وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُك أَخَاك بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ: أَفَرَأَيْت
إنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ
اغْتَبْته، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ» أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
1396. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tahukah kalian apa itu
ghibah ? " Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui."
Rasulullah berkata, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia
sukai." Mereka berkata: "Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar-benar
ada pada dirinya?" Rasulullah menjawab, "Jika apa yang engkau katakan memang
benar ada berarti engkau telah menggunjingnya dan jika tidak berarti engkau
telah membuat kedustaan atasnya." (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim
2589]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tahukah kalian
apa itu ghibah?" (dengan mengkasrahkan huruf ghain) Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui."
Rasulullah berkata, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia
sukai." Mereka berkata, "Bagaimana jika apa yang aku katakan itu
benar-benar ada pada dirinya?" Rasulullah menjawab, "Jika apa yang engkau
katakan memang benar ada berarti engkau telah menggunjingnya dan jika tidak
berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya." (Bahattahu
dengan menfathahkan huruf ba' dan ha' dari kata buhtaan). HR. Muslim.
Tafsir Hadits
Sepertinya hadits ini disebutkan untuk menafsirkan ghibah
yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala:
{وَلا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا}
"dan janganlah menggunjingkan satu sama lain." (QS.
Al-Hujuraat: 12)
Dan hadits ini telah menjelaskan makna hakiki dari ghibah. Di
dalam kitab An-Nihayah tercantum, ghibah adalah kamu menceritakan tentang
kejelekan seseorang ketika orang tersebut tidak ada, walaupun kejelekan tersebut
memang benar ada.
An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkaar mengikuti penjelasan
dari Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan kejelekan seseorang, baik yang
berkenaan dengan bentuk fisiknya, agamanya, dunianya, dirinya, perilakunya,
hartanya, orang tuanya, anaknya, isterinya, pembantunya, gerak-geriknya, senyum
atau cemberutnya, atau hal-hal lainnya yang berhubungan dengan sebutan yang
buruk. Baik hal itu disebutkan dengan lisan maupun dengan kode atau isyarat.
An-Nawawi berkata, "Demikian juga kalimat-kalimat yang
dipakai oleh para penulis, seperti perkataan: berkata orang yang mengaku
berilmu, berkata sebagian orang yang menyatakan dirinya shalih, atau bentuk
perkataan lainnya yang dapat dipahami oleh pendengar, maksud dari perkataan
tersebut. Atau setelah menyebutkan perkataan di atas lantas penulis mengatakan:
semoga Allah memaafkan kita semua, atau semoga Allah menerima taubat kita, atau
kita mohon keselamatan dari Allah dan Lain-lain. Semua pernyataan ini termasuk
dalam ruang lingkup ghibah.
Sabda beliau, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu
yang tidak ia sukai," mencakup apakah orang yang bersangkutan hadir di
tempat tersebut ataupun tidak. Demikian madzhab sebagian kelompok ulama. Sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini merupakan penjelasan ghibah menurut
makna syar'i.
Adapun makna ghibah dari segi bahasa adalah diambil dari kata
ghaib. Jika kita tilik dari makna bahasa, maka tidak dikatakan ghibah,
kecuali apabila pembicaraan itu pada saat yang bersangkutan tidak hadir di
tempat. Sekelompok ulama merajihkan bahwa makna syar'i sesuai dengan makna
bahasa dan mereka menyebutkan dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam:
«مَا كَرِهْت أَنْ تُوَاجِهَ بِهِ أَخَاك فَهُوَ
غِيبَةٌ»
"Apa saja yang kamu tidak suka jika sesuatu itu diarahkan
langsung kepada saudaramu berarti hal itu disebut sebagai ghibah."
Jika hadits ini shahih berarti hadits ini sebagai
pengkhususan hukum yang ada di dalam hadits Abu Hurairah. Berikut beberapa
tafsiran para ulama tentang definisi ghibah:
Sebagian berpendapat bahwa ghibah adalah menyebutkan aib
seseorang yang tidak ada di tempat pembicaraan. Sebagian lagi berpendapat: kamu
menyebut-nyebut kejelekan seseorang di belakangnya, walaupun kejelekan tersebut
memang nyata ada pada dirinya.
Dengan demikian menyebutkan aib seseorang di hadapannya
secara langsung hukumnya juga haram, karena dapat menyakiti hati orang yang
bersangkutan walaupun tidak hal itu termasuk ghibah.
Sabda beliau (saudaramu) maknanya saudara seagama. Ini
merupakan bukti bahwa ghibah boleh dilakukan terhadap orang-orang non muslim.
Dan masalah ini telah berlalu pembicaraannya. Ibnu Mundzir berkata, "Hadits ini
menunjukkan bahwa apabila bukan saudara seagama seperti orang Yahudi; Nasrani,
dan agama-agama lainnya atau orang-orang yang keluar dari agama Islam karena
kebid'ahan yang ia lakukan, tidak mengapa dighibahi.
Kata (saudaramu) yang disebutkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam mencegah seseorang untuk tidak menggunjingkan orang yang akan
ia gunjingi, karena orang yang digunjingkan itu adalah saudaranya sendiri. Jadi,
selayaknya ia menaruh kasihan kepada saudaranya, merahasiakan aib dan
kejelekannya, bukan malah disebarluaskan.
Sabda beliau, "yang ia benci" dapat dipahami bahwa
apabila orang yang bersangkutan tidak membenci kejelekan yang diceritakan, maka
tidak termasuk ghibah. Seperti pelaku-pelaku cabul atau orang-orang gila.
Haramnya perbuatan ghibah sudah menjadi hukum yang telah
disepakati oleh para ulama. Hanya saja para ulama berselisih pendapat apakah
ghibah termasuk dosa besar ataukah dosa kecil? Al-Qurthubi menukil bahwa para
ulama telah sepakat bahwa ghibah termasuk salah satu dosa besar. Mereka
berdalilkan dengan hadits shahih:
«إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ
عَلَيْكُمْ حَرَامٌ»
"Sesungguhnya darah kalian, kehormatan kalian dan harta
benda kalian haram (dirusak orang lain)."
Menurut pendapat Al-Ghazali dan penulis Al-'Umdah dari
kelompok ulama yang bermazhab Asy-Syafi'i, ghibah termasuk dalam kategori dosa
kecil. Al-Adzra'i berkata "Tidak ada ulama lain yang dengan terang-terangan
mengatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua." Al-Mahdi
berkata, "Bagi ulama yang tidak dapat memastikan bahwa ghibah itu dosa besar,
boleh jadi menurutnya ghibah itu dosa kecil, sebagaimana pendapat orang-orang
Mu'tazilah."
Az-Zarkasyi berkata," Aneh sekali ucapan seorang yang
mengatakan bahwa memakan bangkai termasuk dosa besar, sementara ghibah ia
katakan sebagai dosa kecil. Padahal Allah Ta'ala menggolongkan ghibah seperti
memakan daging bangkai manusia."
Hadits ini melarang perbuatan ghibah dengan larangan yang
cukup luas. Hal ini menunjukkan betapa kerasnya larangan melakukan ghibah
tersebut.
Ketahuilah bahwa para ulama mengecualikan haramnya ghibah
pada enam perkara:
1.
Terjadinya penganiayaan. Seorang yang
teraniaya boleh mengatakan, "Si fulan menzhalimiku dengan mengambil hartaku."
Atau "si fulan seorang yang zhalim" tapi dengan syarat laporan itu diceritakan
kepada orang yang mampu menghapus atau menghilangkan atau mengurangi tindakkan
kezhaliman tersebut. Dalilnya ketika Hindun isteri Abu Sufyan melaporkan
tindakan Abu Sufyan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Hindun berkata,
"Abu Sufyan adalah seorang yang kikir."
2.
Meminta tolong untuk mengatasi sebuah
kemungkaran kepada orang yang diperkirakan mampu untuk mengatasinya. Ia boleh
mengatakan, "Si fulan telah melakukan suatu kemungkaran." Hal ini bagi orang
yang tidak terang-terangan melakukan kemaksiatan.
3.
Meminta fatwa. Seperti perkataan, "Si
fulan telah menganiaya diriku dengan cara berbuat demikian kepadaku. Bagamana
caranya agar aku bisa terlepas dari penganiayaan tersebut?" Ia tidak mampu
melepaskan diri dari tindak kezhaliman si fulan, kecuali dengan cara menyebutkan
apa yang terjadi.
4.
Mengingatkan kaum muslimin agar
waspada kepada seseorang sgar mereka tidak tertipu. Seperti menyebutkan aib
seorang perawi hadits, atau cacat seorang saksi atau seorang yang memberi
pelajaran atau memberi fatwa sementara ia tidak punya ilmu tentang hal'itu.
Dalilnya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sejelek-jelek teman bergaul." Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa
Sallam, "Adapun Mu'awiyah, ia adalah seorang yang miskin." Ucapan ini
beliau sampaikan ketika Fathimah binti Jahsyin ketika ia datang untuk, meminta
izin dan meminta pendapat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang
Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm yang datang melamarnya. Beliau bersabda,
"Adapun Mu'awiyah adalah seorang miskin yang tidak punya harta. Sedangkan Abu
Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat pemukulnya dari pundaknya." Lantas
beliau bersabda, "Nikahlah dengan si fulan."
5.
Menyebutkan tentang keadaan
orang-orang yang secara terang-terangan telah melakukan perbuatan maksiat atau
bid'ah. Seperti para penipu dan para pejabat yang telah berbuat maksiat secara
terang-terangan. Masalah ini telah kita singgung dalilnya dalam hadits:
"Sebutkanlah tentang keberadaan orang-orang yang jahat itu.”
6.
Menyebutkan cacat seseorang sebagai
identitasnya, seperti si buta sebelah, si pincang, si rabun dan Lain-lain. Cacat
itu disebutkan bukan untuk menghina orang tersebut tetapi hanya sebagai
identitas.
Keenam poin ini dikumpulkan oleh Abu Syariif dalam
sya'irnya:
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِي سِتَّةٍ ... مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ
وَمُحَذِّرٍ
وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ وَمَنْ ... طَلَبَ
الْإِعَانَةَ فِي إزَالَةِ مُنْكَرٍ
Tidaklah tercela berbuat ghibah pada
enam tempat.
Orang yang teraniaya, sebagai sebutan
identitas dan untuk mewaspadai seseorang,
Orang yang terang-terangan berbuat
kefasikan dan orang yang minta fatwa
Dan orang yang meminta pertolongan untuk
mengatasi sebuah kemungkaran