Laman

Rabu, 03 Mei 2017

Wadiah Syariah vs Wadiah Bank Syariah

Hasil gambar untuk muslim.or.id twitter


Nasehat Muslim

Semua orang seolah tidak lagi memiliki pelarian untuk keamanan hartanya selain di tabung di bank. Bagi kalangan yang anti pati dengan bank konvensional, mereka lebih memilih bank syariah. Dengan produk wadiah-nya bank syariah siap menampung dana masyarakat dengan keuntungan bagi hasil sebagai ganti dari bunga ada di bank konvensional. 
Sebagai masyarakat, tentu anda bertanya-tanya apa perbedaan antara tabungan (account) dalam perbankan konvensional dari wadiah dalam perbankan syariah. 

Antara Tabungan (account) dan Wadi’ah

Untuk memudahkan anda mengenali keduanya, berikut beberapa sumber yang bisa dijadikan acuan: Dalam penjelasan undang-undang perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.” Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu fiqih. 

Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.” (3/284)
Imam As Syairazy berkata: “Wadi’ah selama berada di tangan penerima wadi’ah (titipan), berstatus sebagai amanah. Konsekwensinya, bila terjadi kerusakan tanpa ada kesengajaan, maka ia tidak wajib menggantinya.” (Al Muhazzab oleh As Syairazy 1/359)

Penegasan As Syairazy ini selaras dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut: 
من أودع وديعة فلا ضمان عليه
“Barang siapa yang dititipi suatu barang, maka ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi padanya.” (Ibnu Majah dan lainnya)

Disamping itu, secara logika, dalam transaksi penitipan barang (wadi'ah), pemilik barang mendapatkan keuntungan dari akad wadi’ah. Sedangkan penerima titipan, merupakan pihak yang beramal shaleh dengan memberi jasa baik untuk dititipi barang. Karena itu, tidak selayaknya bila diwajibkan untuk menanggung kerusakan. Bahkan lebih jauh As Syairazy menekankan, andaipun terjadi kesepakatan yang mengharuskan penerima titipan menanggung kerusakan, maka kesepakatan ini tidak sah dan tidak mengikat.

Wadiah dalam Praktek Perbankan Syariah

Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan 'bagi hasil'.

Jika kita bandingkan, menabung di perbankan konvensional, paling sedikit anda mendapatkan dua 'keuntungan': Pertama, dana anda aman dan kedua, bunga tabungan yang anda dapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang anda dapatkan setiap bulan, sesuai dengan suku bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep transaksi ini, secara sederhana anda bisa menangkap adanya kemiripan antara konsep wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional. 

Untuk lebih mengenal perbedaan antara wadi'ah (titipan) syari’at dengan wadi’ah menurut perbankan syariah, saya mengajak anda untuk mencermati perbandingan berikut:

Wadi'ah Syariah (WS)
Wadi’ah Perbankan (WB)

WS: Penerima titipan (wadi’ah), tidak dibenarkan untuk menggunakan uang yang disimpankan kepadanya, kecuali atas seizin pemilik uang. Bila ia menggunakannya maka ia telah berkhianat, dan bila terjadi kehilangan ia berkewajiban menanggungnya.
WB: Penerima wadi’ah (pihak Bank syariah) sepenuhnya dibenarkan untuk menggunakan uang titipannya, baik dengan dibelanjakan atau diutangkan kembali kepada orang lain.
WS: Kerusakan yang tidak disengaja, atau tanpa ada kelalaian dari penerima titipan, tidak menjadi bertanggung jawab penerima titipan untuk menggantinya .
WB: Bila uang atau barang rusak atau hilang, setelah akad wadi’ah, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab (bank), walau semuanya terjadi tanpa kesengajaan.
WS: Pemilik uang tidak mendapatkan imbalan atau bonus apapun.
WB: Pemilik uang (nasabah) mendapatkan bonus, yang diistilahkan 'bagi hasil'
WS: Bila penerima wadi’ah memungut upah dari pemilik uang atau barang, otomatis akadnya berubah menjadi akad sewa-menyewa atau jual-beli jasa penitipan. Dan tentu konsekwensi hukumnya turut berubah.
WB: Bank dibenarkan memungut upah (uang administrasi) atas dana nasabahnya.
WS: Kepemilikan barang tidak pernah berpindah tangan menjadi milik penyimpan. Dan wewenang penerima wadi’ah terbatas.
WB: Dana nasabah yang disetorkan ke bank, secara otomatis menjadi milik bank, karenanya mutlak berwenang mutlak untuk mengelolanya.

Dengan mencermati perbedaan di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari [arab: الحساب الجاري] atau yang secara bahasa bermakna account.

Kesimpulannya, apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatn maka itu adalah riba” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)

Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah di negri kita.

Penjelasan dia atas adalah ringkasan dari artikel yang ditulis Ust. Dr. Muhamad Arifin Baderi. 

Lihat : https://www.facebook.com/pengusahamuslim/posts/10150606924910560









Nasehat Muslim : 
www.nasehat-muslim.blogpsot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar