Nasehat Muslim
عَنْهُ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -: «مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ وَلَمْ
يُصَلُّوا عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إلَّا كَانَ
عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ» أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ:
حَسَنٌ.
1441. Darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu Anhu berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk
di sebuah majelis tanpa berdzikir mengingat Allah di dalamnya dan tidak
bershalawat atas Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melainkan akan menjadi
penyesalan atas mereka pada hari Kiamat nanti." (HR. At-Tirmidzi dan ia
berkata, "Hadits ini hasan.")
[shahih: At Tirmidzi 3380]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu Anhu berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk
di sebuah majelis tanpa berdzikir mengingat Allah di dalamnya dan tidak
bershalawat atas nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melainkan akan menjadi
penyesalan atas mereka pada hari Kiamat nanti." Hadits riwayat At-Tirmidzi
dan ia berkata: "Hadits ini hasan." (....jika Allah mau, Dia akan mengadzabnya
atau mengampuni dosanya). Diriwayatkan oleh Ahmad dengan lafazh,
«مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا
اللَّهَ تَعَالَى فِيهِ إلَّا كَانَ عَلَيْهِ تِرَةً، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَمْشِي
طَرِيقًا فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ تَعَالَى إلَّا كَانَ عَلَيْهِ تِرَةً، وَمَا
مِنْ رَجُلٍ أَوَى إلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إلَّا
كَانَ عَلَيْهِ تِرَةً»
"Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis sedangkan
mereka tidak mengingat Allah di dalamnya melainkan akan menjadi penyesalan bagi
mereka. Dan tidaklah seorang berjalan sementara ia tidak mengingat Allah Azza wa
Jalla melainkan akan menjadi penyesalan bagi dirinya. Dan tidaklah seorang
laki-laki beranjak ke peraduannya tanpa mengingat Allah kecuali akan menjadi
penyesalan bagi dirinya."
Dalam riwayat lain tercantum,
إلَّا كَانَ
عَلَيْهِ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنْ دَخَلَ الْجَنَّةَ
"... kecuali akan menjadi penyesalan bagi dirinya pada
hari kiamat kelak, walaupun mereka masuk surga dikarenakan pahalanya."
At-tirah dengan huruf ta' yang berbaris
kasrah lalu diikuti oleh huruf ra' artinya hasrah
(penyesalan). Ibnu Atsir berpendapat: at-tirah artinya kekurangan.
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan wajibnya berdzikir kepada Allah
dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika berada di suatu
majlis karena adanya ancaman terhadap orang yang tidak mengerjakannya. Apalagi
ada yang menafsirkan kata at-tiirah tersebut dengan makna api neraka atau
azab, bahkan ada yang mentafsirkan dengan kedua makna tersebut sekaligus.
Ancaman azab tidak akan mungkin ditimpakan kecuali dikarenakan seseorang telah
meninggalkan perkara yang wajib atau karena melanggar sesuatu yang
diharamkan.
Jadi, zhahir hadits menunjukkan bahwa dzikir kepada Allah dan
shalawat terhadap Nabi hukumnya wajib. Para ulama pernah menghitung
tempat-tempat dibacakannya shalawat Nabi sebanyak 46 tempat. Abul Aliyah
berkata, "Maksud Allah bershalawat kepada Nabi-Nya adalah Allah memujinya di
hadapan para, malaikat. Dan makna shalawat malaikat kepada Nabi adalah
mendoakannya untuk mendapatkan pujian dan kemuliaan. Memang ada pendapat
lainnya, hanya saja pendapat inilah yang terbaik."
Ada pendapat lain: Shalawat Allah kepada' Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah memuliakannya dan memberikan tambahan
kehormatan untuk beliau, sementara shalawat Allah terhadap selain Nabi adalah
memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Adapun makna ucapan kita, "Allaahumma
shalli 'ala Muhammad maknanya, "Ya Allah, berilah keagungan kepada Muhammad.
Makna keagungan di sini adalah meninggikan sebutannya, menjayakan agamanya,
memberi kesinambungan terhadap syariat yang dibawanya semasa di dunia dan
memberikan ganjaran kepada beliau di akhirat nanti, memberinya izin untuk
memberikan syafaat kepada umatnya dan syafaat terbesar kepada seluruh umat
manusia pada tempat yang terpuji.
Adapun keikutsertaan para keluarga dan isteri beliau dalam
penyebutan shalawat maksudnya agar mereka diberi kehormatan yang layak untuk
mereka. Dengan ini, jelaslah adanya sisi pengkhususan shalawat kepada para Nabi
yang tidak diberikan kepada yang lain. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas Radhiyallaahu Anhuma bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«إذَا صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَصَلُّوا عَلَى
أَنْبِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى بَعَثَهُمْ كَمَا بَعَثَنِي»
"Apabila kalian bershalawat kepadaku maka ucapkan juga
terhadap para Nabi Allah, karena Allah telah mengutus mereka sebagaimana Allah
mengutusku.”
Dalam hadits ini, beliau menyebutkan bahwa shalawat tersebut
diberikan karena tugas mereka sebagai utusan Allah. Ini artinya shalawat
tersebut khusus untuk orang-orang yang diutus oleh Allah saja.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dengan sanad yang shahih dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, "Aku tidak mengetahui ada orang yang
berhak mendapatkan shalawat kecuali Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam."
Dikatakan bahwa penyataan ini juga dipegang oleh Malik dan ia berkata, "Kita
melakukannya sebagai ibadah." Al-Qadhi Iyadh berkata, "Mayoritas ulama
berpendapat boleh mengucapkan shalawat untuk selain para nabi dan aku sendiri
lebih condong kepada pendapat Malik." Ini juga pendapat para muhaqqiq dari ahli
kalam dan para pakar ilmu fikih. Mereka berkata, "Untuk selain para nabi
disebutkan dengan ucapan Radhiyallahu Anhu, tidak dengan ucapan shalawat. Ucapan
shalawat kepada selain para nabi tidak diketahui sebelumnya. Ucapan ini muncul
pada masa Daulah Bani Hasyim, yakni ditujukan khusus untuk para ahli ibadah.
Adapun shalawat yang ditujukan kepada para malaikat, aku
tidak mengetahui ada hadits yang menyinggung masalah tersebut, kecuali hadits
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dengan alasan karena Allah Ta'ala juga menamakan
mereka dengan sebutan rasul (utusan).
Berkenaan dengan shalawat untuk orang-orang mukmin,
sekelompok ulama berkata, "Tidak boleh bershalawat khusus untuk mereka."
Kelompok yang membolehkan berdalil dengan nas-nas yang menyinggung tentang
masalah tersebut seperti shalawat terhadap keluarga beliau, isteri-isteri beliau
dan anak cucu beliau. Tidak ada nas yang menyebutkan selain itu dan tidak pula
diqiyaskan kepada para shahabat dan lain-lain. Sebagaimana yang telah kita
singgung bahwa para shahabat didoakan dengan ucapan Radhiyallahu Anhum dan
mendoakan keampunan untuk mereka, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pada firman Allah Ta'ala,
{وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ}
"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang mukmin...." (QS. Muhammad: 19)
Tidak ada satu hadits pun yang menunjukkan adanya ucapan
shalawat kepada para shahabat. Masalah ini sudah menjadi ikhtilaf ulama yang
terkenal. Al-Bukhari berpendapat bolehnya mengucapkan shalawat kepada para
shahabat. Dalam sebuah hadits tercantum bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam mengucapkan shalawat kepada keluarga Sa'id bin Ubadah. Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i dengan sanad yang bagus. Demikian juga
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengucapkan shalawat kepada keluarga
Abu Aufa. Demikianlah dalil yang dipegang oleh pendapat yang membolehkan
mengucapkan shalawat kepada para Shahabat. Di antara dalil yang mereka sebutkan
adalah firman Allah Ta'ala:
{هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ
وَمَلائِكَتُهُ}
"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu)..." (QS. Al-Ahzaab: 43)
Kelompok yang berpendapat tidak boleh mengucapkan shalawat
kepada para shahabat mengatakan, "Shalawat tersebut berasal dari Allah dan
Rasul-Nya. Adapun kita tidak mendapatkan izin untuk melakukannya.
Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata, "Boleh mengucapkan shalawat
kepada selain para nabi, malaikat, isteri-isteri Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, anak keturunan beliau dan terhadap orang-orang yang menaati beliau
secara global. Akan tetapi, merupakan perbuatan yang dibenci jika shalawat
tersebut ditujukan kepada orang tertentu selain nabi telah menjadikannya sebagai
syi'ar. Apalagi jika hal itu sampai meninggalkan shalawat terhadap orang lain
yang sejajar dengannya atau orang yang lebih baik darinya, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang Syi'ah. Kalaupun ada yang berpendapat bolehnya
memberikan shalawat kepada orang-orang tertentu, hanya saja hal itu tidak boleh
dijadikan sebagai syi'ar.
Para ulama juga berselisih pendapat tentang ucapan salam
terhadap selain para Nabi (yang sudah meninggal), setelah adanya kesepakatan
bolehnya disyariatkan ucapan salam kepada orang-orang yang masih hidup. Jumhur
ulama berpendapat bahwa hal itu disyariatkan secara mutlak. Pendapat lain:
dibolehkan tetapi tidak untuk orang tertentu karena hal itu merupakan syiar
orang-orang Rafidhah (Syi'ah). Demikian yang dinyatakan oleh An-Nawawi yang ia
nukil dari Al-Juwaini.
Saya katakan, "Alasan tidak dibolehkannya hal itu karena
khawatir akan dijadikan sebagai syi'ar, tidak dapat dijadikan dalih untuk
melarangnya. Ucapan salam kepada orang yang sudah meninggal juga telah
disyariatkan Allah Ta'ala melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam
(ketika masuk ke pekuburan),
«السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ
مُؤْمِنِينَ»
"Salam atas kalian perkampungan kaum
mukminin."
Hal ini juga sudah ada pada zaman jahiliyah sebagaimana yang
tertera dalam sebuah sya'ir:
عَلَيْك سَلَامُ اللَّهِ قَيْسُ بْنُ عَاصِمٍ ... وَرَحْمَتُهُ
مَا شَاءَ أَنْ يَتَرَحَّمَا
وَمَا كَانَ قَيْسُ مَوْتُهُ مَوْتَ وَاحِدٍ ... وَلَكِنَّهُ
بُنْيَانُ قَوْمٍ تَهَدَّمَا
Salam dan rahmat menurut kehendak Allah
senantiasa tercurah kepadamu wahai Ashim bin Qais,
Tidaklah Qais meninggal seorang diri,
Akan tetapi dengan kepergiannya berarti telah meruntuhkan bangunan suatu
kaum.
Subulussalam, Syarh Bulughul Maram
nasehat-muslim blogpsot co id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar