksud dengan tertulis adalah terpenuhi syarat-syaratnya, yakni saksi." Mereka
berdalil pada firman Allah Ta'ala,
{شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ}
"Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang
dia akan berwasiat, maka hendalkah (wasiat) disaksikan oleh dua orang yang adil
di antara kamu." (QS. Al-Maidah: 106) bahwa ayat ini menunjukkan keharusan
menghadirkan saksi dalam berwasiat.
Pendapat tersebut dibantah, bahwa tidak selamanya penyebutan
saksi dalam suatu ayat menunjukkan ketidaksahan wasiat kecuali harus dengan
saksi. Dan yang paling tepat menjadi standar dalam penulisan wasiat, bahwa
wasiat itu benar-benar ditulis sendiri oleh pemberi wasiat, bila memang terbukti
benar maka dilaksanakan, seperti tulisan seorang hakim, sebagaimana yang
dilakukan manusia pada masa lalu maupun sekarang. Bukankah Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menjadikan pengiriman suratnya kepada para raja untuk mengajak
mereka menyembah kepada Allah sebagai bukti (hujjah) bahwa beliau sudah
menunaikan tugas risalah yang diembannya? Begitu juga halnya dengan tradisi umat
manusia yang saling berkirim surat kepada yang lainnya, menulis tentang hal-hal
penting yang berkenaan dengan urusan agama maupun dunia, lalu mereka
mengamalkannya. Semua amal itu dilaksanakan tanpa dengan adanya saksi.
Hadits ini merupakan dalil untuk berwasiat terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan hak-hak (baik yang berhubungan dengan Allah maupun sesama)
sesuai dengan sabda Nabi, "yang miliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan."
Sedangkan keharusan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan hal-hal lain yang
berlaku pada adat dan tradisi manusia; tidak ada hadits marfu' yang menyatakan
hal seperti itu, melainkan Abdurrazaq meriwayatkan hadits dari Anas secara
mauquf, ia berkata, "Biasanya para sahabat mengawali wasiatnya dengan tulisan,
"Bismillahirrahmanirrahim." Inilah yang diwasiatkan oleh Fulan bin Fulan
bahwa dia bersaksi tiada Rabb yang berhak disembah melainkan Allah semata yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa hari
kiamat pasti datang dan tidak ada keraguan atas hal itu, Allah akan
membangkitkan semua yang dikubur, lalu dia mewasiatkan kepada semua keluarganya
untuk selalu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki hubungar. kekerabatan di
antara mereka, menaati semua yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya jika mereka
benar-benar beriman, dan juga mewasiatkan seperti yang diwasiatkan Nabi Ibrahim
dan Ya'qub kepada anak-anaknya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah
Ta'ala,
{إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا
تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
"Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. Al-Baqarah:
132)
Para ulama berbeda pendapat apakah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berwasiat atau tidak; karena adanya perbedaan riwayat tentang
hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abi Aufa
diterangkan bahwa Nabi tidak berwasiat. Mereka beralasan, karena Nabi tidak
meninggalkan harta. Tanah yang dimiliki diinfakkan di jalan Allah, sedangkan
senjata dan keledai diwariskan sebagaimana yang disebutkan An-Nawawi. Dalam
kitab Al-Maghazi karya Ibnu Ishaq diterangkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam tidak berwasiat ketika akan meninggal dunia, kecuali dengan tiga hal:
1) Masing-masing daerah Ad-Darin, Ar-Rahhawin dan Al-Asy'arin
mendapatkan 100 wasaq dari daerah Khaibar.
2) Tidak ada
agama di jazirah Arab, kecuali Islam.
3) Melanjutkan ekspedisi pasukan yang dipimpin Usamah.
Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat dengan tiga hal,
"Lanjutkan pengiriman pasukan sebagaimana yang telah
direncanakan." [shahih, Muslim
(1637)]
Dalam riwayat Ibnu Abi Aufa, diterangkan bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam berwasiat untuk berpegang teguh dengan kitab Allah.
Dalam hadits Anas yang diriwayatkan An-Nasa'i, Ahmad dan Ibnu Sa'ad, bahwa
wasiat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelang wafatnya, "Untuk selalu
mendirikan shalat dan berbuat baik terhadap para budak.” [Ahmad
(3/117)]
Wasiat ini ditetapkan oleh orang-orang Anshar dan
keluarganya, namun bukan pada saat sakit menjelang kematiannya, sebagaimana
diterangkan dalam riwayat lainnya.
Saya katakan: Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin menulis
wasiat untuk umatnya ketika sakit menjelang wafatnya, namun tidak bisa dilakukan
sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari.
Lihat:
Subulussalam syarah Bulughul Maram
Nasehat Muslim : www.nasehat-muslim.blogpsot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar