وَعَنْ بَهْزِ
بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «وَيْلٌ لِلَّذِي
يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ»
أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ، وَإِسْنَادُهُ قَوِيٌّ
1416. Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya
Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta supaya orang-orang yang
mendengarnya tertawa. Celakalah atas mereka kemudian celakalah atas mereka!"
(HR. Ats-Tsalasah dengan sanad yang kuat)
[hasan, Dawud
(4990)]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل
السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari
kakeknya Radhiyallahu Anhu (Mu'awiyah bin Haidah sebagaimana yang pernah
disinggung) bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta supaya orang-orang
yang mendengarnya tertawa. Celakalah atas mereka kemudian celakalah atas
mereka!" Diriwayatkan oleh imam yang tiga dengan sanad yang kuat
(Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dan dihasankan oleh At-Tirmidzi)
Al-wail artinya halaak (celaka) dirafa'kan
karena posisinya sebagai mubtada' dan khabarnya adalah jar majrur. Boleh
juga mubtada'nya dinakirahkan karena sama seperti kalimat salaamun
'alaikum. Banyak hadits-hadits lain yang mengharamkan dusta secara mutlak
seperti hadits yang akan datang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
«إيَّاكُمْ، وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إلَى الْفُجُورِ، وَالْفُجُورَ يَهْدِي إلَى النَّارِ»
"Dan jauhilah perkataan dusta, karena dusta dapat menyeret
kepada kejahatan dan kejahatan dapat menyeret pelakunya ke neraka."
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya,
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«إيَّاكُمْ، وَالْكَذِبَ، فَإِنَّهُ مَعَ
الْفُجُورِ وَهُمَا فِي النَّارِ»
"Jauhilah perkataan dusta karena perkataan dusta itu
seiring dengan perbuatan jahat dan keduanya tempatnya di neraka."
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan hadits yang sama.
Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu Luhai'ah:
«مَا عَمَلُ أَهْلُ النَّارِ؟ قَالَ الْكَذِبُ،
فَإِنَّ الْعَبْدَ إذَا كَذَبَ فَجَرَ، وَإِذَا فَجَرَ كَفَرَ، وَإِذَا كَفَرَ
دَخَلَ النَّارَ»
"Apakah amalan penduduk neraka?" Beliau Shallallahu Alaihi wa
Sallam menjawab, "(Amalan penduduk neraka) adalah berkata dusta,-jika ia
berdusta maka akan diiringi dengan perbuatan jahat Jika ia berbuat jahat maka
akan membuatnya menjadi kafir dan apabila ia kafir maka ia akan masuk ke dalam
neraka.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam sebuah hadits yang cukup
panjang tentang mimpi yang dilihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Di
antaranya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«رَأَيْت اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي قَالَا
لِي الَّذِي رَأَيْته يَشُقُّ شَدْقَهُ فَكَذَّابٌ يَكْذِبُ الْكَذِبَةَ تُحْمَلُ
عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ»
"Pada suatu malam aku dibawa oleh dua orang laki-laki yang
telah mendatangi aku dan keduanya berkata, "Lelaki yang kamu lihat mulutnya
robek itu adalah seorang pendusta. Ia berdusta dan dustanya tersebut dibawa
hingga mencapai ufuq.”
Banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan tentang masalah
ini.
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan haramnya berkata dusta hanya untuk
membuat orang lain tertawa. Ini adalah larangan yang bersifat khusus dan hukum
mendengarkannya juga haram apabila ia mengetahui bahwa orang tersebut berdusta.
Karena sikap ini termasuk mendiamkan kemungkaran. Bahkan ia wajib untuk
mengingkari perbuatan tersebut atau paling tidak ia harus beranjak dari tempat
itu karena dusta termasuk salah satu perbuatan dosa besar.
Ar-Rauyani dari kalangan ulama yang bermadzhab Asy-Syafi'i
berkata, "Dusta termasuk salah satu perbuatan dosa besar. Barangsiapa dengan
sengaja berdusta, maka persaksiannya tidak akan diterima walaupun dustanya itu
tidak berbahaya bagi orang lain. Karena bagaimanapun kondisinya, dusta itu tetap
diharamkan."
Al-Mahdi berkata, "Dusta tidak termasuk salah satu perbuatan
dosa besar."
Saya katakan, "Penetapan secara umum bahwa dusta bukan
termasuk salah satu perbuatan dosa besar merupakan pendapat yang kurang tepat.
Sebab berdusta atas Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau memudharatkan
seorang muslim atau memudharatkan orang kafir mu'ahad merupakan dosa besar.
Di dalam kitab Al-lhya', Al-Ghazali membagi hukum dusta
kepada wajib, mubah dan haram. Apabila sebuah niat yang baik dapat dicapai
dengan dua cara, yakni dengan cara yang jujur dan dengan cara dusta maka
menggunakan cara dusta hukumnya adalah haram. Jika tidak ada cara lain selain
berdusta maka hukumnya, boleh apabila tujuan tersebut hukumnya boleh. Namun,
apabila tujuan itu hukumnya wajib maka berdusta hukumnya juga wajib, misalnya:
dengan berdusta dapat menyelamatkan jiwa seseorang. Atau khawatir terhadap benda
titipan orang dari jamahan penguasa yang zhalim, maka wajib hukumnya untuk
mengatakan tidak tahu dan bersumpah walaupun dusta. Apabila target peperangan
tidak akan tercapai kecuali dengan cara berdusta, atau tidak ada cara lain untuk
mendamaikan dua orang yang bersengketa atau untuk menarik hati pelaku jahat
kecuali dengan cara berdusta, maka dusta di sini hukumnya mubah. Demikian juga
jika seseorang melakukan perbuatan zina, atau minum khamar lantas penguasa
menanyakan hal itu kepadanya maka ia boleh menjawab, "Aku tidak
melakukannya."
Kemudian ia juga berkata, "Dalam kasus seperti ini selayaknya
dipertimbangkan mana mudharat yang lebih besar antara bersikap jujur dan
berdusta. Apabila dengan bersikap jujur akan menimbulkan mudharat yang lebih
besar, maka ia boleh berkata dusta. Namun, apabila sebaliknya atau ada keraguan
mana mudharat yang lebih besar, maka haram hukumnya berkata dusta. Apabila kasus
tersebut berkaitan dengan dirinya sendiri, maka sebaiknya ia berkata jujur.
Apabila hal ini berkaitan dengan orang lain, maka tidak baik jika ia bersikap
toleran terhadap hak orang lain dan sikap yang bijak adalah tidak berbohong
selagi hal itu dibolehkan.
Ketahuilah bahwa para ulama telah sepakat bolehnya berbohong
pada tiga hal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.
Ibnu Syihab berkata, "Aku tidak pernah mendengar adanya dispensasi dalam
perkataan dusta, kecuali pada tiga hal: ketika berperang, untuk mendamaikan dua
orang yang sedang bersengketa, pembicaraan seorang suami dengan isterinya dan
pembicaraan isteri terhadap suaminya."
Iyadh berkata, "Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama tentang tiga hal ini." Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari An- Nawas bin
Sam'an dengan sanad yang marfu', Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
bersabda,
«الْكَذِبُ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إلَّا فِي
ثَلَاثٍ: الرَّجُلُ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ لِيُصْلَحَ بَيْنَهُمَا،
وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا بِذَلِكَ، وَالْكَذِبُ فِي
الْحَرْبِ»
"(Dosa) dusta dituliskan pada anak Adam kecuali dalam tiga
hal: 1) Seorang yang sedang mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa. 2)
Seorang suami yang berbicara dengan isterinya untuk menyenangkan hati isterinya.
3) Dan dusta yang dilakukan di medan pertempuran."
Ketahuilah bahwa ketiga hal di atas dibolehkan demi untuk
meraih persatuan dan untuk mencapai kemaslahatan. Perhatikan bagaimana hikmah
dan kecintaan Allah terhadap persatuan hati sehingga Dia mengharamkan
namimah (adu domba) walaupun isi namimah itu benar. Sebab
perbuatan namimah akan merusak hati, menimbulkan permusuhan dan persengketaan.
Allah membolehkan dusta walaupun hukum asalnya adalah haram untuk menyatukan
hati, menumbuhkan kecintaan dan memberantas permusuhan