وَأَخْرَجَ
الشَّيْخَانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ
إلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ»
1467. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Dua kalimat yang dicintai oleh Dzat Yang Maha pengasih, mudah
diucapkan dan berat di timbangan: subhaanallah wa bihamdihi (Maha Suci Allah
dan segala puji bagi-Nya) dan subhaanallaahil 'azhiim (MaHa suci Allah
dan Maha Agung).
[Shahih: Al Bukhari 6406 dan Muslim
2694]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
bersabda, "Dua kalimat yang dicintai oleh Dzat Yang Maha pengasih, mudah
diucapkan dan berat di timbangan: subhaanallah wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan
segala puji bagi-Nya) dan subhaanallaahil 'azhiim (Maha suci Allah dan Maha
Agung)."
Hadits ini adalah hadits terakhir yang
dicantumkan Al-Bukhari dalam Kitab Shahih-nya. Kemudian setelah itu, sekelompok
para imam mengikuti beliau dengan cara mencantumkan hadits ini sebagai penutup
kitab-kitab mereka.
Sabda beliau, "Dua kalimat," susunannya sama seperti
kalimat syahadat, yakni posisinya sebagai khabar muqaddam (khabarnya
lebih dahulu disebutkan dari pada mubtada'-nya).
Sabda beliau: (subhaanallah... hingga akhir) posisinya
sebagai mubtada' muakkhar dan ini sah dilakukan walaupun sudah berupa
kalimat, karena maknanya sama seperti makna satu lafazh. Adapun khabar
dikedepankan untuk menarik perhatian si pendengar agar ia mau menunggu isi dari
mubtada' tersebut. Terlebih lagi sebelum penyebutan mubtada' telah disebutkan
terlebih dahulu beberapa sifat-sifat mubtada'nya.
Al-habiibah artinya al-mahbuub yakni yang dicintai
Allah Ta'ala. Khafiifah atas timbangan faailah artinya
faa’ilah, tsaqiilah dan fa'iilah artinya juga
faa'ilah. Ath-Thibbi berkata, "Khiffah yang artinya ringan adalah
sebuah ungkapan yang artinya mudah disebut oleh lisan, sebagaimana seorang yang
sedang mengangkat barang-barang ringan yang tidak membuatnya letih seperti kalau
ia mengangkat benda yang berat.
Tafsir Hadits
Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa setiap hukum-hukum yang
berat dilaksanakan oleh manusia maka pahala dan timbangannya nanti juga akan
berat. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang tercantum dalam hadits, walaupun ringan
untuk dilaksanakan, namun berat timbangannya.
Sebagian ulama salaf ditanya tentang sebab yang akan
memberatkan timbangan kebaikan dan akan meringankan timbangan kesalahan, mereka
menjawab, "Yang menyebabkan beratnya timbangan kebaikan yakni di saat seseorang
merasa pahit untuk melakukannya dan rasa manis ketika mengerjakan amalan
tersebut telah hilang. Sehingga perasaan berat itu akan mendorongmu untuk.
meninggalkan amalan tersebut. Yang menyebabkan ringannya timbangan kejelekan
yakni di saat seseorang merasa manis untuk melakukannya dan rasa pahit ketika
mengerjakan perbuatan jelek tersebut telah hilang. Sehingga perasaan ringan dan
mudah itu akan mendorongmu untuk melakukan kejelekan tersebut.
Hadits ini menunjukkan adanya timbangan amalan sebagaimana
hal itu juga dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Para ulama berselisih pendapat
tentang objek yang ditimbang. Ada yang mengatakan bahwa yang ditimbang adalah
lembaran-lembaran amalan. Sebab amalan merupakan benda yang abstrak, tidak
mungkin untuk ditimbang berat dan ringannya, sebagaimana hadits yang menyebutkan
tentang catatan-catatan amalan dan bithaqah tauhid yang
ditimbang. Para ahli hadits dan muhaqqiq berpendapat bahwa yang ditimbang adalah
amalan itu sendiri dan amalan tersebut akan menjadi sesuatu yang kongkrit di
hari akhirat kelak. Dalilnya berdasarkan hadits Jabir, Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
«تُوضَعُ
الْمَوَازِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ
ثَقُلَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ،
وَمَنْ ثَقُلَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ
قِيلَ لَهُ: فَمَنْ اسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُ وَسَيِّئَاتُهُ قَالَ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ الْأَعْرَافِ»
"Akan diletakkan timbangan di hari kiamat nanti untuk
menimbang semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa timbangan kebaikannya lebih
berat satu biji sawi dari pada keburukannya maka orang ini akan masuk ke dalam
surga dan jika ternyata keburukanya lebih berat satu biji sawi dibandingkan
kebaikannya maka ia akan masuk ke dalam neraka." Ada yang bertanya,
"Bagaimana jika kebaikan dan keburukan itu sama beratnya?" Beliau menjawab,
"Mereka itulah yang disebut dengan ashaabul a'raaf." ‘
Hadits diriwayatkan oleh Khaitsamah dalam Kitabnya Majma'
Al-Fawaaid. Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Kitabnya Az-Zuhd dari
Abdullah bin Mas'ud dengan sanad yang marfu'.
Secara tekstual, hadits shahih ini menunjukkan bahwa semua
amalan anak Adam akan ditimbang tanpa terkecuali. Ada juga yang berpendapat
timbangan tersebut khusus untuk orang-orang mukmin yang memiliki banyak kebaikan
dan tidak memiliki keburukan sehingga mereka masuk ke dalam surga dengan tidak
dihisab lagi, sebagaimana yang tertera dalam hadits tujuh puluh orang yang masuk
surga tanpa hisab.
Demikian juga adanya pengecualian bagi orang-orang kafir yang
tidak memiliki kebaikan dan tidak juga memiliki dosa selain dosa kafir, karena
mereka akan masuk ke dalam neraka dengan tanpa hisab dan tidak ada penimbangan
amalan.
Al-Qurthubi menukil dari sebagian ulama dan berkata, "Orang
yang kafir tidak memiliki pahala dan kebaikan sama sekali, sehingga tidak ada
yang harus diletakkan di daun timbangan. Allah Ta'ala berfirman,
{فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَزْنًا}
"Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan)
mereka pada hari kiamat." (QS. Al-Kahfi: 105)
Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang
tercantum dalam kitab Shahih bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda,
«الْكَافِرُ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ
بَعُوضَةٍ»
"Di sisi Allah, orang kafir itu tidak lebih berat dari
pada sehelai sayap nyamuk.” [shahih, Al-Bukhari (4729)
dan Muslim (2785)]
Dijawab, bahwa hadits ini bermakna majaz yang menunjukkan
kehinaan diri orang kafir, bukan berarti ia tidak punya berat sama sekali.
Pendapat yang benar adalah sebagai berikut:
Amalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir akan dihisab
untuk dua hal:
1.
Bahwa kekafirannya akan diletakkan di
daun timbangan, sementara di daun timbangan lain kosong tidak terdapat apa-apa,
karena semua kebaikan yang dilakukan orang kafir akan terhapus dikarenakan
kekafirannya. Jadi, nilainya seperti seorang yang tidak pernah melakukan
kebaikan sama sekali. Al-Qurthubi berkata, "Demikian juga makna zhahir yang
tercantum dalam firman Allah Ta'ala,
{وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ
الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ}
"Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka
itulah orang-orang yang, merugikan dirinya sendiri...” (QS. Al-'Araf: 9 ,
dan Al-Mukminuun: 103)
Ayat ini mengisyaratkan ringannya timbangan orang-orang
kafir.
2.
Bisa jadi semasa hidupnya si kafir ini
pernah memerdekakan hamba sahaya, berbuat baik, menyambung tali silaturahmi dan
berbagai macam kebaikan lainnya yang berkaitan dengan harta. Seandainya ia
adalah seorang mukmin, niscaya itu semua akan menjadi pemberat timbangan
kebaikannya. Siapa saja yang memiliki kebaikan, maka semua kebaikan tersebut
akan dikumpulkan dan akan diletakkan di daun timbangan, kecuali orang kafir.
Apabila orang kafir mengimbangi kekafirannya dengan melakukan kebaikan, maka
kebaikan tersebut akan menambah berat timbangan kebaikannya. Boleh jadi
perbuatan-perbuatan buruk tersebut akan ditimbang, seperti perbuatan zhalim,
mengambil harta orang lain, merampok dan lain-lain. Apabila perbuatan buruknya
sama beratnya dengan amalan kebaikannya, maka orang tersebut mendapat azab
karena kekafirannya. Jika ternyata keburukannya lebih berat dari kebaikannya
maka selain mendapat siksaan karena ia kafir, ia juga akan mendapat siksa dari
keburukan yang ia lakukan. Dan apabila kebaikannya lebih berat dari
keburukannya, maka siksaan yang ia dapati karena kekafiran akan diringankan.
Sebagaimana yang tercantum dalam hadits tentang Abu Thalib bahwa ia berada di
air yang dangkal di dalam neraka.