وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ. فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، إنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا. وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ «فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ» وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ عَلَّقَهَا الْبُخَارِيُّ «وَرَدَّهَا مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، لَا سَمْرَاءَ» قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَالتَّمْرُ أَكْثَرُ.
757. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sollam, beliau bersabda, "Janganlah menahan susu unta dan kambing (agar terkesan subur susunya -edt.). Barangsiapa membelinya dan sempat memerah susu darinya, maka ia boleh memilih dua hal, jika mau ia boleh menahannya, jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan memberi satu sha' kurma(sebagai ganti dari susu yang telah diperahnya)." (Muttafaq Alaih). Menurut riwayat Muslim, "Ia mempunyai hak pilih selama tiga hari". Menurut riwayat Muslim yang dita’liq oleh Al-Bukhari, "Ia mengembalikannya beserta satu sha' makanan bukan gandum". Al-Bukhari berkata, "Kebanyakan adalah berbentuk kurma."
[shahih, Al-Bukhari (2148) dan Muslim (1524)]
ــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
At-Tashriyah secara bahasa bermakna menahan air. Imam Asy-Syafi'i berkata, "Makna Tashriyah -dalam hadits- adalah mengikat tetek unta atau kambing dan membiarkannya tanpa diperah sampai terkumpul banyak, sehingga pembeli menyangka itu merupakan kebiasaannya sedangkan dalam hadits kata sapi tidak disebutkan, tapi hukumnya sama.
Tafsir Hadits
Hadits di atas melarang perbuatan tashriyah (menahan susu) pada hewan jika ingin dijual karena terdapat pada riwayat An-Nasa'i hadits yang mengaitkannya dengan lafazh menjual,
«وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ لِلْبَيْعِ»
"Janganlah menahan susu unta dan kambing untuk dijual" [shahih, An-Nasa'i (7/253), dan lihat Shahih Al-Jami' (7449)]
dalam riwayatnya yang lain,
«إذَا بَاعَ أَحَدُكُمْ الشَّاةَ أَوْ اللِّقْحَةُ فَلْيَحْلُبْهَا»
"Bila salah seorang dari kalian menjual kambing atau unta, maka perahlah susunya".
Inilah pendapat paling kuat menurut jumhur. Dan hal ini diindikasikan oleh dalih penipuan dan kecurangan, hanya saja penulis tidak mendapati nash dalih tersebut secara tertulis.
Adapun tashriyah (menahan susu) yang dilakukan bukan karena ingin menjual hewan tersebut, akan tetapi agar susunya terkumpul demi kemaslahatan si pemilik, maka walaupun dapat menyiksa binatang, tetapi hukumnya boleh. Hadits secara zahir menunjukkan tidak ada khiyar (hak memilih) kecuali setelah susunya diperah. Seandainya ketahuan adanya tashriyah walaupun belum memerahnya, maka hak memilih tetap ada. Adanya hak memilih adalah menunjukkan sahnya jual beli hewan yang ditahan susunya (tashriyah).
Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mengembalikan hewan karena adanya praktek tashriyah pada hewan itu, dilakukan secara langsung, karena huruf Fa' dalam sabdanya: (فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ) "Maka ia boleh memilih dua hal" menunjukkan kejadian secara langsung tanpa waktu jeda. Itulah yang dipegang oleh sebagian kalangan Asy-Syafi'iyah, akan tetapi mayoritas mereka membolehkan jeda waktu berdasarkan sabda beliau, "Maka ia boleh memilih selama tiga hari". Mereka yang berpendapat harus langsung tanpa jeda disanggah dengan argumen bahwa hal tersebut bisa ditorapkan jika si pembeli tidak mengetahui bahwa hewan tersebut di tahan susunya, kecuali pada hari ketiga. Karena umumnya hal tersebut tidak dapat diketahui dalam waktu yang kurang dari tiga hari karena susu bisa berkurang karena perbedaan rumput yang dimakannya. Dalam riwayat Ahmad dan Ath-Thahawi,
فَهُوَ بِأَحَدِ النَّظَرَيْنِ بِالْخِيَارِ إلَى أَنْ يَحُوزَهَا أَوْ يَرُدَّهَا
"Maka dia boleh memilih satu dari dua hal terbaik sampai dia membawanya" [Ahmad (2/242) dan Ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma'ani Al-Atsar (4/17)]
Adapun pembatasan tiga hari, maka batas kapan memulainya masih diperselisihkan, ada yang mengatakan, tiga hari Setelah diketahui adanya tashriyah (penahanan susu), Ada juga yang mengatakan, dari semenjak terjadinya transaksi jual beli, yang lain mengatakan, dimulai Setelah dia menguasainya.
Hadits di atas juga menunjukkan kompensasi susu yang telah diperah oleh pembeli adalah satu sha' kurma. Adapun riwayat yang dikomentari Al-Bukhari dengan menyebutkan, "Satu sha' makanan", Al-Bukhari sendiri cenderung menguatkan riwayat yang menyebutkan bahwa penggantinya adalah kurma, karena itulah yang paling banyak dipakai orang. Bila hukum bahwa si pembeli harus mengganti susu yang telah diperah dengan kurma telah ditetapkan, maka dalam masalah ini terdapat 3 pendapat:
Pertama, pendapat jumhur para sahabat dan tabi'in, yakni menetapkan penggantian susu dengan satu sha' kurma, baik susu tersebut banyak ataupun sedikit, baik kurma sebagai makanan pokok penduduk setempat ataupun tidak.
Kedua, pendapat Al-Hadawiyah, mereka mengatakan hewan yang susunya ditahan itu harus dikembalikan, akan tetapi bersamaan dengan itu mereka mengatakan, bahwa susu yang telah diperahnya itu harus dikembalikan seperti sedia kala jika masih tersisa, atau dengan barang yang senilai bila sudah habis atau diganti dengan uang sesuai harganya saat dikembalikan, jika tidak didapati barang senilai. Mereka mengatakan, sudah menjadi ketetapan bahwa pengganti barang yang hilang, jika barang tersebut ada kesamaannya, maka gantinya adalah harus barang yang sama dan jika barang tersebut merupakan barang yang bisa ditaksir harganya, maka harus diganti dengan uang seharga barang tersebut. Bila susu merupakan barang yang ada kesamaannya, maka harus diganti dengan barang yang sama, dan jika ia merupakan barang yang dapat ditaksir harganya, maka ia harus diganti dengan uang sesuai harganya, lantas bagaimana bisa, susu diganti dengan kurma atau dengan makanan? Mereka juga berkata, penggantinya pun harus disesuaikan kadarnya dengan kadar susu tersebut, tidak bisa diganti dengan satu sha' tanpa mempedulikan kadar susu tersebut lebih sedikit atau lebih banyak. Hal ini dijawab, bahwa hal tersebut merupakan qiyas yang bersifat umum terhadap semua jenis barang yang harus diganti. Sedangkan masalah ini bersifat khusus, terdapat nash secara eksplisit yang mengaturnya. Dan perkara yang bersifat khusus harus didahulukan daripada perkara yang bersifat umum.
Adapun mengenai kadar satu sha', ia adalah kadar yang ditentukan syariat untuk menghindari pertikaian, karena sulit untuk memastikan kadar susu tersebut, karena bisa jadi tercampur dengan sesuatu yang lain setelah hewan tersebut dijual. Maka syariat pun memutuskan perselisihan ini dan ia tentukan kadar yang tidak boleh dilanggar, agar tidak terjadi permusuhan. Syariat menetapkan penggantinya dengan sesuatu yang paling dekat dengan susu (yaitu kurma -peny), karena keduanya merupakan makanan pokok kala itu. Hukum-hukum seperti ini banyak sekali padanannya dalam syariat Islam, seperti dalam hal ganti rugi tindak pidana melukai tubuh (muwaddihah). Penggantiannya ditentukan syariat walaupun berbeda besar atau kecil luka tersebut. Begitu pula membunuh janin di perut walaupun berbeda kondisinya. Hikmah di balik itu semua adalah menghindari pertikaian.
Ketiga, pendapat kalangan Hanafiah. Mereka berbeda pendapat pada inti permasalahan, mereka mengatakan bahwa barang yang dijual tidak boleh dikembalikan hanya karena ada cacat tashriahdan tidak wajib mengembalikan satu sha' kurma. Mereka menyatakan keberatan tentang keabsahan hadits ini dengan berbagai alasan. Di antaranya dengan cara mencela sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, menganggap hadits tersebut mudthtarib (tidak konsisten), hadits tersebut mansukh(terhapus) dan hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah,
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." (QS. An-Nahl: 126)
Akan tetapi, semua alasan tersebut tertolak. Dan mereka juga mengatakan hadits tersebut melanggar qiyas ushul, jika ditinjau dari berbagai aspek, di antaranya:
Aspek Pertama; Dari sisi air susu yang terpakai, bila hal tersebut ada pada saat akad jual beli, maka ia adalah bentuk kekurangan dari barang dagangan, sehingga tidak perlu dikembalikan, dan bila hal tersebut terjadi setelah berada di tangan pembeli, maka bukan menjadi tanggung jawab penjual. Pernyataan ini dapat disanggah dengan alasan:
· Pertama, hadits tersebut adalah dalil asal yang berdiri sendiri dan tidak dapat dikatakan bahwa Ia menyelisihi qiyas ushul.
· Kedua, Bahwa kekurangan dapat alasan untuk tidak dibolehkannya mengembalikan barang yang telah dijual, apabila bukan dipergunakan untuk mengetahui adanya aib. Di sini digunakan untuk mengetahui aib sehingga tidak terlarang.
Aspek Kedua, dari sisi penentuan hak pilihan selama tiga hari, padahal hak memilih karena adanya aib (khiyar aib), hak memilih saat penjual dan pembeli masih di tempat transaksi (khiyar majlis) dan hak memilih karena berubah pikiran (khiyar ru'yah) sama sekali tidak ditetapkan dengan tiga hari. Pernyataan ini disanggah dengan argumentasi, bahwa masalah musharrah merupakan kasus khusus yang disebutkan bilangan harinya, karena secara umum hukum tashriyah tidak diketahui, berbeda halnya dengan masalah lainnya.
Aspek Ketiga, dari sisi kewajiban barang jaminan walaupun air susu tersebut masih ada. Pernyataan ini dibantah dengan argumen bahwa dalam hal ini tidak ada bentuk yang lain [berbeda] karena telah tercampur dengan air susu yang baru. Sehingga, tidak dapat dikem-balikan dalam jenis yang sama karena telah bercampur. Maka, dalam hal ini jaminan yang berlaku seperti halnya pada jaminan hamba yang dirampas dan kabur.
Aspek Keempat, dari sisi kewajiban mengembalikan walaupun tidak ada cacat. Karena, bila berkurangnya air susu dianggap adanya cacat, maka harus dikembalikan juga pada kasus lain walaupun bukan masalah tashriyah tanpa perlu ada syarat sebelumnya, karena tidak mensyaratkan untuk dikembalikan. Penulis menanggapi pendapat ini dengan argumen bahwa hal tersebut merupakan hukum khiyar syarat jika dilihat dari sisi makna, karena saat pembeli melihat tetek hewan tersebut penuh terisi susu seakan-akan penjual mensyaratkan hal tersebut sebagai kebiasaannya. Masalah seperti ini sering sekali kita dijumpai, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bab menghadang kafilah pedagang.
Bila Anda dapat mengetahui adanya kelemahan kedua pendapat tersebut, maka Anda dapat menyimpulkan bahwa pendapat yang kuat ialah pendapat pertama. Anda tentu mengetahui bahwa hadits di atas adalah dalil yang menunjukkan larangan berbuat curang [menipu], dan hukum khiyar bagi orang yang merasa tertipu. Dalam hadits tersebut juga disebutkan bahwa penipuan tidak merusak akad jual beli.
Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan larangan untuk melakukan tashriyah dan adanya hak pilih. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud secara marfu',
«بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ»
"Jual beli muhaffalah adalah bentuk jual beli yang mengandung unsur menipu [curang], sedangkan seorang muslim dilarang menipu [berbuat curang].” [Dhaif: Ibni Majah (2281)]
Akan tetapi, dalam sanad hadits ini terdapat kelemahan. Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, hadits ini diriwayatkan secara marfu' dengan sanad yang shahih. [Al-Mushannaf (4/339)]
Yang dimaksud dengan al-muhaffalah adalah hewan yang tidak diperah susunya agar air susunya banyak dan teteknya terlihat besar -untuk menunjukkan bahwa air susunya banyak- sehingga ketika dijual pembeli mengira bahwa hewan itu dapat menghasilkan susu yang banyak.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُحَفَّلَةً فَرَدَّهَا فَلْيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَزَادَ الْإِسْمَاعِيلِيُّ مِنْ تَمْرٍ.
758. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Barangsiapa membeli seekor kambing muhaffalah (yang tidak diperas susunya), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya dengan membayar satu sha'." (HR. Al-Bukhari dan Al-Isma'ili menambahkan dengan lafazh: [satu sha'] kurma)
[shahih, Al-Bukhari (2149)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Dalam hadits ini, penulis tidak menjadikannya sebagai hadits marfu' dan hanya berhenti pada Ibnu Mas'ud, karena Al-Bukhari tidak menjadikannya sebagai hadits marfu'. Pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُحَفَّلَةً فَرَدَّهَا فَلْيَرُدَّ مَعَهَا صَاعًا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَزَادَ الْإِسْمَاعِيلِيُّ مِنْ تَمْرٍ.
758. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Barangsiapa membeli seekor kambing muhaffalah (yang tidak diperas susunya), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya dengan membayar satu sha'." (HR. Al-Bukhari dan Al-Isma'ili menambahkan dengan lafazh: [satu sha'] kurma)
[shahih, Al-Bukhari (2149)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Dalam hadits ini, penulis tidak menjadikannya sebagai hadits marfu' dan hanya berhenti pada Ibnu Mas'ud, karena Al-Bukhari tidak menjadikannya sebagai hadits marfu'. Pembahasan tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَرَّ عَلَى صُبْرَةٍ مِنْ طَعَامٍ. فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا. فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا. فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
759. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan bahan makanan [yang dapat ditimbang atau ditakar untuk dijual]. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan ternyata jari-jari tangan beliau basah [karena di dalam tumpukan itu ada bahan makanan yang masih basah]. Maka beliau bertanya, "Wahai penjual makanan, kenapa ada yang basah?" Ia menjawab, "Terkena hujan, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa tidak engkau letakkan pada bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." (HR. Muslim)
[shahih, Muslim (102)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Tafsir Hadits
An-Nawawi berkata, "Sesuai dengan kaidah ushul, kata "bukan termasuk golonganku" artinya bukan dari golongan orang-orang yang mendapat petunjukku, serta mengikuti ilmu, amal dan jalanku. Sufyan bin Uyainah tidak suka dengan penafsiran seperti itu seraya berkata, "Kita menahan diri dari penafsiran yang lain agar lebih membekas dalam diri dan efektif sebagai hardikan."
Hadits ini menunjukkan bahwa berbuat curang [menipu] adalah perbuatan yang dilarang menurut syariat dan pelakunya dicela menurut akal yang sehat.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ مِمَّنْ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ النَّارَ عَلَى بَصِيرَةٍ» رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
760. Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa menahan buah anggur -dari hasil panen- pada musim panen tiba untuk dijual kepada pembuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam api neraka dengan sengaja." (HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan)
//Dhaif Jiddan: Adh-Dhaifah: 1269. Ebook editor//
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abdullah bin Buraidah nama lengkapnya adalah Abu Sahl Abdullah bin Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami. Ia adalah seorang qadhi, perawi dan tabi'i.
Penjelasan Kalimat
"Barangsiapa menahan buah anggur -dari hasil panen- pada musim panen tiba (yakni, pada hari-hari musim dipetik) untuk dijual kepada pembuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam api neraka dengan sengaja (yakni, dia telah mengetahui sebab dan perkara yang dapat menceburkannya ke dalam neraka dengan sengaja).
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al-Baihaqi dalam kitab Syu'ab Al-Iman dari hadis Buraidah dengan tambahan,
«حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ»
"Sehingga menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau kepada seseorang yang sudah diketahui -bahwa anggur itu- akan dibuat arak, maka sungguh ia telah sengaja menceburkan dirinya ke dalam api neraka." [Asy-Syu'ab (5/17)]
Tafsir Hadits
Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan haramnya menjual buah anggur kepada seseorang [penjual] yang sudah jelas-jelas diketahui bahwa anggur itu akan dijadikan sebagai bahan pembuat minuman keras. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ancaman api neraka bagi penjualnya, sebagaimana tersebut dalam hadits. Jika penjualan tersebut dilakukan dengan penuh kesengajaan -si penjual sudah mengetahui bahwa si pembeli akan menjadikannya sebagai bahan pembuat minuman keras-, maka para ulama sepakat atas keharamannya. Adapun bila tanpa sengaja, Al-Hadawiyah mengatakan bahwa jual beli tersebut boleh, tetapi termasuk perbuatan yang dibenci. Hal ini jika penjual ragu-ragu apakah anggur itu akan dijadikan sebagai minuman keras atau tidak. Adapun bila mengetahuinya dengan jelas, maka diharamkan. Hal ini diqiyaskan dengan sesuatu yang dapat digunakan untuk melakukan -menolong- perbuatan maksiat. Sedangkan sesuatu yang jelas-jelas digunakan untuk bermaksiat seperti seruling, gendang dan semisalnya, maka telah disepakati para ulama bahwa menjual ataupun membelinya tidak diperbolehkan. Begitu juga menjual senjata dan perlengkapannya kepada orang kafir dan orang-orang yang berbuat aniaya, maka tidak diperbolehkan, karena mereka menggunakannya untuk memerangi orang-orang muslim. Akan tetapi, diperbolehkan apabila menjualnya kepada pihak yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga senjata itu bisa digunakan untuk tujuan yang baik dan semestinya.
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَضَعَّفَهُ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو دَاوُد، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ، وَابْنُ الْجَارُودِ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ، وَابْنُ الْقَطَّانِ.
761. Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pengeluaran itu dengan tanggungan." (HR. Al-Khamsah. Hadits ini dhaif menurut Al-Bukhari dan Abu Dawud. Akan tetapi dianggap shahih menurut At-Tirmidzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu Al-Qaththan)
[hasan, Abi Dawud (3508)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Pengeluaran itu dengan tanggungan." HR. Al-Khamsah. Hadits ini dhaif menurut Al-Bukhari(karena di dalamnya terdapat Muslim bin Khalid Az-Zanji yang hilang hafalan haditsnya) dan Abu Dawud. Akan tetapi, hadits ini dianggap shahih menurut At-Tirmidzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu Al-Qaththan (hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi'i dan Ashabu As-Sunan secara panjang lebar. Hal tersebut bermula saat seorang sahabat di zaman Nabi membeli seorang budak dengan kondisi yang ada padanya, kemudian dia meminta dikembalikan karena terdapat aib pada diri budak tersebut. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan untuk dikembalikan karena terdapat aib, sedang shahabat yang diputuskan perkaranya -penjual-mengatakan bahwa si pembeli telah menggunakannya. Sehingga Beliau bersabda, "Pengeluaran itu dengan tanggungan."
Tafsir Hadits
Al-Kharaj artinya penghasilan dan sewa [upah]. Yakni, jika barang dagangan itu dapat mendatangkan penghasilan, maka pemilik budaklah yang menanggungnya, dan dia berhak atas hasil yang dikeluarkan itu berdasarkan tanggungan yang dia lakukan. Bila seorang membeli tanah kemudian memanfaatkannya untuk cocok tanam, atau hewan ternak kemudian menghasilkan, atau hewan tunggangan kemudian ditungganginya, atau budak kemudian dipergunakannya, lalu didapati padanya suatu cacat maka si pembeli berhak mengembalikannya tanpa ada beban tanggungan atas sesuatu yang telah dimanfaatkannya. Karena, bila barang tersebut rusak dalam waktu akad jual beli atau saat membatalkannya maka menjadi tanggungan si pembeli sehingga tanggungannya menjadi kewajibannya. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi beberapa pendapat, yakni:
Pertama; Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa pengeluaran itu dengan tanggungan, hal ini sesuai yang telah kita tetapkan dalam makna hadits tersebut. Sedangkan mengenai faedah [manfaat] dari barang dagangan itu baik berupa faedah yang utama maupun faedah yang lainnya menjadi hak si pembeli, dan barang dagangan dapat dikembalikan selama tidak berkurang [dalam kondisi yang sama] seperti pada saat dia menerimanya.
Kedua; Al-Hadawiyah membedakan antara faedah-faedah yang utama dengan faedah yang timbul lainnya. Bagi si pembeli berhak atasnya selain faedah yang utama. Sedangkan induknya menjadi amanat yang berada di tangannya, bila pembeli mengembalikannya sesuai hukum yang berlaku maka wajib dikembalikan dan mengganti yang rusak. Bila disepakati dengan penuh kerelaan kedua pihak, maka tidak perlu dikembalikan.
Ketiga, pendapat Al-Hanafiah bahwa pembeli berhak atas faedah dari cabangnya seperti kira', sedangkan faedah induknya seperti kurma maka bila masih tersisa, dikembalikan beserta induknya dan bila sudah habis maka tidak mungkin dikembalikan sehingga patut menerima ganti ruginya.
Keempat, pendapat Imam Malik dengan membedakan antara faedah induk seperti bulu dan rambut maka menjadi hak milik pembeli dan anak dikembalikan beserta ibunya. Hal tersebut selama tidak berhubungan langsung, dengan barang dagangan saat dikembalikan. Bila berhubungan langsung maka wajib dikembalikan kepadanya sesuai ijma' ulama. Itulah pendapat orang-orang yang telah disebutkan namanya.
Zhahir hadits sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafi'i. Adapun bila si pembeli telah menyetubuhi budaknya kemudian didapati padanya suatu cacat, maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Al-Hadawiyah, ahli ra'yi, Ats-Tsauri dan Ishaq berkata, tidak dapat dikembalikan sebab bersetubuh merupakan tindak pidana karena tidak halal menyetubuhi budak, baik untuk induk pembeli maupun cabangnya, sehingga dia telah mencorengkan cacat dengan perilakunya tersebut. Mereka mengatakan, begitu pula dengan pendahuluan bersetubuh tidak bisa dikembalikan setelah itu. Kata mereka, akan tetapi hal tersebut diserahkan kepada penjual dengan mengembalikan ganti rugi atas cacat yang terjadi. Dikatakan bahwa dikembalikan disertai dengan mahar wanita yang sepadan dengannya. Di antara mereka ada pula yang memisahkan antara janda dan perawan, hal tersebut telah cukup pembahasannya diulas oleh Al-Khathabi yang dinukil oleh pemberi penjelasan (syarih). Semua pendapat tersebut hanya pendapat semata tanpa didasari argumentasi dalil dan anggapan bersetubuh merupakan tindak pidana tidak dapat dibenarkan dan alasan yang mengharamkan induk dan cabangnya merupakan bentuk pidana tersendiri merupakan alasan yang lemah sebab tidak dapat dicakup oleh pembeli pada keduanya.
وَعَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَعْطَاهُ دِينَارًا لِيَشْتَرِيَ بِهِ أُضْحِيَّةً، أَوْ شَاةً، فَاشْتَرَى بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، فَكَانَ لَوْ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ» . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ. وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي ضِمْنِ حَدِيثٍ، وَلَمْ يَسُقْ لَفْظَهُ. وَأَوْرَدَ التِّرْمِذِيُّ لَهُ شَاهِدًا مِنْ حَدِيثِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ.
762. Dari Urwah Al-Bariqi Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan." (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa'i. Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafazhnya tidak seperti itu. At-Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim bin Hizam)
[Shahih Abi Dawud (3384)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Urwah Al-Bariqi Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa'i. Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafazhnya tidak seperti itu. At-Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim bin Hizam)(Dalam sanad hadits terdapat Said bin Zaid saudara Hamad yang masih diperselisihkan, Al-Mundziri dan An-Nawawi mengatakan sanadnya hasan shahih. Di dalamnya ada banyak catatan: Penulis mengatakan, "Yang benar bahwa hal tersebut tersambung, di dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak diketahui.")
Tafsir hadits
Dalam hadits terdapat petunjuk bahwa Urwah membeli sesuatu yang tidak dapat diwakilkan dan saat menjualnya pun demikian. Karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya satu dinar untuk membeli hewan kurban. Kalaulah berhenti melakukannya niscaya dia membeli hewan kurban dengan sebagian dinar dan mengembalikan sebagian yang lainnya. Hal ini yang telah dilakukannya dan dinamai oleh para ahli fikih dengan istilah jual beli yang terhenti oleh izin dan hal tersebut telah terjadi pada hadits ini. Dalam masalah ini ulama mempunyai lima pendapat:
Pertama, sah jual beli yang terhenti. Inilah pendapat yang dipegang oleh jama'ah dari ulama salaf dan Al-Hadawiyah sebagai bentuk pengamalan hadits.
Kedua, tidak sah, itulah pendapat Imam Syafi'i dengan mengatakan, "Sesungguhnya izin tidak dapat mengesahkannya dengan argumentasi hadits,
«لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
"Janganlah engkau jual sesuatu yang tidak engkau miliki" dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan An-Nasa'i. [Shahih: Abi Dawud (3505)]
Hadits tersebut mencakup barang yang tidak ada dan milik orang lain. Asy-Syafi'i ragu akan keabsahan hadits Urwah dan beliau memberikan catatan akan keshahihan haditsnya.
Ketiga, diperinci seperti pendapat Abu Hanifah, beliau mengatakan, "Dibolehkan menjual bukan membeli. Seakan beliau membedakan antara keduanya. Karena menjual adalah mengeluarkan sesuatu dari kepemilikan sang pemilik barang. Dan pemilik mempunyai hak untuk menyempurnakan miliknya, bila dia mengizinkan, maka gugurlah haknya. Hal tersebut berbeda dengan membeli merupakan penetapan kepemilikan sehingga harus ada penguasaan pemilik atas barang tersebut.
Keempat, pendapat Imam Malik kebalikan apa yang dikatakan Abu Hanifah seakan beliau hendak menggabungkan antara dua hadits. Yakni hadits "Janganlah engkau jual sesuatu yang tidak engkau miliki" dengan hadits Urwah kemudian mengamalkannya selama tidak bertentangan.
Kelima, pendapat Al-Jashshash menganggap sah bila diwakilkan untuk membeli sesuatu tapi dia membeli sebagiannya. Bila hadits Urwah shahih, maka mengamalkan hadits tersebut merupakan pendapat yang kuat.
Dalam hadits terdapat petunjuk sahnya jual beli hewan kurban bila telah ditentukan dengan membeli untuk mengganti barang yang serupa dan tidak layak menambahkan harga sehingga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menyedekahkannya. Dalam doa Nabi kepadanya dengan keberkahan merupakan petunjuk bahwa mengucapkan syukur kepada pelaku kebaikan dan membalasnya merupakan hal yang dicintai walaupun sekadar doa.
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ شِرَاءِ مَا فِي بُطُونِ الْأَنْعَامِ حَتَّى تَضَعَ، وَعَنْ بَيْعِ مَا فِي ضُرُوعِهَا، وَعَنْ شِرَاءِ الْعَبْدِ وَهُوَ آبِقٌ، وَعَنْ شِرَاءِ الْمَغَانِمِ حَتَّى تُقَسَّمَ، وَعَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ، وَعَنْ ضَرْبَةِ الْغَائِصِ» . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَزَّارُ وَالدَّارَقُطْنِيّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
763. Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang melakukan jual beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. (HR. Ibnu Majah dan Al-Bazzar. Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad yang lemah)
[Hadits ini dhaif, Al-Irwa’ (1293)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang melakukan jual beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. HR. Ibnu Majah dan Al-Bazzar. Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad yang lemah (karena dari hadits Syahr bin Huwaisyib. Syahr banyak dikritik oleh berbagai kalangan seperti An-Nadhr bin Syamil, An-Nasai dan Ibnu Adi. Al-Bukhari berkata, "Syahr baik haditsnya dan kuat perkaranya." Diriwayatkan dari Ahmad, ia mengatakan, "Alangkah baik haditsnya.")
Tafsir Hadits
Hadits tersebut mencakup enam bentuk larangan yaitu:
Pertama, menjual janin di perut hewan berdasarkan kesepakatan ulama yang mengharamkannya.
Kedua, air susu yang di dalam tetek yang disepakati juga keharamannya.
Ketiga, budak yang melarikan diri karena tidak mampu diserah-terimakan.
Keempat, membeli harta rampasan sebelum dibagikan karena tidak ada pemiliknya.
Kelima, membeli harta sedekah sebelum diterima disebabkan belum sempurna menjadi milik penerima sedekah, kecuali setelah diterima. Para fuqaha mengecualikan menjual harta sedekah setelah dilepas dari pemberi sedekah karena mereka menjadikannya sama dengan serah terima.
Keenam, perilaku penyelam dengan mengatakan: aku akan menyelam di laut dengan bayaran sekian, sedangkan hasil yang kutangkap menjadi milikmu. Alasan keharamannya karena mengandung gharar (ketidakjelasan) dan terdapat unsur penipuan.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ، فَإِنَّهُ غَرَرٌ» رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَأَشَارَ إلَى أَنَّ الصَّوَابَ وَقْفُهُ
764. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas." (HR. Ahmad, Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf)
[dhaif, Dhaif Al-Jami' (6231)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas." HR. Ahmad, Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf (hadits ini sebagai dalil keharaman menjual ikan di air sebab adanya tipu daya (gharar). Hal itu terjadi karena saat dalam air hakekat ikan tidak dapat diketahui sehingga nampak ikan yang kecil menjadi besar dan begitu pula sebaliknya.
Tafsir Hadits
Larangan di sini nampak bersifat mutlak, sedangkan para fuqaha merinci hal tersebut dengan mengatakan; bila ikan berada di dalam air yang banyak dan tidak mungkin mengambilnya, kecuali dengan cara dipancing dan dibolehkan pula tanpa mengambilnya, maka jual belinya tidak sah. Dan bila berada di air yang mungkin diketahui keberadaannya dan mungkin diambil dengan cara dipancing, maka jual belinya sah dan boleh melakukan khiyar setelah barang diterima. Bila mungkin didapatkan tanpa perlu dipancing maka jual belinya sah dan boleh melakukan khiyar penglihatan. Rincian ini terambil dari dalil-dalil yang ada dan mengharuskan (mengkhususkan) sesuatu larangan yang bersifat umum.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ تُبَاعَ ثَمَرَةٌ حَتَّى تُطْعَمَ، وَلَا يُبَاعَ صُوفٌ عَلَى ظَهْرٍ، وَلَا لَبَنٌ فِي ضَرْعٍ» . رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ وَالدَّارَقُطْنِيّ. وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد فِي الْمَرَاسِيلِ لِعِكْرِمَةَ، وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مَوْقُوفًا عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ قَوِيٍّ، وَرَجَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ.
765. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. (HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Ad-Daraquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits Mursal Ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Al-Baihaqi)
[Al-Ausath (4/101), dan Ad-Daraquthni (3/14), Al-Marasil no. (182,183)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak (yakni nampak layak dikonsumsi) dan tidak menjual bulu yang masih melekat di punggung -hewan hidup-, dan susu dalam tetek. HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Ad-Daraquthni (dan dikuatkan oleh Al-Baihaqi) Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits Mursal Ikrimah (inilah yang kuat) ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Al-Baihaqi.
Tafsir hadits
Hadits di atas mengandung tiga persoalan, yaitu:
Pertama, larangan menjual buah-buahan hingga nampak kelayakannya untuk dipetik dan dikonsumsi. Pembahasan hal ini lebih jelas akan dibahas pada bab tersendiri.
Kedua, larangan menjual bulu di punggung hewan, terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.
1) Tidak dibolehkan sesuai dengan makna hadits di atas karena masih terdapat perbedaan tempat memotong sehingga menyakiti hewan tersebut. Inilah pendapat Al-Hadawiyah dan kalangan Asy-Syafi'iyah serta Abu Hanifah.
2) Sah jual belinya karena hal tersebut dapat dilihat dan bisa diserah-terimakan sebagaimana disahkan pula dari hewan sembelihan. Inilah perkataan Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya. Mereka mengatakan bahwa kondisi hadits di atas mauquf pada Ibnu Abbas.
Pendapat pertama paling nampak kebenarannya, sedangkan hadits di atas dikuatkan oleh hadits mursal dan mauquf. Adapun larangan penipuan sungguh benar dilarang, sedangkan sikap gharar terjadi padanya.
Ketiga, menjual air susu di tetek karena terdapat unsur tipuan. Sedangkan said bin Jubair membolehkan hal tersebut dengan mengatakan, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut tetek sebagai gudang dalam sabdanya saat menyebut orang yang memerah kambing saudaranya tanpa izin darinya.
«يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إلَى خِزَانَةِ أَخِيهِ وَيَأْخُذُ مَا فِيهَا»
"Seseorang dari kalian sengaja mendekati gudang saudaranya dan mengambil apa yang ada di dalamnya.”
Penulis menjawab, bahwa penamaan tersebut hanya berupa majaz. Kalaupun alasan tersebut dapat diterima maka jual beli yang dalam gudang itu berupa tipuan (gharar) yang tidak dapat diketahui jumlah dan kualitasnya.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمَضَامِينِ وَالْمَلَاقِيحِ» . رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِي إسْنَادِهِ ضَعْفٌ
766. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. (HR. Al-Bazzar dengan sanad yang lemah)
[shahih, Al-Bazzar (1267) Al-Kasysyaf, dan lihat Shahih Al-Jami’ (6937)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang jual beli anak hewan dalam kandungan (yakni apa yang dalam kandungan unta) dan mani ternak jantan (yakni apa yang di punggung unta jantan). HR. Al-Bazzar dengan sanad yang lemah (karena di dalam riwayatnya terdapat Shalih bin Abil Akhdhar dari Az-Zuhri dia seorang yang lemah dan diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri dari Said secara mursal. Dalam kitab Al-Ilal Ad-Daraqutni berkata, "Diikuti oleh Ma'mar dan disambungkan oleh Umar bin Qais dari Az-Zuhri, sedangkan perkataan Malik adalah benar. Dan dalam bab tersebut dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Abdurrazaq dengan sanad yang kuat)
Tafsir Hadits
Hadits ini sebagai dalil tidak sahnya jual beli yang masih ada dalam kandungan (perut) dan sesuatu yang di punggung unta. Ulama sepakat keharamannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «وَمَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا بَيْعَتَهُ أَقَالَ اللَّهُ عَثْرَتَهُ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد، وَابْنُ مَاجَهْ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ.
767. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membebaskan jual beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim)
[Shahih: Abi Dawud (3460)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Makna Hadits
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membebaskan jual beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya."(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim) pada lafazhnya disebutkan:
«مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
"Barangsiapa membebaskan jual beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya di hari kiamat"
Abu Fath Al-Qusyairi berkata, "Hadits tersebut sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim. Dalam bab tersebut terdapat hadits-hadits yang memperkuat keutamaan melakukan pembebasan (Iqalah)."
Tafsir Hadits
Secara syariat Iqalah (pembebasan) artinya menarik kembali jual beli yang telah terjadi di antara kedua pelaku akad. Hal tersebut disyariatkan berdasarkan ijma' ulama dengan mengharuskan adanya pengucapan lafazh yang menunjukkan pembebasan jual beli (Iqalah) seperti perkataan: 'aku bebaskan' atau ungkapan yang menunjukkan hal tersebut secara adat istiadat. Iqalah mempunyai berbagai jenis syarat yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab sub induk karangan para ulama yang tanpa diperkuat dengan dalil. Hadits di atas hanya menunjukkan bahwa hal itu terlaksana dengan dua sisi pelaku akad dengan sabdanya: "jual belinya". Sedangkan sifat orang yang diberi Iqalah seorang yang muslim bukan menjadi syarat mutlak. Penyebutannya hanya bersifat keumumann hukum, kalau tidak demikian niscaya pahalanya akan menjadi bagian orang kafir. Terdapat pula riwayat yang menyebutkan:
مَنْ أَقَالَ نَادِمًا
'barangsiapa membebaskan orang yang menyesal' dikeluarkan oleh Al-Bazzar. [dhaif, Dhaif Al-Jami', (5464)]