وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - قَالَ: «لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ. فَمَنْ ابْتَاعَهَا
بَعْدُ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، إنْ شَاءَ
أَمْسَكَهَا. وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَلِمُسْلِمٍ «فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ» وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ
عَلَّقَهَا الْبُخَارِيُّ «وَرَدَّهَا مَعَهَا صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، لَا سَمْرَاءَ»
قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَالتَّمْرُ أَكْثَرُ.
757. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sollam, beliau bersabda, "Janganlah menahan susu unta
dan kambing (agar terkesan subur susunya -edt.). Barangsiapa membelinya
dan sempat memerah susu darinya, maka ia boleh memilih dua hal, jika mau ia
boleh menahannya, jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan memberi satu sha'
kurma (sebagai ganti dari susu yang telah diperahnya)." (Muttafaq Alaih).
Menurut riwayat Muslim, "Ia mempunyai hak pilih selama tiga hari".
Menurut riwayat Muslim yang dita’liq oleh Al-Bukhari, "Ia
mengembalikannya beserta satu sha' makanan bukan gandum".
Al-Bukhari berkata, "Kebanyakan adalah berbentuk kurma."
[shahih, Al-Bukhari (2148) dan Muslim
(1524)]
ــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
At-Tashriyah secara bahasa bermakna menahan air. Imam
Asy-Syafi'i berkata, "Makna Tashriyah -dalam hadits- adalah mengikat tetek unta
atau kambing dan membiarkannya tanpa diperah sampai terkumpul banyak, sehingga
pembeli menyangka itu merupakan kebiasaannya sedangkan dalam hadits kata sapi
tidak disebutkan, tapi hukumnya sama.
Tafsir Hadits
Hadits di atas melarang perbuatan tashriyah (menahan
susu) pada hewan jika ingin dijual karena terdapat pada riwayat An-Nasa'i hadits
yang mengaitkannya dengan lafazh menjual,
«وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ
لِلْبَيْعِ»
"Janganlah menahan susu unta dan kambing untuk dijual"
[shahih, An-Nasa'i (7/253), dan lihat Shahih Al-Jami'
(7449)]
dalam riwayatnya yang lain,
«إذَا بَاعَ أَحَدُكُمْ الشَّاةَ أَوْ اللِّقْحَةُ
فَلْيَحْلُبْهَا»
"Bila salah seorang dari kalian menjual kambing atau unta,
maka perahlah susunya".
Inilah pendapat paling kuat menurut jumhur. Dan hal ini
diindikasikan oleh dalih penipuan dan kecurangan, hanya saja penulis tidak
mendapati nash dalih tersebut secara tertulis.
Adapun tashriyah (menahan susu) yang dilakukan bukan
karena ingin menjual hewan tersebut, akan tetapi agar susunya terkumpul demi
kemaslahatan si pemilik, maka walaupun dapat menyiksa binatang, tetapi hukumnya
boleh. Hadits secara zahir menunjukkan tidak ada khiyar (hak memilih) kecuali
setelah susunya diperah. Seandainya ketahuan adanya tashriyah walaupun belum
memerahnya, maka hak memilih tetap ada. Adanya hak memilih adalah menunjukkan
sahnya jual beli hewan yang ditahan susunya (tashriyah).
Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa
mengembalikan hewan karena adanya praktek tashriyah pada hewan itu, dilakukan
secara langsung, karena huruf Fa' dalam sabdanya: (فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ) "Maka ia boleh memilih dua hal"
menunjukkan kejadian secara langsung tanpa waktu jeda. Itulah yang dipegang oleh
sebagian kalangan Asy-Syafi'iyah, akan tetapi mayoritas mereka membolehkan jeda
waktu berdasarkan sabda beliau, "Maka ia boleh memilih selama tiga hari".
Mereka yang berpendapat harus langsung tanpa jeda disanggah dengan argumen bahwa
hal tersebut bisa ditorapkan jika si pembeli tidak mengetahui bahwa hewan
tersebut di tahan susunya, kecuali pada hari ketiga. Karena umumnya hal tersebut
tidak dapat diketahui dalam waktu yang kurang dari tiga hari karena susu bisa
berkurang karena perbedaan rumput yang dimakannya. Dalam riwayat Ahmad dan
Ath-Thahawi,
فَهُوَ بِأَحَدِ
النَّظَرَيْنِ بِالْخِيَارِ إلَى أَنْ يَحُوزَهَا أَوْ يَرُدَّهَا
"Maka dia boleh memilih satu dari dua hal terbaik sampai
dia membawanya" [Ahmad (2/242) dan Ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma'ani
Al-Atsar (4/17)]
Adapun pembatasan tiga hari, maka batas kapan memulainya
masih diperselisihkan, ada yang mengatakan, tiga hari Setelah diketahui adanya
tashriyah (penahanan susu), Ada juga yang mengatakan, dari semenjak
terjadinya transaksi jual beli, yang lain mengatakan, dimulai Setelah dia
menguasainya.
Hadits di atas juga menunjukkan kompensasi susu yang telah
diperah oleh pembeli adalah satu sha' kurma. Adapun riwayat yang dikomentari
Al-Bukhari dengan menyebutkan, "Satu sha' makanan", Al-Bukhari sendiri cenderung
menguatkan riwayat yang menyebutkan bahwa penggantinya adalah kurma, karena
itulah yang paling banyak dipakai orang. Bila hukum bahwa si pembeli harus
mengganti susu yang telah diperah dengan kurma telah ditetapkan, maka dalam
masalah ini terdapat 3 pendapat:
Pertama, pendapat jumhur para sahabat dan tabi'in,
yakni menetapkan penggantian susu dengan satu sha' kurma, baik susu tersebut
banyak ataupun sedikit, baik kurma sebagai makanan pokok penduduk setempat
ataupun tidak.
Kedua, pendapat Al-Hadawiyah, mereka mengatakan hewan
yang susunya ditahan itu harus dikembalikan, akan tetapi bersamaan dengan itu
mereka mengatakan, bahwa susu yang telah diperahnya itu harus dikembalikan
seperti sedia kala jika masih tersisa, atau dengan barang yang senilai bila
sudah habis atau diganti dengan uang sesuai harganya saat dikembalikan, jika
tidak didapati barang senilai. Mereka mengatakan, sudah menjadi ketetapan bahwa
pengganti barang yang hilang, jika barang tersebut ada kesamaannya, maka
gantinya adalah harus barang yang sama dan jika barang tersebut merupakan barang
yang bisa ditaksir harganya, maka harus diganti dengan uang seharga barang
tersebut. Bila susu merupakan barang yang ada kesamaannya, maka harus diganti
dengan barang yang sama, dan jika ia merupakan barang yang dapat ditaksir
harganya, maka ia harus diganti dengan uang sesuai harganya, lantas bagaimana
bisa, susu diganti dengan kurma atau dengan makanan? Mereka juga berkata,
penggantinya pun harus disesuaikan kadarnya dengan kadar susu tersebut, tidak
bisa diganti dengan satu sha' tanpa mempedulikan kadar susu tersebut lebih
sedikit atau lebih banyak. Hal ini dijawab, bahwa hal tersebut merupakan qiyas
yang bersifat umum terhadap semua jenis barang yang harus diganti. Sedangkan
masalah ini bersifat khusus, terdapat nash secara eksplisit yang mengaturnya.
Dan perkara yang bersifat khusus harus didahulukan daripada perkara yang
bersifat umum.
Adapun mengenai kadar satu sha', ia adalah kadar yang
ditentukan syariat untuk menghindari pertikaian, karena sulit untuk memastikan
kadar susu tersebut, karena bisa jadi tercampur dengan sesuatu yang lain setelah
hewan tersebut dijual. Maka syariat pun memutuskan perselisihan ini dan ia
tentukan kadar yang tidak boleh dilanggar, agar tidak terjadi permusuhan.
Syariat menetapkan penggantinya dengan sesuatu yang paling dekat dengan susu
(yaitu kurma -peny), karena keduanya merupakan makanan pokok kala itu.
Hukum-hukum seperti ini banyak sekali padanannya dalam syariat Islam, seperti
dalam hal ganti rugi tindak pidana melukai tubuh (muwaddihah). Penggantiannya
ditentukan syariat walaupun berbeda besar atau kecil luka tersebut. Begitu pula
membunuh janin di perut walaupun berbeda kondisinya. Hikmah di balik itu semua
adalah menghindari pertikaian.
Ketiga, pendapat kalangan Hanafiah. Mereka berbeda
pendapat pada inti permasalahan, mereka mengatakan bahwa barang yang dijual
tidak boleh dikembalikan hanya karena ada cacat tashriah dan tidak wajib
mengembalikan satu sha' kurma. Mereka menyatakan keberatan tentang keabsahan
hadits ini dengan berbagai alasan. Di antaranya dengan cara mencela sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut, menganggap hadits tersebut mudthtarib
(tidak konsisten), hadits tersebut mansukh (terhapus) dan hadits tersebut
bertentangan dengan firman Allah,
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا
عُوقِبْتُمْ بِهِ}
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu." (QS. An-Nahl:
126)
Akan tetapi, semua alasan tersebut tertolak. Dan mereka juga
mengatakan hadits tersebut melanggar qiyas ushul, jika ditinjau dari
berbagai aspek, di antaranya:
Aspek Pertama; Dari sisi air susu yang terpakai, bila
hal tersebut ada pada saat akad jual beli, maka ia adalah bentuk kekurangan dari
barang dagangan, sehingga tidak perlu dikembalikan, dan bila hal tersebut
terjadi setelah berada di tangan pembeli, maka bukan menjadi tanggung jawab
penjual. Pernyataan ini dapat disanggah dengan alasan:
· Pertama, hadits
tersebut adalah dalil asal yang berdiri sendiri dan tidak dapat dikatakan bahwa
Ia menyelisihi qiyas ushul.
· Kedua, Bahwa
kekurangan dapat alasan untuk tidak dibolehkannya mengembalikan barang yang
telah dijual, apabila bukan dipergunakan untuk mengetahui adanya aib. Di sini
digunakan untuk mengetahui aib sehingga tidak terlarang.
Aspek Kedua, dari sisi penentuan hak pilihan selama
tiga hari, padahal hak memilih karena adanya aib (khiyar aib), hak memilih saat
penjual dan pembeli masih di tempat transaksi (khiyar majlis) dan hak memilih
karena berubah pikiran (khiyar ru'yah) sama sekali tidak ditetapkan dengan tiga
hari. Pernyataan ini disanggah dengan argumentasi, bahwa masalah musharrah
merupakan kasus khusus yang disebutkan bilangan harinya, karena secara umum
hukum tashriyah tidak diketahui, berbeda halnya dengan masalah lainnya.
Aspek Ketiga, dari sisi kewajiban barang jaminan
walaupun air susu tersebut masih ada. Pernyataan ini dibantah dengan argumen
bahwa dalam hal ini tidak ada bentuk yang lain [berbeda] karena telah tercampur
dengan air susu yang baru. Sehingga, tidak dapat dikem-balikan dalam jenis yang
sama karena telah bercampur. Maka, dalam hal ini jaminan yang berlaku seperti
halnya pada jaminan hamba yang dirampas dan kabur.
Aspek Keempat, dari sisi kewajiban mengembalikan
walaupun tidak ada cacat. Karena, bila berkurangnya air susu dianggap adanya
cacat, maka harus dikembalikan juga pada kasus lain walaupun bukan masalah
tashriyah tanpa perlu ada syarat sebelumnya, karena tidak mensyaratkan untuk
dikembalikan. Penulis menanggapi pendapat ini dengan argumen bahwa hal tersebut
merupakan hukum khiyar syarat jika dilihat dari sisi makna, karena saat pembeli
melihat tetek hewan tersebut penuh terisi susu seakan-akan penjual mensyaratkan
hal tersebut sebagai kebiasaannya. Masalah seperti ini sering sekali kita
dijumpai, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bab menghadang kafilah
pedagang.
Bila Anda dapat mengetahui adanya kelemahan kedua pendapat
tersebut, maka Anda dapat menyimpulkan bahwa pendapat yang kuat ialah pendapat
pertama. Anda tentu mengetahui bahwa hadits di atas adalah dalil yang
menunjukkan larangan berbuat curang [menipu], dan hukum khiyar bagi orang yang
merasa tertipu. Dalam hadits tersebut juga disebutkan bahwa penipuan tidak
merusak akad jual beli.
Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan larangan untuk
melakukan tashriyah dan adanya hak pilih. Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud secara marfu',
«بَيْعُ الْمُحَفَّلَاتِ خِلَابَةٌ وَلَا تَحِلُّ
الْخِلَابَةُ لِمُسْلِمٍ»
"Jual beli muhaffalah adalah bentuk jual beli yang
mengandung unsur menipu [curang], sedangkan seorang muslim dilarang menipu
[berbuat curang].” [Dhaif: Ibni Majah
(2281)]
Akan tetapi, dalam sanad hadits ini terdapat kelemahan.
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, hadits ini diriwayatkan secara marfu'
dengan sanad yang shahih. [Al-Mushannaf
(4/339)]
Yang dimaksud dengan al-muhaffalah adalah hewan yang
tidak diperah susunya agar air susunya banyak dan teteknya terlihat besar -untuk
menunjukkan bahwa air susunya banyak- sehingga ketika dijual pembeli mengira
bahwa hewan itu dapat menghasilkan susu yang banyak.