Nasehat Muslim
Ketahuilah bahwa hikmah disyariatkannya jual beli adalah
sebagaimana disebutkan oleh penulis dalam kitab Fath
Al-Bari, bahwa acapkali kebutuhan manusia bergantung pada apa yang
ada di tangan orang lain, sedangkan orang itu terkadang tidak rela
memberikannya. Pada pensyariatan jual beli terdapat media untuk
memiliki apa yang diinginkan tanpa harus bersusah payah. Penulis menyebutkan bab
ini dalam bentuk jamak (Kitab Al-Buyu') untuk menunjukkan bahwa jual beli
itu ada bermacam-macam jenisnya. Ia berjumlah delapan jenis.
Lafazh jual dan beli (Bai’ wa Syiraa'),
masing-masing
dari kedua kata itu dipakai untuk makna yang sama. Keduanya merupakan Alfaazh Musytarakah (lafazh yang saling berkaitan).
Hakikat penjualan dalam tinjauan etimologi (bahasa) berarti sebuah
proses memindahkan hak memiliki suatu harta dengan harta lainnya. Sedangkan
syariat Islam menambahkan persyaratan saling rela (taraadhi). Ada yang
mengatakan ia adalah proses serah terima dua jenis harta di luar sedekah,
sehingga keluar dari definisi ini proses saling memberi (dengan sukarela). Dan
ada juga yang mengatakan ia adalah proses tukar menukar suatu harta dengan yang
lain bukan dalam rangka sedekah, sehingga termasuk di dalam definisi ini proses
saling memberi (dengan sukarela). Dalil disyaratkannya serah terima (dalam proses jual beli), adalah firman Allah Ta'ala: "Jual beli
atas saling rela" (QS. An-Nisaa': 29). Ibnu Hibban dan Ibnu
Majah mengeluarkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam,
«إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ»
"Sesungguhnya jual beli itu atas prinsip
saling rela."
Dan dikarenakan perasaan rela merupakan perkara tersembunyi
yang tidak kasat mata, maka ia wajib dikaitkan dengan suatu media konkrit yang dapat mewakilinya dan dalam hal ini adalah Shighah
(ijab kabul). Dan shigah ini harus berupa
ungkapan yang pasti agar dapat diketahui bahwa yang mengungkapkan benar-benar
rela.
Dikecualikan dari persyaratan ini
barang-barang yang tidak terlalu berharga, hal itu dikarenakan sudah menjadi
tradisi umat Islam untuk melakukan proses jual beli pada
barang-barang itu dengan tanpa shigah (ijab kabul). Ini menurut
Jumhur Ulama. Sedangkan Asy-Syafi'iyah
(pengikut madzhab Imam Asy-Syafi'i) berpendapat hal
itu tetap harus menggunakan shigah (ungkapan ijab kabul) sama seperti
yang lainnya. Imam An-Nawawi dan mayoritas ulama
Asy-Syafi'iyah yang Mutaakhir, berpendapat tidak disyaratkan akad
dalam barang-barang yang tidak terlalu berharga. Di antara barang yang tidak
terlalu berharga adalah barang yang nilainya kurang dari seperempat Mitsqal.
Ada yang mengatakan ia adalah sayuran, kurma dan roti dalam jumlah kecil.
Ada juga yang mengatakan ia adalah barang yang nilainya kurang dari nishab (batas minimun dihukumnya orang
yang melakukan) pencurian. Yang paling serupa adalah mengikuti kebiasaan.
Dan faktanya memang tidak ada dalil yang mempersyaratkan ijab qabul
(serah terima). Justru hakikat jual beli adalah tukar menukar yang terjadi
atas dasar saling rela, sebagaimana dinyatakan oleh ayat dan hadits.
Memang perasaan rela adalah perkara yang
tersembunyi yang bisa diketahui berdasarkan faktor-faktor yang menyertainya, di
antaranya ijab qabul. Tetapi tidak hanya sebatas itu saja. Bahkan proses
jual beli itu pun sah terjadi dengan senangnya jiwa terhadap barang dan rela
menukarnya dengan harga yang sesuai, walau dengan lafazh apapun. Begitulah
orang-orang melakukan transaksi, baik zaman dahulu maupun sekarang. Kecuali
orang yang mengetahui madzhab dan takut melanggar keputusan hakim dalam masalah
jual beli, maka dia akan berpendapat perlu adanya ijab qabul.
Lihat:
Subulussalam syarah Bulughul Maram
Nasehat Muslim : www.nasehat-muslim.blogpsot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar