Nasehat Muslim
وَعَنْ عَائِشَةَ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَبْغَضُ الرِّجَالِ إلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ»
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
1418. Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang paling dibenci Allah
adalah orang yang paling keras penentangannya lagi lihai bersilat lidah."
(HR. Muslim)
[shahih, Muslim
(2668)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang paling dibenci Allah
adalah orang yang paling keras penentangannya lagi lihai bersilat
lidah."
Aladdu diambil dari kata ladiidi al-waadi
artinya menghindarkannya. Al-khashim artinya sangat bermusuhan dan
berusaha untuk menghujat lawannya. Letak kaitannya adalah setiap kali ia
berhujjah dengan sebuah argumen, ia pun akan mengambil sisi lainnya. Banyak
hadits-hadits yang mencantumkan celaan terhadap pertengkaran. Di antaranya
hadits berikut,
«مَنْ جَادَلَ فِي خُصُومَةٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَمْ
يَزَلْ فِي سُخْطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ»
"Barangsiapa yang mendebat lawannya dengan tanpa ilmu maka
Allah akan senantiasa marah pada dirinya hingga ia meninggalkan perdebatan
tersebut." [Shahih: Abi Dawud
(3597)]
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, "Hadits
gharib."
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallaahu Anhuma bahwasanya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
كَفَى بِك إثْمًا
أَنْ لَا تَزَالَ مُخَاصِمًا
"Cukuplah menjadi dosa untukmu selama kamu terus menjadi
pendebat.”[Dhaif: At
Tirmidzi 1994]
Dari konteks hadits-hadits tersebut dapat diketahui bahwa
perdebatan adalah perbuatan tercela walaupun ia berada pada kebenaran.
An-Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Adzkaar, "Apabila
engkau katakan: seorang manusia harus melakukan perdebatan untuk mendapatkan
haknya. Maka jawabannya adalah sebagaimana yang dijawab oleh Al-Ghazali bahwa
celaan tersebut ditujukan hanya kepada orang yang berdebat untuk membela
kebatilan tanpa didasari oleh ilmu seperti layaknya seorang wakil hakim. Artinya
ia ditugaskan memutuskan suatu kasus, sementara ia belum mengetahui pihak mana
yang benar. Termasuk juga seorang yang menuntut haknya, namun tidak terbatas
hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhannya saja. Tetapi ia menampakkan
permusuhan, berdusta, dan menyakiti lawannya. Demikian halnya dengan perdebatan
yang dilakukan hanya untuk mengalahkan dan menjatuhkan lawan debatnya.
Contoh lain seperti seorang yang mengucapkan kalimat-kalimat
yang menyakiti lawan debat, padahal untuk mendapatkan hakiiya, ucapan-ucapan
tersebut tidak diperlukan. Perdebatan-perdebatan seperti ini dicela oleh syar'i.
Berbeda halnya dengan seorang yang terzhalimi, ia mempertahankan argumentasinya
dengan aturan syar'i, tidak keras kepala dan tidak pula terlalu menghujat hingga
di luar batas kebutuhan dan juga tidak menyakitkan lawannya dengan tindakan yang
ia lakukan. Debat seperti ini tidaklah tercela dan tidak pula diharamkan. Hanya
saja sebaiknya meninggalkan perdebatan jika ada cara lain yang dapat ditempuh.
Di dalam sebagian buku-buku madzhab Asy-Syafi'i tertera bahwa tidak diterima
persaksian orang-orang yang banyak melakukan perdebatan. Karena hal itu terlihat
buruk dalam pandangan masyarakat, bukan di karenakan perdebatan termasuk
perbuatan maksiat.
Subulussalam, Syarh Bulughul Maram
nasehat-muslim blogpsot co id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar