Laman

Minggu, 08 Januari 2017

Kitab Thaharah Subulussalam Syarah Bulughul Maram

Hasil gambar untuk muslimah.or,id


Nasehat Muslim

01. KITAB THAHARAH 

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penulis memulainya dengan pembahasan thaharah (bersuci) mengikuti contoh para penulis dalam hal tersebut, dan mendahulukan urusan agama atas apa yang lainnya serta sebagai perhatian terhadap urusan yang paling penting yaitu shalat, karena thaharah merupakan salah satu syarat sahnya shalat sehingga harus dimulai darinya.
Hakikatnya adalah, orang-orang yang bersuci menggunakan air dan tanah –atau salah satunya- atas sifat yang disyariatkan dalam menghilangkan najis dan hadats. karena seorang fakih (ahli fikih) hanyalah membahas kondisi perbuatan mukallaf berupa wajib dan yang lainnya.
Mengingat air merupakan unsur terpenting dalam bersuci, maka ia pun mendahulukan untuk menerangkan hukum-hukumnya.

01.01. BAB AIR 
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Air adalah nama jenis yang berlaku bagi yang sedikit maupun yang banyak. Disebutkan dengan bentuk jamaknya lantaran perbedaan jenisnya menurut hukum syari’at, karena ada yang dilarang menggunakannya dan ada yang makruh. juga lantaran adanya perbedaan pada sebagian air seperti air laut, karena pensyarah menukil perbedaan mengenai bersuci dengannya dari Ibnu Umar dan Ibnu Amr. Dalam kitab An Nihayah disebutkan bahwa air laut itu dapat mensucikan, terjadi perbedaan pendapat pada sebagian generasi pertama. Terjadinya perbedaan pendapat sejak dahulu pada masalah ini, sepertinya membuat penulis memulai dengan hadits yang menunjukkan kesuciannya, dan hadits tersebut yang dijadikan hujjah oleh jumhur ulama, ia berkata:

0001 
١- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ» أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَاللَّفْظُ لَهُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ، [وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ]
1. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda tentang laut, ”Airnya suci dan bangkainya halal.’ (Dikeluarkan oleh Imam yang empat dan Ibnu Abu Syaibah, lafazh tersebut miliknya, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan At Tirmidzi)
[Shahih: Shahihul Jami’ 7048]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abu Hurairah RA adalah Abdurrahman bin Shakhr, menurut pendapat Muhammad bin Ishaq dan Al Hakim Abu Ahmad. Ia meninggal dunia di Madinah pada tahun 59 H, dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di Baqi, menurut salah satu pendapat.
Penjelasan Kalimat
Rasulullah SAW bersabda tentang laut (maksudnya: mengenai hukumnya) airnya suci (Ath-Thahur adalah nama bagi yang dapat digunakan bersuci, atau suci dan dapat mensucikan, sebagaimana dalam Al Qamus. Sedang menurut istilah Syara’, yaitu nama bagi yang dapat menyucikan) halal bangkainya.
Dikeluarkan oleh imam yang empat dan Ibnu Abi Syaibah (yaitu Abu Bakar. Mengenai dirinya, Adz Dzahabi berkata: ‘Seorang hafizh yang tidak ada tandingannya dan terbukti kecerdikannya adalah Abdullah bin Muhammad bin Abu Syaibah. Penulis Al Musnad, Mushannaf dan yang lainnya, termasuk Syaikh (guru) Al Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dishahihkan pula oleh Ibnu Khuzaimah. Adz Dzahabi berkata: “Hafizh besar, imam para imam, Syaikh Islam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, dialah imam yang paling tinggi dan paling banyak hafalannya pada masanya di Khurasan. Dan juga dishahihkan oleh At Tirmidzi, setelah menyebutkannya ia berkata: “Hadits ini hasan shahih, dan saya telah menanyakan kepada Muhammad bin Isma’il Al Bukhari tentang hadits ini maka ia berkata, “hadits shahih.” Ini ucapan At Tirmidzi sebagai dalam Mukhtashar As Sunan karya Al Hafidz Al Mundziri.
Penulis telah menyebutkan hadits ini dalam At-Talkhis dari sembilan orang shahabat, tetapi tidak ada satu jalan pun yang lepas dari komentar para ulama, tetapi ulama yang saya dengar telah menetapkan keshahihannya. Dan dishahihkan oleh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Mandah, Ibnul Mundzir dan Abu Muhammad Al Baghawi.
Penulis berkata, “Sejumlah hadits yang tidak sampai pada derajat hadits ini dan tidak mendekatinya telah dihukumi shahih.”
Tafsir Hadits
Az Zarqani berkata dalam Syarh Al Muwaththa, “Hadits ini adalah salah satu dasar dari pokok-pokok Islam, telah diterima oleh umat, sangat populer di kalangan ulama fikih di semua negeri, pada setiap masa, dan diriwayatkan oleh para imam besar.” Kemudian ia menyebutkan orang yang meriwayatkan dan menshahihkannya.
Hadits tersebut adalah jawaban dari sebuah pertanyaan, sebagaimana dalam Al Muwaththa’ bahwa Abu Hurairah RA berkata, “Seorang laki-laki datang – dalam Musnad Ahmad dari Bani Mudlaj, dan menurut At Thabrani namanya Abdullah – kepada Rasulullah SAW lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa berlayar di laut dan kami membawa air hanya sedikit, jika kami menggunakannya berwudhu maka kami akan kehausan, bolehkan kami berwudhu  dengannya? –dalam lafazh Abu Daud –dengan air laut-? Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Ia (air laut) itu suci.” Beliau SAW menerangkan bahwa air laut itu suci dan dapat menyucikan, tidak keluar dari kesucian itu dengan kondisi bagaimana pun, melainkan apa yang diterangkan yaitu jika salah satu dari sifatnya telah berubah. Rasulullah SAW tidak menjawabnya dengan ‘Ya’. Meskipun hal itu sudah dipahami maksudnya, tetapi beliau menjawabnya dengan ucapan tersebut agar hukum tersebut berkumpul dengan illat (sebab)nya, yaitu kesucian yang terbatas dalam babnya.
Contohnya, ketika melihat air laut berbeda dengan air biasa dengan rasanya yang asin dan baunya yang busuk, ia bimbang kalau-kalau air tersebut tidak dimaksudkan oleh firman Allah SWT:
{فَاغْسِلُوا}
Maka basuhlah.....” (QS. Al-Maidah [5]: 6)
Maksudnya dengan air yang sudah jelas yang Allah kehendaki dalam firman-Nya pada ayat sebelumnya.
Atau ketika ia telah mengetahui firman Allah SWT:
{وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا}
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. Al Furqan [25]: 48)
Ia menyangka hal itu berlaku khusus, maka ia pun menanyakannya. Lalu Nabi SAW menerangkan hukum air tersebut kepadanya, dan beliau menambahkan hukum yang tidak ditanyakannya bahwa bangkainya halal.
Ar-Rafi’i berkata: “Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa hal itu samar bagi si penanya mengenai air laut, beliau khawatir kalau ia juga ragu mengenai bangkainya, sementara ia sering berlayar di laut, maka beliau melanjutkan jawabannya dari pertanyaan itu dengan menerangkan hukum bangkainya.
Ibnu Al Arabi berkata: “Yang demikian itu adalah hal yang dipandang baik dalam memberikan fatwa, yaitu dengan memberikan jawaban lebih banyak dari yang di atasnya, dalam rangka menyempurnakan faedah dan menerangkan ilmu lainnya yang tidak ditanyakan.” Dan hal itu lebih dipertegas lagi manakala jelas adanya kebutuhan mendesak terhadap hukum. Sebagaimana disebutkan di sini, bahwa seorang yang tidak mengetahui kesucian air laut, tentu lebih tidak mengetahui kehalalan bangkainya, meski hal itu lebih utama.
Yang dimaksud dengan bangkai air laut adalah binatang laut yang mati di dalamnya. Yakni binatang yang hanya bisa hidup di laut, tidak berarti setiap binatang yang mati di dalamnya secara mutlak. Karena meskipun secara bahasa memang benar bangkai laut, akan tetapi sudah maklum bahwa yang dimaksud adalah yang telah kami sebutkan. Zhahirnya, bahwa halal setiap yang mati di dalamnya, walaupun seperti anjing dan babi. Komentar mengenai halt sebelum akan disebutkan pada babnya. Insya Allah.


0002 

٢ - وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
2. Dan dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya air itu suci tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya. (HR. Imam yang tiga dan dishahihkan Ahmad)
[Shahih: Shahih Al-Jami 1925]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abu Sa’id nama lengkapnya adalah Sa’id bin Malik bin Sinan Al Khazraji Al Anshari. Al Khudri dinisbatkan kepada Khudrah, salah satu suku Anshar sebagaimana dalam Al Qamus.
Adz Dzahabi berkata, “Ia termasuk ulama para shahabat yang menyaksikan Baiat Asy Syajarah. Meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa dalam beberapa waktu.”
Abu Sa’id meninggal pada awal tahun 74 H dalam usia 86 tahun. Banyak meriwayatkan haditsnya. Sekelompok shahabat meriwayatkan hadits darinya. Ia memiliki 84 hadits dalam Ash-Shahihain.
Tafsir Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang tiga, yaitu para penyusun kitab as sunan selain Ibnu Majah, sebagaimana yang sudah diketahui, dan dishahihkan oleh Ahmad. Dalam Mukhtashar As Sunan, Al Hafidz Al Mundziri berkata: “Sesungguhnya sebagian mereka mengomentarinya dan diceritakan dari Imam Ahmad bahwa ia berkata, “Hadits sumur Budha’ah shahih.”
At Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih.” Abu Usamah menganggap baik hadits ini. tidak ada hadits Abu Sa’id mengenai sumur Budha’ah yang lebih baik dari yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalur dari riwayat Abu Sa’id.
Hadits tersebut memiliki sebab, yaitu ketika
«قِيلَ لِرَسُولِ لِلَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهِ الْحَيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ: الْمَاءُ طَهُورٌ»
Rasulullah SAW ditanya, “Apakah kami boleh berwudhu  dari sumur Budha’ah, yaitu sumur tempat membuang kain-kain bekas haidh, bangkai, anjing dan barang-barang busuk? Maka beliau menjawab, “Air itu suci”. Al hadits.
Demikian yang terdapat dalam sunan Abu Daud dan dalam satu lafazh padanya:
[إنَّ الْمَاءَ]
Sesungguhnya air itu...
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis.
Perlu diketahui, bahwa dalam Asy-Syarh penulis telah mengomentarinya panjang lebar, dan menyebutkan pendapat-pendapat mengenai air secara memadai. Dalam membahas masalah air ini, kami akan membatasinya pada hadits-hadits terpenting, mengetahui pengambilan pendapat-pendapat tersebut dan cara pengambilan dalil, maka kami katakan, “Banyak hadits telah diriwayatkan yang dijadikan dalil tentang hukum-hukum air, seperti:
«الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ»
air itu suci dan tidak ada sesuatu yang dapat menjadikannya najis.”
«إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ»
Apabila air itu telah sampai dua qullah, maka tidak mengandung kotoran.
[shahih: Shahih Al-Jami 416]
Dan hadits perintah menuangkan satu timba air pada tempat yang terkena air seni orang Arab Badui di dalam Masjid.
[shahih: shahih Al Bukhari (219, 221) Muslim (284)]
«إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ فَلَا يُدْخِلْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا»
apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka janganlah ia masukkan tanggannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya tiga kali.
[shahih: shahih Al Bukhari (162) Muslim (278)]
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ»
Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang tenang (air yang tidak mengalir) kemudian ia mandi padanya.”
[shahih: shahih Al Bukhari (239, 282)]
«إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ»
Apabila ada anjing menjilat pada bejana salah seorang dari kalian....”
[shahih: shahih Muslim (279)]
Hadits-hadits tersebut semuanya kuat, dan akan disebutkan semuanya pada komentar penulis. Jika hal ini telah Anda ketahui, maka sesungguhnya pendapat-pendapat para ulama berbeda-beda mengenai air jika bercampur dengan najis dan tidak berubah salah satu sifatnya.
Al Qasim, Yahya bin Hamzah dan sekelompok pengikutnya, Malik dan Azh-Zhahariayah berpendapat bahwa aiur itu suci, baik sedikit maupun banyak, berdasarkan hadits, Air itu suci. Hanya saja mereka menghukumi ketidaksucian air jika berubah salah satu sifatnya sebab terkena najis, berdasarkan kesepakatan ulama atas hal tersebut, sebagaimana yang sebentar lagi akan dibahas.
Menurut golongan Al Hadawiyah, Al Hanafiyah dan Asy Syafiiyah mereka membagi air dalam dua kategori, air sedikit yang dapat dirusak oleh najis secara mutlak, dan air yang banyak yang tidak dapat dirusak kecuali jika dapat mengubah salah satu sifat-sifatnya.
Kemudian mereka berbeda pendapat dalam memberikan batasan air sedikit dan air yang banyak:
Al Hadawiyah berpendapat dalam membatasi air yang sedikit, yaitu kondisi air yang terkena najis, ketika orang yang menggunakannya beranggapan bahwa dengan menggunakan air tersebut berarti ia telah menggunakan air najis. Jika si pemakai air tersebut tidak beranggapan demikian berarti dianggap sebagai air yang banyak. Dan selain mereka berpendapat yang berbeda dalam memberikan batasan air yang sedikit di antaranya:
·         Al Hanafiyah berkata: “Batasan air yang banyak adalah air yang apabila seseorang menggerakkan salah satu ujungnya, gerakan tersebut tidak sampai pada ujung lainnya, dan selain itu berarti sedikit.”
·         Sementara Asy-Syafi'iiyah berkata: “Air yang banyak adalah yang sampai dua kullah menurut ukuran kullah bani Hajar, yaitu sekitar 500 liter, berdasarkan hadits tentang air dua kullah, dan jika kurang berarti sedikit.”
Perbedaan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu. Karena hadits tentang bangun tidur dan hadits tentang air tenang menunjukkan bahwa najis yang sedikit membuat najis air yang sedikit, demikian pula tentang air yang dijilat anjing dan perintah menuangkan air yang dijilatnya. Kemudian ditentang oleh hadits orang Badui dan perintah menuangkan satu timba air di atasnya, karena hal itu menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat menajiskan air yang sedikit, dan sudah maklum bahwa tempat yang terkena dengan air seni orang Badui tadi telah disucikan oleh satu timba tersebut, demikian pula sabda beliau, “Air itu suci dan tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu.”
Kelompok pertama, mereka yang berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menajiskannya kecuali yang mengubah salah satu sifatnya. Hadits-hadits tersebut dikumpulkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menajiskannya sebagaimana yang ditunjukkan lafazh ini dan hadits orang Badui. Sedang hadits bangun tidur, air tenang dan yang dijilat anjing tidak disebutkan untuk menjelaskan hukum najisnya air, tetapi perintah untuk menjauhinya sebagai ta’abud bukan karena najis, dan untuk menunjukkan makna yang tidak kita ketahui sebagaimana kita tidak mengetahui hikmah jumlah shalat dan yang lainnya.
Pendapat lain, bahwa larangan dalam hadits-hadits ini hanyalah makruh, tetapi ia suci dan menyucikan.
Asy-Syafi'iyyah memadukan hadits-hadits tadi, bahwa hadits ‘tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya najis’, berlaku untuk air yang sampai dua kullah dan yang lebih dari itu berarti banyak. Sedangkan hadits bangun tidur dan air tenang berlaku untuk air sedikit. Sedangkan menurut Al Hadawiyah, bahwa hadits bangun tidur berlaku sebagai Sunnah, maka tidak wajib mencucinya.
Al Hanafiyah berkata, “Yang dimaksud dengan ’tidak ada sesuatu yang dapat menajiskannya, adalah air banyak yang telah terdahulu pembatasannya, dan mereka mencela hadits dua kullah bahwa hadits tersebut adalah mudhtharib. Demikian pula dianggap cacat oleh Imam Al Mahdi dalam Al Bahr, sebagian mereka menakwilkannya dan hadits-hadits lainnya pada air sedikit.
Akan tetapi diriwayatkan atas mereka hadits air seni orang Badui, karena sesungguhnya hadits tersebut –sebagaimana yang telah Anda ketahui- menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidak dapat merusak air yang sedikit, lalu Asy-Syafi'iyah membantahnya dengan membedakan antara air yang mencampuri najis dengan najis yang mencampuri air, mereka berkata, “Jika najis mencampuri air, maka ia menajiskannya, sebagaimana pada hadits bangun tidur, dan jika air yang mencampuri najis maka tidak merusaknya sebagaimana dalam hadits air seni orang Badui.” Dalam hal ini ada pembahasan yang telah kami teliti pada catatan kaki syarh Umdah dan Dha’untuk An Nahr.
Kesimpulannya yaitu mereka menghukumi bahwa jika najis mengalir pada air yang sedikit dapat membuatnya najis, dan jika air yang mengalir pada najis, maka tidak membuatnya najis. Mereka menjadikan Illat tidak dapatnya air menjadi najis karena mengalir pada benda najis. Namun tidak demikian, bahkan menurut penelitian ketika air mengalir di atas najis ia mengalir di atasnya sedikit demi sedikit hingga benda najis itu hilang dan najis tersebut hilang sebelum musnahnya benda najisnya, maka air yang terakhir mengalir di atas najis mendapati tempat najis  itu telah suci atau masih tersisa bagian yang ada najisnya, namun akan hilang dan lenyap ketika bertemu dengan bagian akhir dari air yang mengalir di atasnya, sebagaimana hancur dan lenyapnya najis yang mengalir di atas air yang banyak menurut ‘ijma. Maka tidak ada perbedaan antara ini dengan air yang banyak dalam menghilangkan najis, karena bagian akhir yang mengalir atas najis dapat menghilangkan bendanya lantaran banyaknya terhadap najis yang masih tersisa, maka Illat tidak najisnya dengan mengalir atasnya adalah karena banyaknya dan bukan karena ia mengalir di atasnya, sebab tidak masuk akal perbedaan antara dua yang mengalir bahwa salah satunya dapat menajiskannya dan yang lain tidak.
Jika Anda telah mengetahui apa yang telah kami terangkan terdahulu, bahwa tidak ada dalil yang tegas dalam pembatasan air banyak dan sedikit, maka pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) dengan memperhatikan dalil adalah pendapat Al Qasim bin Ibrahim dan para pendukungnya, yaitu pendapat sekelompok shahabat sebagaimana dalam Al Bahr, dan dipegangi oleh para imam mutaakhir dan di antara mereka yang memilihnya adalah Imam Syarafuddin.
Ibnu Daqiq Al Id berkata: “Sesungguhnya hal itu adalah pendapat Ahmad bin Hanbal, dan didukung oleh sebagian ulama mutaakhir dari para pengikutnya dan juga ditarjih (dikuatkan) oleh salah seorang pengikut Imam Asy-Syafi'i yaitu Al Qadhi Abul Hasan Ar-Ruyani penulis Bahr Al Mazhab, ia mengungkapkannya dalam Al Iman.”
Dalam Al Muhalla Ibnu Hazm berkata, “Sesungguhnya pendapat itu diriwayatkan dari Aisyah RA Ummul Mukminin, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Maimunah Ummul Mukminin, Abu Hurairah RA, Khuzaifah bin Al Yaman, Al Aswad bin Yazid, Abdurrahman saudaranya, Ibnu Al Musayyib, Ibnu Abi Laila, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad dan Al Hasan Al Bashri serta yang lainnya.



0003 


٣ - وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ، إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ» أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
- وَلِلْبَيْهَقِيِّ «الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ، أَوْ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ»

3. Dari Abu Umamah Al Bahili RA, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada yang dapat menajiskannya kecuali yang merubah bau, rasa dan warnanya.” (HR. Ibnu Majah dan didhaifkan oleh Ibnu Abi Hatim)
[Dhaif: Dhaif Ibnu Majah 527]
Dan bagi Al Baihaqi, “Air itu suci kecuali jika berubah bau, rasa dan warnanya disebabkan najis yang memasukinya.”
[Sunan Al Baihaqi 1/259: Adh-Dhaifah 2644]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abu Umamah, namanya shudai. Al Bahili dinisbatkan kepada Bahilah. Nama ayahnya Ajlan. Abu Umamah pernah tinggal di Mesir kemudian pindah dan tinggal di Himah lalu meninggal di sana pada tahun 81 H, pendapat lain tahun 86 H. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Syam. Termasuk shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
Tafsir Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan didhaifkan oleh Ibnu Abi Hatim. Adz Dzahabi berkata mengenai dirinya, “Abu Hatim adalah Ar-Razi, Imam Hafizh besar Muhammad bin Idris bin al Mundzir al Handzali, salah seorang ulama terkemuka, lahir tahun 195. Beliau menyanjungnya dan berkata, “An Nasa'i berkata, Tsiqah”. Abu Hatim meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun 277 H, dalam usia 82 tahun.
Ia mendha’ifkan hadits tersebut karena berasal dari riwayat Rasyid bin Sa’d. Ibnu Yunus berkata, “Dia adalah orang shalih dalam agamanya, lalu ditimpa kelalaian orang-orang shalih, maka ia rancu dalam haditsnya dan ia matruk.”
Hakikat hadits dhaif adalah yang luput padanya salah satu dari syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Ia memiliki enam sebab yang terkenal, diterangkan dalam Asy-Syarh.
Dan bagi Al Baihaqi, ia adalah seorang Hafizh, allamah dan Syaikh di Khurasan, Abu Bakar Ahmad bin al Husain, ia memiliki karya-karya yang beliau pernah ada yang menyamainya sebelumnya. Ia seorang yang zuhud, wara’ dan bertakwa. Telah mengembara ke Hijaz dan Iraq. Adz Dzahabi berkata, “Karyanya hampir seribu jilid.” Baihaq adalah daerah dekat Naisabur.
Artinya, riwayat dengan lafazh, “Air itu suci kecuali jika berubah bau, rasa atau warnanya”, diathafkan atasnya binjasatin tahdutsu fiihi, huruf ba adalah sababiyah, artinya dengan sebab najis yang masuk ke dalamnya.
Penulis berkata, “sesungguhnya Ad Daruquthni telah berkata, ‘Hadits ini tidak kuat’. Asy-Syafi'i berkata, ‘Saya tidak pernah mengatakan bahwa jika air itu berubah rasa, bau ataupun warnanya adalah najis, dan diriwayatkan dari Nabi SAW dari satu jalur yang para ahli hadits tidak menegaskan sepertinya.’ Dan Imam An Nawawi berkata, ‘Para ulama hadits telah sepakat melemahkannya, maksudnya melemahkan riwayat pengecualian bukan awal hadits, karena telah ditegaskan dalam hadits Sumur Buda’ah, akan tetapi tambahan ini para ulama telah sepakat mengenai hukumnya.’”
Ibnu Al Mundzir berkata, “para ulama telah sepakat bahwa air sedikit dan banyak jika ada najis yang jatuh ke dalamnya lalu mengubah rasa atau warna atau baunya maka air itu najis, maka ijma adalah dalil atas najisnya air yang berubah salah satu sifatnya bukan karena tambahan ini.


0004 

٤-  وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ» وَفِي لَفْظٍ " لَمْ يَنْجُسْ " أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ.
4. Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika air itu dua kullah, maka tidak mengandung kotoran.’
[shahih: shahih Al Jami 416]
Dalam lafazh lain “Tidak mengandung najis.” (HR. Imam yang empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim dan Ibnu Hibban)
[shahih: shahih Al Jami 758]
Biografi Perawi
Abdullah bin Umar adalah putra Ibnu al Khaththab. Ia masuk Islam sejak kecil di Makkah. Perang yang pertama diikutinya adalah perang Khandak. Banyak yang meriwayatkan hadits darinya, dan ia termasuk perbendaharaan ilmu. Meninggal dunia di Makkah pada tahun 73 H dan dimakamkan di Dzawi Thuwa pada pemakaman kaum Muhajirin.
Al Hakim adalah imam besar, imam para muhaqqiq (peneliti), Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah An Naisaburi, terkenal dengan Ibnu Al Ba’i. Memiliki banyak karya ilmiah. Lahir tahun 321 H. Ia menuntut ilmu dan mengembara ke Irak ketika masih berumur 20 tahun. Kemudian menunaikan ibadah haji dan berkeliling di daerah Khurasan dan sekitarnya. Ia belajar hadits dengan cara sima (mendengar) kepada sekitar dua ribu Syaikh. Ad Daruquthni, Abu Ya’la Al Khalil dan Al Baihaqi serta banyak lagi meriwayatkan darinya.
Ia memiliki banyak karya ilmiah yang memiliki kelebihan dari yang lainnya, dengan disertai nilai-nilai ketakwaan dan religius. Ia menyusun Al Mustadrak dan Tarikh Naisabur serta yang lainnya. Ia meninggal pada bulan Shafar tahun 405 H.
Ibnu Hibban; Adz Dzahabi berkata, “Dia adalah Hafizh Allamah Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Al Basti. Memiliki banyak karya ilmiah. Ia mendengar dari umat yang tak terhitung jumlahnya mulai dari Mesir hingga Khurasan. Al Hakim dan ulama yang lain meriwayatkan darinya. Ibnu Hibban adalah termasuk ahli fikih dan penghafal atsar, mendalami ilmu kedokteran dan ilmu perbintangan dan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Ia menyusun Al Musnad Ash Shahih, At Tarikh dan Kitab Adh Dhuafa’. Ia mengajarkan fikih kepada umat Islam di Samarqand. Al Hakim berkata, “Ibnu Hibban adalah perbendaharaan ilmu, fikih, bahasa dan nasihat, dan termasuk perawi hadits yang cerdas. Meninggal dunia pada bulan Syawal tahun 354 H.
Tafsir Hadits
Hadits ini telah diisyaratkan terdahulu, bahwa ia merupakan dalil Asy-Syafi'iyah dalam hal menjadikan air yang banyak yaitu yang sampai dua kullah. Telah dijelaskan bahwa Al Hadawiyah dan Al Hanafiyah tidak mengamalkannya karena alasan idhthirab (goncang) pada matannya; dimana dalam satu riwayat, “Jika sampai tiga kullah”, dan dalam riwayat lainnya, “satu kullah”, juga lantaran tidak diketahuinya ukuran satu kullah itu, dan maknanya mengandung kemungkinan lain. Karena sabda beliau, ‘tidak mengandung kotoran’, bisa jadi karena air yang sedikit itu kalah dengan kotoran sehingga kotoran tersebut merusak kesuciannya. Juga boleh jadi karena kotoran tersebut lenyap di dalamnya, semua ini telah dijawab oleh Asy-Syafi'iyah. Ia telah memaparkannya dalam Asy Syarh kecuali untuk hadits yang terakhir tidak disebutkannya, sepertinya ia meninggalkannya lantaran lemahnya, karena riwayat ‘tidak bernajis’ jelas tidak mengandung makna yang pertama.



0005 


٥- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
5. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang (tidak mengalir) sedang ia junub.” (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.”
[shahih: Al Bukhari 239, Muslim 282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami 7595]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Janganlah salah seorang kalian mandi di dalam air yang tenang (yaitu air yang diam tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim meriwayatkannya dengan lafazh ini) di dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi (menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian ia mandi darinya.
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, “Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu  dalam air yang telah dikencingi sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam kemudian ia berwudhu  darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami 7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dengan tambahan,
[أَوْ يَشْرَبُ]
atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 1256]



0005 


٥- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَلِلْبُخَارِيِّ «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ» - وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ، وَلِأَبِي دَاوُد: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ»
5. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang tenang (tidak mengalir) sedang ia junub.” (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 283]
Dan bagi Al Bukhari, “Janganlah sekali-kali salah seorang kalian kencing dalam air tenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.”
[shahih: Al Bukhari 239, Muslim 282]
Dan bagi Muslim, “Darinya”, dan bagi Abu Daud, “Dan janganlah ia mandi junub di dalamnya.”
[shahih: shahih Al Jami 7595]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Janganlah salah seorang kalian mandi di dalam air yang tenang (yaitu air yang diam tergenang, dan disebutkan sifatnya yaitu yang tidak mengalir) sedang ia junub (Muslim meriwayatkannya dengan lafazh ini) di dalamnya (menunjukkan bahwa janganlah ia mandi dengan menyelam di dalamnya, dan bisa juga menunjukkan bahwa janganlah ia mengambil darinya lalu mandi di luar) janganlah ia mandi (menunjukkan bahwa larangan melakukan kedua hal tersebut secara tersendiri, sebagaimana dua kemungkinan yang pertama dalam riwayat) kemudian ia mandi darinya.
Tafsir Hadits
Abu Daud berkata dalam Asy Syarh, “Larangan ini jika pada air yang banyak menunjukkan makruh, dan jika pada air yang sedikit menunjukkan haram.” Ada yang berpendapat, bahwa berdasarkan hal tersebut dapat menjadikan penggunaan lafazh larangan tersebut secara hakiki dan majazi. Maka yang lebih baik adalah keumuman majaz dan larangan tersebut digunakan pada makna tidak melakukannya yang mengandung unsur keharaman dan kemakruhan melakukannya.
Adapun hukum air diam yang tidak mengalir, najisnya air sebab bercampur dengan air seni, atau larangan mandi junub di dalamnya, menurut mereka yang berpendapat bahwa air tidak najis melainkan jika salah satu sifatnya berubah, larangan penggunaannya itu bersifat ta’abbudi dan air tetap suci. Ini adalah pendapat Malikiyah yang membolehkan bersuci dengannya, karena larangan tersebut menurut mereka hanyalah menunjukkan makruh. Sedangkan menurut Azh Zhahiriyyah adalah haram. Meskipun larangan tersebut ta’abbudi dan bukan lantaran najis, akan tetapi pada dasarnya setiap larangan itu menunjukkan haram. Dan menurut yang membedakan antara air sedikit dengan air yang banyak, “Jika air itu banyak, maka ia dikembalikan pada asalnya dalam membatasinya, jika tidak berubah salah satu sifatnya berarti ia suci dan dalil atas kesuciannya adalah takhshish (pengkhususan) keumumannya”. Tetapi pendapat ini dapat dibantah, “Jika kalian mengatakan bahwa larangan yang menunjukkan makruh tersebut adalah pada air yang banyak, maka tidak boleh membatasinya lantaran keumuman hadits dalam bab ini, dan jika air itu sedikit maka dalam membatasinya dikembalikan kepada asalnya, maka larangan menggunakannya menunjukkan keharaman, karena ia tidak suci dan tidak menyucikan.” Ini menurut prinsip mereka bahwa larangan tersebut lantaran najis.
Disebutkan dalam Asy Syarh beberapa pendapat mengenai kencing dalam air, yaitu tidak dilarang pada air banyak yang mengalir sebagaimana yang dipahami dalam hadits ini, tetapi lebih baik dihindari. Adapun air sedikit yang mengalir, ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengatakan haram. Ini yang lebih baik.
Saya katakan, “Yang lebih baik justru sebaliknya, karena hadits tersebut adalah larangan buang air kecil dalam air yang tidak mengalir, maka tidak mencakup yang mengalir sedikit atau banyak.” Tetapi seandainya dikatakan makruh akan lebih dekat. Jika airnya banyak dan tergenang, maka ada yang berpendapat makruh secara mutlak. Ada pula yang berpendapat jika ia kencing dengan sengaja hukumnya makruh, namun jika ia terpaksa dan sudah berada di dalamnya maka hukumnya tidak makruh.
Dalam Asy Syarh ia berkata, “Seandainya dikatakan bahwa hal itu menunjukkan haram, maka larangan tersebut akan lebih jelas dan lebih sesuai dengan zhahirnya, karena akan merusak yang lainnya dan mengandung mudharat bagi kaum Muslimin. Dan jika air tenang dan sedikit, maka yang benar adalah haram berdasarkan hadits tersebut.”
Kemudian, apakah hukum keharaman pada air yang sedikit juga berlaku pada selain air seni, seperti tinja? Menurut Jumhur, hal itu lebih layak untuk disamakan, dan menurut Ahmad bin Hambal, yang lain tidak menyamakan dengannya, tetapi hukum tersebut khusus bagi air seni. Sabda beliau, ‘dalam air’ sangat jelas merupakan larangan kencing di dalamnya, sehingga harus dijauhi, maka jika kencing di dalam bejana kemudian dituangkan ke dalam air tenang maka hukumnya sama. Sedang menurut Daud, tidak menajiskannya dan tidak terlarang, kecuali pada kejadian yang pertama, selainnya tidak.
Hukum berwudhu  dalam air yang telah dikencingi sama seperti hukum mandi, sebab hukumnya satu. Dalam satu riwayat disebutkan:
«لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ»
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing dalam air yang diam kemudian ia berwudhu  darinya.”
[Shahih : Shahih Al Jami 7594]
Ia menyebutkan dalam Asy Syarh dan tidak dinisbatkan kepada siapapun, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan At Tirmidzi. Ia berkata hasan shahih. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah RA secara marfu, dan dikeluarkan oleh Ath Thahawi, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi dengan tambahan,
[أَوْ يَشْرَبُ]
atau minum darinya.”
[Shahih: Ta’liq Ibnu Hibban 1256]



0006 


٦- وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ، أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ، وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ.
6. Dari seorang laki-laki yang menemui Rasulullah SAW, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang seorang perempuan mandi dengan air bekas mandi laki-laki, atau laki-laki mandi dengan air bekas mandi perempuan, tetapi hendaklah keduanya masing-masing menciduk. (HR. Abu Daud dan An Nasa'i dengan sanad shahih)
[Shahih: Shahih Abu Daud 81]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Rasulullah SAW melarang seorang perempuan mandi dengan air bekas mandi laki-laki (maksudnya, air bekas mandi laki-laki) atau laki-laki mandi dengan air bekas mandi perempuan (sepertinya), tetapi hendaklah keduanya masing-masing menciduk (dari air ketika keduanya mandi)
Tafsir Hadits
Ditakhrij oleh Abu Daud dan An Nasa'i dengan sanad shahih. Sebagai isyarat atas jawaban pendapat Al Baihaqi dimana ia berkata, “Sesungguhnya hadits itu bermakna mursal.” Dan pendapat Ibnu Hazm, “sesungguhnya salah seorang rawinya dhaif.”
Adapun yang pertama, maka samarnya seorang shahabat tidaklah mempengaruhi; sebab semua shahabat adil (jujur) menurut para ahli hadits. Dan yang kedua, bahwa yang dimaksudkan Ibnu Hazm dhaif adalah Daud bin Abdullah Al Audi, sedang ia tsiqah. Dalam al Bahr sepertinya ia terpedaya dengan ucapan Ibnu Hazm, maka ia mengatakan setelah menyebutkan hadits tersebut, “Sesungguhnya perawinya lemah” dan ia menisbatkannya kepada perawi majhul (tak dikenal identitasnya)
Penulis berkata dalam Fathul Bari, “Sesungguhnya para perawinya tsiqah dan kami tidak mendapatkan cacat padanya”, oleh karenanya di sini ia berkata, ‘shahih’. Hal ini bertentangan dengan hadits berikut:


0007 

٧- وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -» . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
- وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ: «اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي جَفْنَةٍ، فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا، فَقَالَتْ: إنِّي كُنْت جُنُبًا، فَقَالَ: إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ» وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
7. Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan bekas mandi Maimunah RA.” (HR. Muslim)
[shahih: Muslim 323]
Dan bagi para penulis kitab Sunan, “Salah seorang istri Nabi SAW pernah mandi dalam bejana, lalu beliau datang dan mandi di dalamnya, maka istrinya berkata, ‘sesungguhnya aku junub.’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya air itu tidak dapat membuat junub.’ (dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
[shahih: Shahih Al Jami 1927]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abdullah bin Abbas diberi gelar lautan ilmu pada masanya. Lahir 3 tahun sebelum Hijrah. Keunggulannya dalam ilmu berkat doa Nabi SAW agar diberikan hikmah dan pemahaman dalam agama yang cukup membuatnya terkenal. Wafat di Thaif tahun 68 H pada akhir kepemimpinan Az Zubair setelah penglihatannya buta.
Penjelasan Kalimat
Salah seorang istri Nabi SAW pernah mandi dalam bejana, lalu beliau datang (yaitu Nabi SAW) dan mandi di dalamnya, maka istrinya berkata, ‘sesungguhnya aku junub.’ (maksudnya, aku telah mandi darinya) Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya air itu tidak dapat membuat junub.’
Tafsir Hadits
Dalam shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa, “Nabi SAW dan Maimunah keduanya pernah mandi dalam satu bejana.” Tidak asing lagi bahwa tidak ada pertentangan padanya, karena kemungkinan keduanya masing-masing menciduk secara bersamaan, maka tidak ada pertentangan.
Betul, yang membantahnya adalah perkataannya, “dan bagi para pemilik Kitab As Sunan”, artinya dari hadits Ibnu Abbas, sebagaimana dikuatkan oleh Al Baihaqi dalam As Sunan, dan ia menisbatkannya kepada Abu Daud.
Makna hadits tersebut telah disebutkan dari beberapa jalan yang dipaparkan dalam Asy Syarh, dan menunjukkan bahwa bertentangan dengan hadits yang lalu, dan bahwa boleh seorang laki-laki mandi dengan air bekas mandi perempuan, dan sebaliknya diqiyaskan atasnya karena kesamaannya. Dalam dua hal tersebut terdapat perbedaan pendapat tetapi yang lebih jelas ad keduanya diperbolehkan, dan bahwa larangan itu dipahami sebagai tanzih (kesucian).



0008 


٨- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ " فَلْيُرِقْهُ "، وَلِلتِّرْمِذِيِّ " أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُولَاهُنَّ "
8. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sucinya bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing, hendaknya ia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah. (HR. Muslim)
Dan pada lafazh lain: “Hendaklah ia menumpahkannya
[HR. Muslim 279]
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, atau yang pertama dengan tanah.”
[shahih: shahih al Jami 8116]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Sucinya bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing, (ia minum apa yang terdapat di dalamnya dengan ujung-ujung lidahnya atau ia memasukkah lidahnya ke dalamnya lalu menggerak-gerakkannya) hendaknya ia mencucinya (maksudnya bejana tersebut) tujuh kali, yang pertama dengan tanah.”Hendaklah ia menumpahkannya (yaitu air yang telah dijilat anjing)
Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, (yaitu yang ketujuh).
Tafsir Hadits
Hadits di atas menunjukkan beberapa hukum:
Pertama: najisnya mulut anjing. Rasulullah SAW memerintahkan untuk mencuci sesuatu (bejana) yang dijilat anjing, dan menumpahkan air yang ada di dalamnya. sabda beliau “sucinya bejana salah seorang dari kalian”. maka tidak diperintahkan dicuci, kecuali dari hadats atau najis, dan di sini tidak ada hadats, berarti najis. Menumpahkannya berarti membuang-buang harta, maka seandainya air tersebut suci niscaya beliau tidak akan menyuruh menyia-nyiakannya karena membuang-buang harta terlarang.
Secara zhalim, hadits itu menunjukkan bahwa mulut anjing itu najis dan badannya dihukumi sama dengan mengqiyaskannya. Karena jika telah jelas bahwa ludahnya najis, ludahnya adalah bagian dari mulutnya, dan ludah adalah peluh mulutnya serta peluh adalah bagian yang keluar dari badan, maka demikian pula semua badannya.
Tetapi ulama yang berpendapat bahwa perintah mencuci bukan lantaran najisnya anjing, ia berkata, “Boleh jadi najis itu terdapat pada mulut dan ludahnya, sebab mulutnya adalah tempat yang biasa ia gunakan untuk memakan najis sebagaimana umumnya, ia mengaitkan hukum tersebut dengan melihat kepada keumuman kondisinya seperti memakan berbagai najis dan bersentuhan secara langsung, tidak menunjukkan bahwa benda (mulut)nya yang najis.
Pendapat mengenai najisnya air liur anjing adapun pendapat jumhur, dan yang menyelisihinya adalah pendapat Malik, Daud dan Az Zuhri. Dalil kelompok pertama adalah sebagaimana yang telah disebutkan, dan dalil selain mereka – yaitu mereka yang berpendapat bahwa perintah mencuci adalah untuk ta’abbudi bukan lantaran najis -, mereka berkata, “Seandainya karena najis, niscaya cukup jika kurang dari tujuh kali, karena najisnya tidak lebih dari kotoran.” Argumen ini dapat dijawab, bahwa hukum asal perintah untuk mencuci dapat dipahami maknanya dan bisa dikemukakan alasannya, yaitu lantaran najis, dan dasar daripada berbagai hukum adalah dengan mengemukakan alasan, maka ia dikategorikan ke dalam yang umum dan mayoritas. Yang bersifat ta’abbudi hanyalah pada jumlahnya, demikian yang terdapat dalam Asy Syarh yaitu yang diambil dari Syarh Al Umdah.
Kami telah menetapkan pada catatan kaki yang menyelisihi apa yang telah mereka tetapkan, yaitu keumuman hukum yang bisa dikemukakan alasannya. Di sana kami telah mengomentarinya panjang lebar.
Kedua: bahwa hadits tersebut menunjukkan kewajiban mencuci tujuh kali pada bejana, dan hal itu sudah jelas. Yang mengatakan tidak wajib tujuh kali, tetapi jilatan anjing sama dengan najis-najis lainnya, dan tujuh kali hanyalah Sunnah, hal itu berdasarkan dalil bahwa perawi hadits yaitu Abu Hurairah RA berkata, “jilatan anjing dicuci tiga kali, sebagaimana ditakhrij oleh Ath Thahawi dan Ad Daruquthni.
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa yang diamalkan adalah yang diriwayatkan dari Nabi SAW bukan menurut pendapatnya dan yang ia fatwakan. Juga karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan darinya, bahwa ia memfatwakan dengan mencuci tujuh kali, dan ini lebih kuat sanadnya, dan juga menjadi lebih kuat karena sesuai dengan riwayat marfu. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau SAW bersabda mengenai anjing yang menjilat bejana,
[يُغْسَلُ ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا]
“Dicuci tiga kali, atau lima kali, atau tujuh kali.”
[Penerbit Darus Sunnah (h. 50) dalam catatan kaki menuliskan hadits ini shahih riwayat muslim 279, ini adalah keliru yang benar hadits ini dikeluarkan oleh Ad Daruquthni 194, berkata Ad Daruquthni, Abdul Wahab meriwayatkannya secara sendirian dari Isma’il bin Ayyas dan dia matrukul hadits –ebook editor]
Mereka berkata, “Hadits tersebut menunjukkan tidak ditentukannya tujuh kali, bahkan diberikan pilihan, dan tidak ada pilihan bagi yang ditentukan.” Jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dhaif tidak bisa dijadikan hujjah.
Ketiga: wajib mencuci bejana dengan debu sebagaimana telah ditegaskan dalam hadits. Kemudian hadits tersebut menunjukkan ditentukannya tanah, dan digunakan pada cucian yang pertama. ulama yang mewajibkannya berkata, “Tidak ada perbedaan antara mencampur air dengan tanah hingga keruh, atau air disiramkan atas tanah, atau tanah dimasukkan ke dalam air.” Bagi mereka yang berpendapat wajibnya mencuci tujuh kali berkata, “Tidak wajib mencuci dengan tanah, lantaran hal itu tidak kuat menurutnya.” Dapat dijawab, bahwa telah ditegaskan dalam riwayat yang shahih tanpa keraguan dan tambahan dari perawi tsiqah dapat diterima.
Disebutkan bahwa riwayat tentang mencampur dengan tanah tidak konsisten. Terkadang diriwayatkan dengan lafazh yang pertama atau yang terakhir, atau salah satunya atau yang ketujuh atau yang kedelapan, dan idhthirab (ketidakkonsistenan) adalah aib, maka wajib dibuang. Dapat dijawab, bahwa ketidakkonsistenan tidak menjadi aib kecuali jika riwayat-riwayat tersebut sama, di sini tidak seperti itu. Karena, riwayat dengan lafazh  yang pertama lebih kuat lantaran banyaknya perawi, dan diriwayatkan oleh salah seorang Ash-Shahihain. Hal itu merupakan tarjih ketika terjadi perbedaan, sedang lafazh-lafazh riwayat yang bertentangan dengannya tidak dapat menandinginya.
Yakni, bahwa riwayat, ‘yang terakhir’ diriwayatkan secara menyendiri, tidak didapatkan sedikitpun dalam buku-buku hadits yang bersanad.
Riwayat ‘yang ketujuh dengan tanah’ terdapat perbedaan padanya, maka tidak dapat menyaingi riwayat ‘yang pertama dengan tanah’.
Riwayat ‘salah satu di antaranya’, tidak terdapat dalam buku-buku induk, tetapi diriwayatkan oleh Al Bazzar, meskipun shahih, hal itu bersifat mutlak (umum) sehingga wajib mengamalkan yang muqayyad (khusus)
Riwayat ‘yang pertama atau yang terakhir’, diberikan pilihan. Jika itu dari perawi maka hal itu adalah keraguan darinya dan harus dikembalikan kepada tarjih, dan riwayat ‘yang pertama’ lebih kuat. Dan jika termasuk sabda Rasulullah SAW, maka hal itu adalah pemberian pilihan dari beliau SAW. hal ini dikembalikan kepada pentarjihan riwayat ‘yang pertama’ karena disebutkan oleh salah seorang dari Ash-Shahihain sebagaimana Anda ketahui.
Sabda beliau, ‘Bejana selalu salah seorang dari kalian’, penyandaran bejana di sini dihilangkan, sebab hukum suci dan najis tidak hanya karena memiliki bejana. Demikian pula sabda beliau, ‘Maka hendaklah ia mencucinya’, tidak berarti bahwa harus pemilik bejana yang mencucinya. Dan dalam sabdanya yang lain, ‘maka hendaklah ia menumpahkannya’, adalah termasuk lafazh Muslim, yaitu perintah menumpahkan air atau makanan yang dijilat anjing. Lafazh tersebut adalah dalil paling kuat yang menunjukkan najis, karena yang ditumpahkan lebih umum daripada hanya sekedar air atau makanan. Sekiranya makanan atau air itu suci, pasti beliau tidak menyuruh untuk menumpahkannya, sebagaimana yang telah Anda ketahui.
Namun, penulis menukil dalam Fathul Bari bahwa lafazh ini tidak shahih dari para Hafizh. Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak pernah dinukil oleh para Hafizh dari sahabat-sahabat Al Amasy. Ibnu Mundah berkata, “Tidak dikenal dari Nabi SAW dalam bentuk bagaimanapun.”
Memang betul, penulis tidak menyebutkan cucian yang kedelapan, sementara hal ini ditegaskan oleh Muslim,
[وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ]
Dan campurlah yang kedelapan dengan tanah.”
[HR. Muslim 280]
Ibnu Daqiqil Id berkata, “Sesungguhnya hal itu dikatakan oleh al Hasan al Bashri, dan tidak dikatakan oleh yang lainnya.” Ini adalah pendapat dari ulama terdahulu, dan derajat haditsnya kuat. Dan bagi yang tidak berpendapat dengannya, telah melakukan penakwilan yang tidak tepat.
Saya katakan, “Cara penakwilan yang tidak tepat, telah disebutkan oleh An Nawawi, ia berkata, “Maksudnya cucilah tujuh kali dan salah satu di antaranya dengan tanah bersama air”, dengan demikian berarti tanah menggantikan satu kali cucian, maka disebut yang kedelapan.”
Saya katakan, “Dan seperti itu dikatakan oleh Ad-Darimi dalam Syarh Al Minhaj”, dan ia menambahkan, “Sesungguhnya ia memutlakan mandi dengan mencampurkan debu sebagai kiasan.”
Saya katakan, “Tidak asing lagi, bahwa maksud penulis menyebutkannya, dan adanya takwil dengan mengeluarkannya kepada majaz, semua itu adalah pembelaan terhadap mazhab, dan yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri.
Adapun perintah membunuh anjing, larangan membunuhnya, dan hal-hal yang boleh dipergunakan darinya, akan dibahas pada bab binatang buruan.


0009 

٩ - وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ - فِي الْهِرَّةِ -: إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ» أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
9. Dari Abu Qatadah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai kucing, “Sesungguhnya kucing itu tidak najis, dia hanyalah termasuk (makhluk-makhluk) yang mengelilingi kamu.” (HR. Imam yang empat, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah)
[Shahih: Shahih Al Jami' 2437]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Menurut pendapat mayoritas ulama, nama Abu Qatadah adalah Al Harits bin Rib’i Al Anshari. Ia adalah pahlawab berkuda Rasulullah SAW. mengikuti perang Uhud dan peperangan-peperangan setelahnya. Wafat tahun 54 H di Madinah. Ada yang berpendapat wafat di Kufah pada masa kekhalifahan Ali RA, dan ia menyaksikan seluruh peperangan bersama Ali.
Tafsir Hadits
Hadits ini memiliki asbabun nuzul sebagai berikut: bahwa Abu Qatadah diberikan air wudhu, lalu ada seekor kucing datang ingin minum air tersebut. Maka Abu Qatadah memiringkan tempat wudhu itu hingga kucing tersebut minum darinya. Lalu Abu Qatadah ditanya perihal itu, maka ia menjawab, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya kucing hanyalah (makhluk-makhluk) yang mengelilingi kalian (yakni, apa yang disentuhnya tidak najis).”
Ibnu Al Atsir berkata, ‘(الطَّائِفُ) (yang mengelilingi), yakni pelayan yang melayani dan menolongmu dengan penuh kasih sayang.’ Kucing diserupakan dengan pelayan yang selalu mengelilingi majikannya. Hal ini diambil dari firman Allah SWT:
بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ...
Selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu....” ((QS. An-Nur [24]: 58)
Yakni para pelayan dan hamba sahaya.
Dalam keterangan tersebut mengisyaratkan, bahwa Allah SWT menempatkan kedudukan kucing seperti pelayan, karena seringnya berhubungan dan bersentuhan dengan penghuni rumah serta apa saja yang ada di dalam rumah mereka. Allah SWT memberikan keringanan kepada para hamba-Nya dengan menjadikan kucing tidak najis untuk menghilangkan kesulitan atas mereka.
Dikeluarkan oleh Imam yang empat, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, juga dishahihkan oleh Al Bukhari, Al Uqaili dan Ad Daruquthni.
Hadits tersebut adalah dalil sucinya kucing dan bekas minumnya, meskipun ia bersentuhan langsung dengan najis. Dan bahwa kesucian mulut kucing itu tidak terikat dengan waktu. Ada yang mengatakan bahwa mulut kucing yang terkena najis tidak suci kecuali jika telah berlalu beberapa waktu, seperti satu malam, satu hari, satu jam, atau ia telah minum air, atau perginya kucing tersebut sehingga diduga dengan kepergian itu nasjisnya hilang, atau hilangnya benda najis dari mulutnya. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang lebih jelas. Karena dengan masih adanya benda najis pada mulutnya, dan hukum najis sebab benda najis tersebut, bukan karena mulutnya. Maka jika benda itu telah hilang, syariat menghukuminya tidak najis.


0010 

10 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
10. Dari Anas bin Malik RA ia berkata, ‘Seorang Arab Badui datang, lalu kencing di sudut masjid, maka orang-orang membentaknya, dan Nabi SAW melarang mereka. Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh untuk mengambil air satu timba, lalu dituangkan di tempat yang kena najis tersebut. (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 221, Muslim 284]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Anas bin Malik  adalah Abu Hamzah Khazraji pelayan Rasulullah SAW sejak beliau datang ke Madinah hingga wafatnya. Ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, Anas baru berumur 10 atau 9 atau 8 tahun, dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Ia tinggal di Bashrah sejak masa Khilafah Umar untuk mengajar kepada umat manusia. Umurnya panjang hingga 103 tahun. Ada yang mengatakan kurang dari itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Pendapat yang paling shahih adalah 99 tahun.” Ia adalah shahabat yang terakhir meninggal dunia di Bashrah yaitu pada tahun 91 atau 92 atau 93 H.
Penjelasan Kalimat
Seorang Arab Badui datang, (dinisbatkan kepada Al Arab yaitu mereka yang tinggal di pedesaan baik orang Arab maupun non Arab. Disebutkan namanya adalah Dzul Khuwaisharah Al Yamani, bertabiat kasar) lalu kencing di sudut masjid, (yaitu sudut Ath Thaifah, adalah bagian dari sesuatu) maka orang-orang membentaknya, (yakni menghardik.
Dalam lafazh lain:
[فَقَامَ إلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ]
‘maka orang-orang menuju kepadanya untuk memukulnya’
[shahih: shahih Al Bukhari 5777]
Dalam lafazh lain:
فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَهْ، مَهْ،
‘maka para shahabat Rasulullah SAW berkata ‘mah..mah..’
[shahih: shahih Muslim 285]
dan Nabi SAW melarang mereka. (dengan mengatakan:
[دَعُوهُ]
biarkanlah dia.
Dalam lafazh lain:
لَا تَزْرِمُوهُ
janganlah kalian memutuskannya.”)
[Shahih: Shahih Al Bukhari 5679, Muslim 285]
Setelah ia selesai kencing, Nabi SAW menyuruh untuk mengambil air satu timba, (yaitu satu timba penuh. Pendapat lain mengatakan yang banyak) dari air (sebagai bentuk penegasan, jika bukan sebagai penegasan maka telah ditunjukkan oleh lafazh (الذَّنُوبِ) (satu timba air) sama dengan (كَتَبْت بِيَدَيَّ) (saya menulis dengan tanganku). Dalam satu riwayat (سَجْلًا), artinya satu timba) lalu dituangkan di tempat yang kena najis tersebut.
Tafsir Hadits
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan najisnya air kencing manusia, dan ini merupakan ijma ulama. Juga menunjukkan bahwa bumi itu dapat disucikan dengan air sebagaimana najis-najis lainnya. Lalu, apakah najis bisa disucikan dengan selain air? Ada yang berpendapat bahwa dapat disucikan oleh matahari dan angin, karena pengaruh keduanya dalam menghilangkan najis lebih besar daripada air, dan berdasarkan hadits:
[زَكَاةُ الْأَرْضِ يُبْسُهَا]
sucinya bumi itu ketika telah kering.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 624, merupakan perkataan Abu Ja’far –ebook editor]
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dapat dijawab bahwa ia menyebutkannya secara mauquf bukan sabda Rasulullah SAW. sebagaimana Abdurrazzaq menyebutkan hadits Abu Qilabah mauquf atasnya dengan lafazh:
جُفُوفُ الْأَرْضِ طَهُورُهَا
Keringnya bumi itu –menunjukkan- sucinya tempat tersebut.”
[HR. Abdurrazaq dalam Al Mushanaf 5143, merupakan perkataan Abu Qilabah –ebook editor]
Maka keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dengan menuangkan air dapat menyucikan tanah, baik tanah yang lunak maupun keras. Ada yang mengatakan bahwa harus mencuci tanah yang keras sebagaimana benda-benda lainnya yang terkena najis, karena tanah Masjid Rasulullah SAW ketika itu lunak maka cukup dengan menuangkan air di atasnya. Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa sucinya tanah tidak hanya dengan meresapnya air, karena beliau SAW tidak mensyaratkan sesuatu atas kencing seorang Arab Badui, pendapat ini yang dipilih oleh Al Mahdi dalam Al Bahr. Dan bahwa tidak diisyaratkan menggali dan membuang tanahnya.
Abu Hanifah berkata, “jika tanahnya keras, maka harus digali dan dibuang tanahnya, karena air tidak mengenai semua bagian atas dan bagian bawahnya. Juga karena diriwayatkan dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
«خُذُوا مَا بَالَ عَلَيْهِ مِنْ التُّرَابِ وَأَلْقُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى مَكَانِهِ مَاءً»
Ambillah tanah yang telah terkena air kencing lalu buanglah, dan tuangkanlah air di atas tempatnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 381]
Penulis rahimahullah berkata dalam At Talkhis, “Hadits ini memiliki dua sanad yang maushul (bersambung); yang pertama dari Ibnu Mas'ud dan yang lainnya dari Watsilah bin Al Asqa, tetapi pada keduanya terdapat pembicaraan.” Dan seandainya tambahan ini kuat, niscaya batallah pendapat orang yang mengatakan bahwa tanah Masjid Nabi SAW lunak, karena dia berkata, “tidak digali dan tidak dibuang kecuali dari tanah yang keras.”
Dalam hadits tersebut terdapat beberapa faedah:
1.      Menghormati Masjid. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Nabi SAW, bahwa ketika orang Badui tersebut selesai buang air kecil, beliau memanggilnya dan berkata kepadanya,
إنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
Sesungguhnya masjid ini tidak layak terhadap sesuatu dari kencing dan kotoran, masjid itu adalah untuk berdzikir kepada Allah SWT dan membaca Al Qur'an.”
[Shahih: Muslim 285]
Dan sikap para shahabat dengan segera melarangnya, disetujui oleh Nabi SAW. hanya saja, beliau menyuruh mereka bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam riwayat Al Jama’ah, kecuali Muslim. Bahwa beliau bersabda kepada mereka:
«إنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ»
Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan tidak diututs untuk mempersulit.”
[Shahih: Al Bukhari 220]
Seandainya pengingkaran itu dilarang, tentu beliau akan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tidaklah orang Badui itu datang (melakukan sesuatu) yang mana kalian wajib melarangnya.”
2.      Bersikap lemah lembut dan tidak kasar terhadap orang yang bodoh.
3.      Kemuliaan akhlak Rasulullah SAW dan sikap lemah lembut dalam memberikan pelajaran kepada umatnya.
4.      Menjauh dari keramaian orang ketika buang hajat hanyalah bagi yang ingin buang hajat besar, bukan kencing. Karena menurut urf (kebiasaan) orang Arab, hal itu tidak wajib dan disetujui oleh syariat. Dan Rasulullah SAW perempuan buang air kecil dan menyuruh shahabat yang berada di belakang beliau untuk menutupinya.
5.      Menolak kemudharatan yang lebih besar dengan memilih yang lebih ringan di antara keduanya. Seandainya kencingnya terputus (ditahan), tentu akan mendatangkan madharat bagi dirinya. Dan seandainya ia berpindah tempat yang pertama kali telah terkena najis, tentu najis itu akan mengenai badan dan pakaiannya, serta tempat-tempat lain di dalam masjid.


0011 

11 - وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ» أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.
11. Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu belalang dan ikan, dan dua darah yaitu limpa dan hati.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan padanya terdapat kelemahan)
[Shahih: Shahih Al Jami' 210]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Dihalalkan bagi kami dua bangkai (yakni setelah diharamkan sebagaimana yang termaktub dalam ayat)  dan dua darah Adapun dua bangkai yaitu belalang (yakni bangkainya) dan ikan (yakni bangkainya), dan dua darah yaitu limpa dan hati.
HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan padanya terdapat kelemahan, karena diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Ibnu Umar. Ahmad berkata, “haditsnya munkar.” Ia menshahihkannya secara mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim. jika telah jelas mauquf, maka ia memiliki hukum sama dengan marfu. Karena ucapan shahabat ‘dihalalkan bagi kami begini..’ atau ‘diharamkan bagi kami begini...’ seperti ucapan ‘Kami diperintahkan...’ atau ‘Kami dilarang...’, maka dapat dijadikan hujjah.
Tafsir Hadits
Hadits tersebut menunjukkan halalnya belalang dalam kondisi bagaimanapun didapatkan. Maka tidak perlu dipertimbangkan sedikit pun, baik mati secara normal (alami) maupun mati karena sebab tertentu.
Hadits tersebut juga merupakan bantahan bagi yang mensyaratkan kematiannya dengan sebab manusia, atau dengan memotong kepalanya, dan jika tidak karena sebab ini maka diharamkan. Demikian pula menunjukkan atas halalnya bangkai ikan dalam kondisi bagaimanapun didapatkan, baik dalam keadaan mengapung ataupun tidak berdasarkan hadits ini dan juga hadits ‘Halal bangkainya.’
Ada yang berpendapat bahwa bangkai ikan tidak halal kecuali yang mati dengan sebab manusia, surutnya air, melemparnya atau karena masuk ke dalam tanah, sedang yang mengapung tidak halal, berdasarkan hadits:
«مَا أَلْقَاهُ الْبَحْرُ أَوْ جَزَرَ عَنْهُ فَكُلُوا، وَمَا مَاتَ فِيهِ فَطَفَا فَلَا تَأْكُلُوهُ»
Apa yang terdapat di laut atau yang dipotong maka makanlah, dan yang mati di dalamnya lalu mengapung maka janganlah kamu memakannya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Jabir)
[Dhaif: Dhaif Al Jami 5019]
Hadits ini khusus dan mengkhususkan keumuman dua hadits terdahulu. Hal ini dapat dijawab bahwa hadits ini dhaif menurut kesepakatan para imam hadits.
An Nawawi berkata, “Hadits Jabir ini dhaif menurut kesepakatan para imam hadits, tidak boleh dijadikan hujjah jika tidak ditentang hadits lain, namun hadits ini ditentang oleh hadits lain, sehingga tidak dapat mengkhususkan hadits yang umum. Karena Nabi SAW makan sejenis ikan paus yang didapat oleh salah seorang pasukan di laut, dan beliau tidak bertanya sebab kematiannya. Kisah ini sangat terkenal dalam buku-buku hadits dan sejarah.”
Hati hewan hukumnya halal menurut ijma, begitu juga dengan limpa. Tetapi dalam Al Bahr Dijelaskan bahwa limpa hukumnya makruh berdasarkan hadits Ali RA. Akan tetapi hadits ini tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya dari Ali.
«إنَّهُ لُقْمَةُ الشَّيْطَانِ»
Bahwa limpa adalah suapan setan,
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushanaf 5/126] *
artinya ia gembira dengan memakannya.
_____________
* yakni no 24370 pada maktabah syamilah dengan menyertakan sanad yaitu:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «الطِّحَالُ لُقْمَةُ الشَّيْطَانِ»
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, ia berkata, Waqi menceritakan pada kami, dari Isra’il dari Abu Ishaq, dari Al Harits, dari Ali, Ia berkata: ‘limpa adalah suapan setan.’
Jadi pernyataan pensyarah (yakni Ash-shan’ani, ‘hadits ini tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya dari Ali’ adalah tidak benar, karena Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkannya dengan sanad yang jelas, walau sanadnya mungkin perlu diteliti kembali. (ebook editor)



0012 


12 - وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً» أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو دَاوُد. وَزَادَ «وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ»
12. Dari Abu Hurairah RA ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia memasukkannya (dalam minuman tersebut) kemudian membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada yang lainnya terdapat obat. (HR. Al Bukhari dan Abu Daud).
[shahih: Al Bukhari 3320]
Ia menambahkan: “Dan sesungguhnya dia menjaga diri dengan sayapnya yang terdapat penyakit.”
[Shahih: Shahih Al Jami' 835]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang kalian, (sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu bahwa idhafah (penyandaran) digugurkan sebagaimana dalam sabda beliau, ‘apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian.’ dalam lafazh lain: ‘dalam makanan’)
maka hendaklah ia memasukkannya -dalam minuman tersebut- (dalam riwayat Al Bukhari ada tambahan, (كُلَّهُ) ‘semuanya’, sebagai penegasan. Dan dalam lafazh Abu Daud (فَامْقُلُوهُ) ‘maka hendaklah kalian membenamkannya’.  Dalam lafazh Ibnu Sakan (فَلْيَمْقُلْهُ) ‘maka hendaklah ia membenamkannya’)
kemudian membuangnya, (dalam lafazh tersebut menunjukkan boleh menunda dan membuangnya setelah dibenamkan dalam air)
karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada yang lainnya terdapat obat. (ini adalah keterangan perintah membenamkan dalam air tersebut).”
Sedang lafazh Al Bukhari:
«ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً»
Kemudian ia membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat obat dan pada yang lain terdapat penyakit.’
وَفِي لَفْظٍ [سُمًّا]
Dan dalam lafazh lain: ‘racun’
HR. Al Bukhari dan Abu Daud. Ia menambahkan: “Dan sesungguhnya dia menjaga diri dengan sayapnya yang terdapat penyakit.”
(Menurut Ahmad dan Ibnu Majah:
إنَّهُ يُقَدِّمُ السُّمَّ وَيُؤَخِّرُ الشِّفَاءَ
“sesungguhnya dia mendahulukan racun dan mengakhirkan obat.” )
[Shahih: Shahih Al Jami' 4234]
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil yang jelas atas bolehnya membunuh lalat untuk mencegah mudharat, setelah dibunuh lalat dibuang dan tidak dimakan. Jika lalat mati dalam benda cair, maka tidak membuatnya najis, karena Rasulullah SAW menyuruh untuk membenamkannya. Karena dengan memasukkannya ke air atau makanan lalat itu akan mati, terlebih jika makanan tersebut panas. Seandainya dapat membuatnya najis, niscaya perintah tersebut untuk merusak makanan, sementara Rasulullah SAW melarang merusak makanan, beliau justeru menyuruh untuk memperbaikinya.
Kemudian, hukum ini dapat diberlakukan terhadap setiap hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lebah, kumbang atau lalat kerbau, laba-laba dan yang mirip dengannya. Sebab, hukum itu dapat berlaku umum lantaran illat-nya umum dan menjadi tiada dengan ketiadaan illat (sebab). Maka dikarenakan sebab najis adalah darah yang membeku pada hewan dengan kematiannya, dan itu tidak terdapat pada hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, maka hukum najis hilang dengan tidak adanya illat.
Perintah untuk membenamkan lalat ke dalam air agar obat yang ada padanya keluar sebagaimana penyakit keluar darinya. Telah diketahui, bahwa pada lalat terdapat kekuatan racun. Hal itu diindikasikan dengan adanya bengkak dan gatal yang terjadi ketika digigit. Gigitan lalat menjadi senjata baginya. Maka jika terjadi hal yang mengganggunya, ia akan melindungi diri dengan senjatanya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Sesungguhnya ia (lalat) menjaga diri dengan sayapnya terhadap penyakit”, maka Rasulullah SAW menyuruh menolak racun itu dengan obat yang telah diletakkan oleh Allah SWT pada sayapnya yang lain dengan memasukkan lalat tersebut ke dalam air. Maka racun dan obat itu akan bertemu sehingga hilanglah madharatnya.
Beberapa dokter mengatakan, bahwa bagian (tubuh) yang tersengat oleh kalajengking dan kumbang, apabila digosok dengan lalat, akan memberi manfaat dan penawar. Hal itu tiada lain karena obat yang terdapat padanya.

0013 
13 - وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ، وَاللَّفْظُ لَهُ.
13. Dari Abu Waqid Al Laitsi RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup adalah bangkai.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, ia menghasankannya, dan lafazh tersebut miliknya)
[Shahih: Shahih Al Jami' 5652]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Menurut salah satu riwayat, nama Abu Waqid adalah Al Harits bin Auf. Dikatakan bahwa ia ikut perang Badar. Ada yang berpendapat bahwa dia termasuk orang yang masuk Islam pada penaklukan Makkah. Pendapat yang pertama lebih kuat. Meninggal tahun 68 atau 65 H di Makkah. Al Laitsi adalah nisbat kepada Al Laits dari Bani Amr dari Laits.
Penjelasan Kalimat
Apa saja yang dipotong dari hewan (dalam Al Qamus, (الْبَهِيمَةُ) adalah setiap hewan yang berkaki empat meskipun hidup di air atau setiap yang hidup dan tidak berakal. Dan (الْبَهِيمَةُ) adalah anak domba dan kambing, sepertinya yang dimaksud di sini adalah yang terakhir sebagaimana yang akan diterangkan). yang masih hidup (yakni hewan yang dipotong itu) adalah bangkai.”
Dikeluarkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi dan ia menghasankannya, yakni ia berkata, “Sesungguhnya hadits itu hasan.” Definisi hasan telah disebutkan pada definisi hadits shahih yang lalu.
Tafsir Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dipotong dari tubuh hewan yang masih hidup adalah bangkai yang diharamkan. Latar belakang hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan (الْبَهِيمَةُ) adalah binatang berkaki empat. Yaitu makna yang pertama lantaran disebutnya unta padanya, bukan makna yang terakhir yang disebutkan oleh Al Qamus. Akan tetapi dikhususkan dengan apa yang dikecualikan berupa ikan meskipun berkaki empat. Atau yang dimaksudkan adalah makna yang pertengahan, yaitu setiap yang hidup dan tidak berakal lalu dikhususkan belalang dan ikan darinya, dan apa yang telah disebutkan yang tidak memiliki darah yang mengalir.

0014 

14 - عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
14. Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu minum dalam bejana emas dan perak, dan janganlah makan pada piring (yang terbuat dari) keduanya, karena sesungguhnya (bejana atau piring emas dan perak itu) adalah bagi mereka (orang-orang musyrik) di dunia dan bagi kamu di akhirat.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5426, Muslim 2067]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Hudzaifah adalah Abu Abdullah Hudzaifah bin Al Yaman. Hudzaifah dan ayahnya adalah dua orang shahabat Nabi SAW yang mulia. Keduanya mengikuti perang Uhud. Hudzaifah adalah pemegang rahasia Rasulullah SAW. sekelompok shahih dan thabi’in meriwayatkan (hadits) darinya. Ia meninggal dunia di Al Mada’in pada tahun 35 atau 36 H, empat malam setelah terbunuhnya Utsman RA.
Penjelasan Kalimat
Janganlah kamu minum dalam bejana emas dan perak, dan janganlah makan pada piring (yang terbuat dari) keduanya, (kata (صِحَافِهِمَا) adalah bentuk jamak dari (صَحْفَةٍ). Al Kisa’i berkata, “(الصَّحْفَةُ) adalah piring yang isinya dapat mengenyangkan lima orang) karena sesungguhnya ia (yaitu bejana emas dan perak serta piring yang terbuat dari keduanya) adalah bagi mereka (yaitu bagi orang-orang musyrik meskipun tidak disebutkan, karena mereka itu sudah maklum) di dunia (sebagai informasi dari kondisi mereka, bukan berarti sebagai informasi bahwa hal itu halal buat mereka) dan bagi kamu di akhirat.”
Tafsir Hadits
Hadits di atas adalah dalil haramnya makan dan minum pada bejana dan piring yang terbuat dari emas dan perak, baik bejana tersebut khusus emas maupun yang tercampur dengan perak, karena ia termasuk bejana emas dan perak. An Nawawi berkata, ‘Sesungguhnya telah terjadi ijma atas haramnya makan dan minum pada keduanya.’
Terjadi perbedaan mengenai illat-nya. Ada yang mengatakan karena sombong, dan yang lain mengatakan karena terbuat dari emas dan perak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tempat yang dilapisi dengan emas atau perak, apakah juga diharamkan sebagaimana emas dan perak? Ada yang berpendapat bahwa jika lapisan emas dan perak itu bisa dipisahkan maka haram secara ijma, karena termasuk menggunakan emas dan perak. Dan jika tidak mungkin dipisahkan, maka tidak haram. Dan yang lebih dekat kepada kebenaran, jika disebut bahwa itu adalah bejana emas atau perak dan dinamai dengannya, maka tercakup dalam lafazh hadits tersebut, dan jika tidak, maka tidak haram. Standarnya adalah dengan menamainya (bejana emas atau perak) pada masa kenabian, jika tidak diketahui maka asalnya adalah halal.
Adapun bejana yang ditambal dengan keduanya, maka diperbolehkan makan dan minum padanya menurut ijma.
Berkenaan dengan menggunakan tempat yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum tidak ada perbedaan padanya. Adapun untuk selain makan dan minum, yakni untuk penggunaan yang lain, apakah juga diharamkan? Ada yang mengatakan tidak diharamkan karena tidak ada nashnya, kecuali pada makan dan minum. Ada pula yang mengatakan bahwa diharamkan semua penggunaan lainnya menurut ijma, kemudian sebagian ulama mutaakhirin membantahnya dan berkata, “Nashnya disebutkan pada makan dan minum, selainnya tidak, menyamakan semua penggunaan dengan keduanya secara qiyas tidak memenuhi syarat-syarat qiyas.
Yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak haram selain tempat untuk makan dan minum, sebab itu yang ditegaskan dengan nash. sedang klaim ijma tidak benar, inilah kemalangan mengganti lafazh nabawi dengan yang lainnya. Karena hadits menyebutkan keharamannya pada makan dan minum, maka mereka meninggalkan redaksinya kepada semua bentuk penggunaan dan meninggalkan ucapan Nabi SAW, lalu mendatangkan lafazh umum dari diri mereka sendiri.
Sepertinya penulis menyebutkan hadits pada pembahasan ini untuk menunjukkan haramnya wudhu pada bejana emas dan perak. Karena penggunaan terhadap keduanya menurut mazhabnya adalah haram. Jika tidak ada maksud ini, maka hadits ini sebenarnya masuk dalam bab makanan dan minuman.
Kemudian, apakah batu-batu berharga seperti permata dan mutiara disamakan dengan emas dan perak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan nampaknya yang lebih kuat adalah tidak disamakan, dan diperbolehkan menurut asal kebolehannya karena tidak ada dalil yang disebutkan mengenai hal tersebut.

0015 

15 - وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
15. Dari Ummu Salamah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang minum dalam bejana perak, dia telah memasukkan api jahannam ke dalam perutnya.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5634, Muslim 2065]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Ummu Salamah yaitu Ummul Mukminin, istri Nabi SAW. namanya adalah Hindun binti Abi Umayah. pernah menjadi istri Abu Salamah bin Abdil Asad. Hijrah ke Habasyah bersama suaminya. Suaminya meninggal dunia setelah keduanya kembali dari Habasyah. Lalu ia menikah dengan Rasulullah SAW di Madinah pada tahun keempat Hijriyah. Ia meninggal pada tahun 59 H. Ada yang mengatakan tahun 62 H dan dimakamkan di Baqi umurnya 84 tahun.
Penjelasan Kalimat
“Sesungguhnya orang yang minum dalam bejana perak, (demikian menurut Asy-syaikhan dan Muslim dalam redaksi lain: فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ  (dalam bejana emas dan perak) dia telah memasukkan (الْجَرْجَرَةُ adalah suara jatuhnya air ke dalam mulut dan suara unta ketika memamak, ia menjadikan minum dan meneguk sebagai جَرْجَرَةً )  api jahannam ke dalam perutnya.”
Az Zamakhsyari berkata, ‘Diriwayatkan dengan merafakan kata (النَّارِ) untuk menunjukkan kedudukannya sebagai (فَاعِلٌ مَجَازًا). Karena sebenarnya neraka jahannam tidak dimasukkan ke dalam perutnya, akan tetapi ungkapan ini hanya sebagai majaz, demikian menurut riwayat yang marfu’ sebagaimana firman Allah SWT:
{إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا}
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.’ (QS. An-Nisa' [4]: 10)
Hadits tersebut menunjukkan apa yang telah ditunjukkan oleh hadits Hudzaifah yang pertama.

0016 

16 - وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ - وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ " أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ "
16. Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kulit disamak, maka ia telah suci.” (HR Muslim)
[Shahih: Muslim 366]
Dan menurut Imam yang empat: ‘Kulit apa saja yang disamak.’
[Shahih: Shahih Al Jami' 2711]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
Apabila kulit disamak, (yaitu kulit, atau yang belum disamak sebagaimana dalam Al Qamus dan juga dalam An Nihayah) maka ia telah suci.”
Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini. sedangkan menurut imam yang empat ‘Kulit apa saja yang disamak.’ Lanjutannya (فَقَدْ طَهُرَ) ‘maka sungguh telah suci.’
Tafsir Hadits
Hadits tersebut dikeluarkan oleh perawi yang lima, hanya saja lafazhnya berbeda-beda. Hadits tersebut diriwayatkan dengan beberapa lafazh dan disebutkan latar belakangnya bahwa Nabi SAW melewati bangkai kambing milik Maimunah maka beliau bersabda:
 أَلَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا فَإِنَّ دِبَاغَ الْأَدِيمِ طَهُورٌ
“tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya, sesungguhnya dengan menyamak kulit berarti dapat menyucikannya.”
[Shahih: Shahih Al Jami' 3359]
Al Bukhari meriwayatkan dari hadits Saudah, ia berkata:
«مَاتَتْ لَنَا شَاةٌ فَدَبَغْنَا مِسْكَهَا ثُمَّ مَا زِلْنَا نَنْتَبِذُ فِيهِ حَتَّى صَارَ شَنًّا»
‘Kambing kami mati lalu kami menyamak kulitnya, kami tetap menjadikannya sebagai tempat minuman hingga lusuh.’
[Shahih: Al Bukhari 6686]
Hadits tersebut adalah dalil bahwa menyamak dapat menyucikan kulit bangkai setiap hewan sebagaimana ditunjukkan kalimat () (yakni kulit apa saja), dan bahwa dengan menyamaknya dapat menyucikan bagian luar kulit dan juga bagian dalamnya.
Dalam masalah ini ada tujuh pendapat:
Pertama; Dapat menyucikan setiap kulit bangkai, baik pada bagian dalam maupun luarnya dan tidak dikhususkan sesuatu pun darinya. Hal ini berdasarkan zhahirnya hadits Ibnu Abbas dan yang semakna dengannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali RA dan Ibnu Mas'ud.
kedua; Menyamak tidak dapat menyucikan sesuatu, ini adalah pendapat jumhur Al Hadawiyah dan diriwayatkan dari sekelompok shahabat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i, Ahmad dan Al Bukhari dalam Tarikhnya dan perawi yang empat, Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abdullah bin Ukaim, ia berkata,
«أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَبْلَ مَوْتِهِ أَلَّا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ»
telah datang kepada kami wasiat Rasulullah SAW sebelum beliau meninggal dunia, “Bahwa janganlah kalian menggunakan sesuatu dari bangkai, baik dengan menyamak maupun dengan membalutnya.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 4127]
Dalam riwayat Asy-Syafi'i dan Abu Daud “Satu bulan sebelum meninggalnya.” Dalam riwayat lain, ‘satu atau dua bulan’. At Tirmidzi berkata ‘hasan’ dan Ahmad berpendapat dengannya dan berkata ‘ini adalah pendapat terakhir dari dua pendapat, kemudian ia meninggalkannya.’
Mereka berkata, ‘hadits ini menasakh (menghapus) hadits Ibnu Abbas, karena menunjukkan haramnya menggunakan kulit bangkai dengan menyamak dan membalutnya.’
Pendapat tadi dapat dijawab dengan beberapa alasan:
1.      bahwa hadits tersebut adalah mudhtarib pada sanadnya, karena terkadang diriwayatkan dari para penulis Rasulullah SAW, dan terkadang dari para Syaikh dari Juhainah dan terkadang pula dari orang yang membaca wasiat Nabi SAW. juga mudhtarib pada matannya, karena diriwayatkan dengan tanpa batasan dan inilah riwayat yang terbanyak, dan diriwayatkan dengan membatasi satu bulan, dua bulan, empat puluh hari ataupun tiga hari.
Kemudian juga memiliki cacat yaitu mursal, karena Abdullah bin Ukaim tidak mendengarnya dari Nabi SAW, juga dengan keterputusan sanad, karena tidak didengarkan oleh Abdurrahman bin Abu Laila dari Ibnu Ukaim. Oleh karenanya, Ahmad meninggalkan pendapat ini setelah sebanyak ia bpdp dengannya sebagaimana dikatakan oleh At Tirmidzi.
2.      hadits tersebut tidak bisa untuk menasakh, karena hadits menyamak lebih shahih, sebab diriwayatkan oleh Muslim dan diriwayatkan dari beberapa jalan. Dan yang semakna dengannya ada beberapa hadits dari sekelompok shahabat.
Dari Ibnu Abbas ada dua hadits, dari Ummu Salamah ada tiga hadits, dari anas ada dua hadits, dan satu hadits dari Salamah bin Al Muhabbik, Aisyah RA, Al Mughirah, Abu Umamah serta Ibnu Mas'ud. Dan hadits yang menasakh harus terbukti diucapkan terakhir sementara tidak ada dalil bahwa hadits Ibnu Ukaim lebih terakhir. Dan riwayat yang menyebutkan satu atau dua bulan ada cacat padanya, maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menasakh, meskipun riwayat dengan membatasinya tadi shahih, namun tidak secara otomatis menunjukkan bahwa itulah yang terakhir dari keduanya.
Tidak dapat dikatakan, jika tidak terjadi nasakh maka dua hadits tadi bertentangan, yaitu hadits Ibnu Ukaim dan hadits Ibnu Abbas dan yang menyertainya. Meskipun bertentangan, maka harus ditarjih atau didiamkan, karena kami mengatakan tidak ada pertentangan kecuali jika keduanya sama. Sementara di sini tidak demikian karena hadits Ibnu Abbas shahih dan banyaknya para perawi yang menyertainya, dan hal itu tidak terdapat pada riwayat Ibnu Ukaim
3.      Bahwa (الْإِهَاب) sebagaimana yang Anda ketahui dari Al Qamus dan An Nihayah adalah nama bagi kulit yang belum disamak, menurut salah satu dari dua pendapat. An Nadhr bin Syuma’il berkata, ‘Ihab adalah nama bagi yang belum disamak dan setelah disamak namanya syannun (geriba yang sudah lusuh) atau qirbah (geriba adalah tempat air atau susu yang terbuat dari kulit), dan ini yang ditegaskan oleh Al Jauhari.
Ada yang mengatakan, karena mengandung makna kedua hal tersebut, maka diriwayatkanlah dua hadits yang bertentangan yang kami kompromikan antara keduanya, bahwa dilarang menggunakan kulit yang belum disamak, dan jika telah disamak tidak dinamakan lagi ihab, maka tidak termasuk yang terlarang, dan ini pendapat yang baik
Ketiga. Dapat menyucikan kulit setiap hewan yang dapat dimakan, sedangkan kulit hewan yang tidak bisa dimakan tidak bisa disamak. Hal ini bertentangan dengan keumuman hadits, ‘kulit apa saja’.
Keempat; Dapat menyucikan semua hewan kecuali babi, karena babi tidak memiliki kulit, ini adalah mazhab Abu Hanifah.
Kelima; Dapat menyucikan kecuali babi, berdasarkan firman Allah SWT: {فَإِنَّهُ رِجْسٌ}Karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An'am [6]: 145), kata ganti yang tersebut dalam ayat menunjukkan babi, maka dihukumi dengan najisnya semua anggota badannya, dan ajing diqiyaskan kepadanya karena sama-sama najis, ini adalah pendapat Asy-Syafi'i.
Keenam; Dapat menyucikan semuanya, akan tetapi hanya bagian luarnya dan tidak dapat menyucikan bagian dalamnya. sehingga dapat digunakan untuk benda-benda yang kering selain yang cair. Boleh shalat di atasnya dan tidak boleh shalat pada bgn dalamnya. pendapat ini diriwayatkan dari Malik, dengan memadukan antara hadits-hadits di atas, dengan demikian maka tidak terdapat pertentangan.
Ketujuh; Kulit bangkai dapat dimanfaatkan walaupun tidak disamak, baik bagian luar maupun bagian dalamnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari riwayat Ibnu Abbas
«أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِإِهَابِهَا؟ قَالُوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، قَالَ: إنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»
bahwa Rasulullah SAW melewati seekor bangkai kambing, lalu bersabda, “Tidakkah kalian memanfaatkan dengan menyamaknya?” para shahabat menjawab ,’sesungguhnya itu bangkai.’ Beliau bersabda, “Yang diharamkan adalah memakannnya.”
[Shahih: Al Bukhari 1492, Muslim 363]
Ini adalah pendapat Az Zhuri. Dan telah dijawab bahwa hadits tersebut bersifat mutlak, dan telah dibatasi oleh hadits-hadits menyamak yang telah lalu.


0017 

17 - وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طَهُورُهَا» صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
17. Dari Salamah bin Al Muhabbiq RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Dengan menyamak kulit bangkai maka dapat menyucikannya.’ (dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
[Shahih: Shahih Al Jami' 3360]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Salamah bin Al Muhabbiq RA adalah seorang shahabat, termasuk dari kalangan orang-orang Bashrah. Putranya yang bernama Sinan meriwayatkan hadits darinya dan Sinan juga seorang shahabat.
Tafsir Hadits
Menurut Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Salamah dengan lafazh:
«دِبَاغُ الْأَدِيمِ ذَكَاتُهُ»
‘Dengan menyamak kulit berarti dapat menyucikannya’
[Shahih: Shahih Abu Daud 4125]
Dalam lafazh lain:
«دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا»
‘Menyamaknya dapat mensucikannya’
Yang lainnya:
«دِبَاغُهَا طَهُورُهَا»
‘Menyamaknya dapat mensucikannya’
Lafazh lain:
«ذَكَاتُهَا دِبَاغُهَا»
Kesucian dengan menyamaknya
Yang lain lagi:
«ذَكَاةُ الْأَدِيمِ دِبَاغُهُ»
Kesucian kulit dengan menyamaknya.
Dalam bab ini banyak hadits semakna yang menunjukkan apa yang telah disebutkan hadits Ibnu Abbas.
Menyamakan antara menyamak dengan menyembeli sebagai pemberitahuan bahwa menyamak kulit kambing untuk menyucikannya sama kedudukannya dengan menyembelih dalam menjadikannya halal, karena dengan menyembelih dapat menyucikannya dan halal untuk dimakan.


0018 

18 - وَعَنْ مَيْمُونَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: «مَرَّ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا فَقَالُوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ.
18. Dari Maimunah Ra ia berkata, Rasulullah SAW melewati seekor kambing yang mereka seret, maka beliau bersabda, “Bagaimana jika kalian mengambil kulitnya?’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya ia telah menjadi bangkai.’ Maka beliau bersabda, “(bangkai itu) dapat disucikan dengan air dan menyamaknya.” (HR. Abu Daud dan An Nasa'i)
[Shahih: Shahih Al Jami' 5234]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Maimunah adalah Ummul Mukminin, Maimunah binti Al Harits Al Hilaliyah. Namanya semula adalah Barrah, lalu diganti oleh Rasulullah SAW dengan Maimunah. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Dzul Qa’dah tahun ketujuh pada Umrah Al Qadhiyah, wafat tahun 61 H. Ada yang mengatakan tahun 51H, yang lain mengatakan tahun 66H, dan yang lainnya lagi mengatakan selain itu. Dia adalah bibi Ibnu Abbas dan Rasulullah SAW tidak menikah lagi setelah menikah dengannya.
Tafsir Hadits
Dalam lafazh lain menurut Ad Daruquthni dari Ibnu Abbas
«أَلَيْسَ فِي الْمَاءِ وَالْقَرَظِ مَا يُطَهِّرُهَا»
Bukankah pada air dan menyamak dapat mensucikannya?”
[Sunan Ad Daruquthni 1/42]
Adapun riwayat:
«أَلَيْسَ فِي الشَّثِّ وَالْقَرَظِ مَا يُطَهِّرُهَا»
Bukankah pada asy-syats (jenis pohon) dan menyamak dapat menyucikannya.”
An Nawawi berkata, “sesungguhnya hadits dengan lafazh ini batil dan tidak ada asalnya.”
Dalam syarh Muslim ia berkata, “Boleh menyamak dengan sesuatu yang dapat menyerap kotoran-kotoran kulit dan membuatnya harum, serta menjaganya dari terjadinya kerusakan, seperti asy-syats (jenis pohon).” Ia melanjutkan, bahwa ia termasuk mutiara yang dijadikan oleh Allah di bumi menyerupai logam. Al Jauhari berkata, “sesungguhnya pohon itu baunya wangi, rasanya pahit, dapat digunakan menyamak dan menguliti buah delima dan obat-obatan yang suci. Tidak dapat disucikan dengan matahari kecuali menurut Al Hanafiyah, dan juga tidak dapat disucikan dengan tanah, debu, garam mnrt pendapat yang paling shahih.

0019 

19 - وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
19. Dari Abu Tsa’labah al Khusyani RA ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya kami berada pada negeri ahli kitab, bolehkah kami makan pada bejana mereka?’ beliau SAW menjawab, “Janganlah kamu makan padanya, kecuali jika kalian tidak mendapatkan yang lain, maka cucilah (bejana mereka) kemudian makanlah padanya.” (Muttafaq alaih)
[Shahih: Al Bukhari 5478, Muslim 1930]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Abu Tsa’labah al Khusyani, dinisbatkan kepada Khusyain bin an Namir dari Qudha’ah. namanya Jurhum bin Nasyib, ia lebih terkenal dengan julukan yang diberikan padanya. Ia membaiat Rasulullah SAW pada Baiat ar Ridhwan. Rasulullah SAW memberikan bagian kepadanya pada perang Khaibar dan mengutusnya kepada kaumnya, lalu mereka pun masuk Islam. Ia berpindah ke Syam dan meninggal dunia di sana pada tahun 57 H, dan ada yang berpendapat yang lain tentang tahun meninggalnya.
Tafsir Hadits
Hadits ini dijadikan dalil najisnya bejana ahli kitab. Apakah karena najisnya makanan mereka, ataukah karena mereka makan babi dan minum khamar (arak) padanya, ataukah karena dimakruhkan? Yang mengatakan najisnya makanan orang kafir adalah Al Hadawiyah dan Al Qasimiyah, dan didukung oleh Ibnu Hazm. Mereka juga berdalil dengan zhahirnya firman Allah SWT:
 {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang Musyrik itu najis.” (QS. At-Taubah [9]: 28)
Dan ahli kitab disebut orang musyrik, karena mereka mengatakan bahwa Isa adalah putra Allah, dan Uzair adalah putra Allah.
Selain mereka dari Ahlul Bait seperti Al Mu’ayyid dan yang lainnya berpendapat mengenai sucinya makanan mereka, dan ini yang benar berdasarkan firman Allah SWT:
 {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ}
makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Maidah [5]: 5)
Dan bahwa Nabi SAW berwudhu  dari tempat bekal seorang musyrik. Juga berdasarkan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh ahmad dan Abu Daud:
«وَكُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَنُصِيبُ مِنْ آنِيَةِ الْمُشْرِكِينَ وَأَسْقِيَتِهِمْ وَلَا يَعِيبُ ذَلِكَ عَلَيْنَا»
“Kami pernah bersama Rasulullah SAW, lalu mendapatkan bejana dan tempat minum orang musyrik, dan beliau tidak mencela hal itu atas kami.”
[Shahih: Shahih Abu Daud 3838]
Ahmad meriwayatkan dari hadits Anas, bahwa Rasulullah SAW diajak oleh seorang Yahudi kepada jamuan makanan roti yang terbuat dari gandum yang telah berubah.
[Musnad Ahmad 3/210]
Dalam Al Bahr ia berkata, “Seandainya makanan mereka haram, niscaya beliau menyuruh untuk menjauhinya lantaran minimnya jumlah kaum Muslimin ketika itu. Dan banyaknya mereka menggunakannya pasti tidak lepas dari pakaian dan makanan mereka. Kebiasaan semacam ini perlu adanya penentuan hukum.
Mereka berkata, “Hadits Abu Tsa’labah tidak berarti dimakruhkannya makan pada bejana mereka lantaran kotoran, karena jika najis, beliau tidak akan mensyaratkan ketiadaan yang lain, sebab bejana yang bernajis dan juga benda lainnya setelah menghilangkan najisnya adalah sama-sama tidak bernajis, atau untuk menutup kemungkinan agar tidak jatuh kepada haram, atau karena ia najis lantaran apa yang dimasak di dalamnya bukan karena makanan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Abu Daud dan Ahmad dengan lafazh:
«إنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا»
“Sesungguhnya kami hidup di sekitar Ahli Kitab dan mereka memasak babi dalam panci mereka, minum khamar dalam bejana mereka, maka Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mendapatkan yang lainnya.”
[Shahih: Abu Daud 3839]
Haditsnya yang pertama mutlak, sedang yang ini muqayyad (terikat atau khusus) dengan bejana yang di dalamnya dimasak dan diminum apa yang telah disebutkan, maka yang mutlak ditinggalkan lalu mengamalkan yang muqayyad. Adapun ayat, maka najis menurut bahasa adalah yang dianggap kotor, lebih umum dari pengertian menurut syariat. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah yang bernajis, karena mereka disertai kemusyrikan yang sama dengan najis, juga karena mereka tidak bersuci, tidak mandi dan tidak menjauhi berbagai najis yang bercampur dengan mereka, olehnya itu maka dipadukanlah antara hadits ini dengan ayat Al Maidah dan hadits-hadits tersebut sesuai dengan hukumnya, dan ayat Al Maidah lebih jelas maksudnya.



0020 

20 - وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ امْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ.
20.  Dari Imran bin Hushain RA bahwa Nabi SAW bersama para shahabatnya berwudhu  dari bejana seorang perempuan musyrik. (Muttafaq alaih dalam sebuah hadits yang panjang)
[Shahih: Al Bukhari 3444, Muslim 682]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Biografi Perawi
Imran bin Hushain adalah Abu Nujaid al Khuza’i Al Ka’bi. Masuk Islam pada perang Khaibar, ia tinggal di Bashrah hingga meninggal dunia pada tahun 52 atau 53 H, dia termasuk shahabat yang paling mulia dan ahli fikih.
Tafsir Hadits
Dikeluarkan oleh Al Bukhari dengan beberapa lafazh, di antaranya:
“bahwa beliau SAW mengutus Ali RA dan seorang shahabat lain bersamanya pada salah satu perjalanan beliau, lalu mereka kehabisan air, maka beliau SAW bersabda, “Pergilah kalian berdua mencari air.” Lalu keduanya berangkat dan menemui seorang perempuan di antara kedua bejana atau tempat perbekalan yang terbentang dan penuh air di atas untanya. Lalu keduanya bertanya kepadanya, “Dimana air?” ia menjawab, ‘kemari, saya berjanji akan mendatangkan air untuk saat ini.; kedua berkata, ‘Pergilah kepada Rasulullah SAW –hingga ucapannya- lalu Nabi SAW minta bejana kemudian beliau SAW menuangkan dari kedua mulut tempat perbekalan tadi, lalu menyeru kepada manusia, “minumlah dan berilah minum,” maka minumlah di antara mereka yang ingin minum dan memberikan minum siapa yang dikehendakinya. Dalam hadits tersebut terdapat tambahan dan mukjizat nabawiyah.
Maksudnya, bahwa beliau SAW berwudhu  dari tempat bekal perempuan musyrik, dan inilah dalil apa yang telah berlalu dalam Syarh hadits Abu Tsa’labah mengenai sucinya bejana kaum musyrikin.
Juga menunjukkan atas sucinya kulit bangkai dengan disamak, karena kedua tempat bekal tersebut terbuat dari kulit hewan sembelihan orang musyrik, sedang sembelihan mereka adalah bangkai. Menunjukkan pula sucinya makanan orang musyrik karena perempuan musyrik tadi telah menyentuh air tersebut secara langsung, yang kurang dari dua kullah, karena mereka telah menyebutkan bahwa satu unta tidak dapat membawa air sebanyak dua kullah.
Siapa yang berpendapat bahwa makanan mereka najis, dan berkata bahwa air tidak bernajis kecuali dengan yang dapat merubahnya, maka hadits tersebut adalah dalil atasnya.


0021 

21 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - انْكَسَرَ، فَاِتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سَلْسَلَةً مِنْ فِضَّةٍ» . أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ.
21. Dari Anas bin Malik RA, bahwa gelas Rasulullah SAW pecah, lalu beliau menempelkan pada tempat yang retak itu sambungan dari perak. (HR. Al Bukhari)
[Shahih: Al Bukhari 3109]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
bahwa gelas Rasulullah SAW pecah, lalu beliau menempelkan pada tempat yang retak itu (maksudnya terbelah dan pecah) sambungan dari perak (yakni yang menghubungkan sesuatu dengan yang lain. Atau silsilah, yaitu lingkaran yang terbuat dari besi (rantai) dan yang semacamnya)
Tafsir Hadits
Hadits tersebut adalah dalil diperbolehkannya menempel (menambal) bejana dengan perak, dan tidak ada perbedaan mengenai kebolehannya sebagaimana yang telah disebutkan. Tetapi di sini, mereka berbeda pendapat mengenai orang yang meletakkan sambungan tersebut. Al Baihaqi menuturkan dari sebagian mereka bahwa yang meletakkan sambungan tersebut adalah Anas bin Malik, dan ditetapkan oleh Ibnu Ash Shalah. Penulis berkata, “pendapat tersebut perlu dipertimbangkan, karena dalam Shahih Al Bukhari dari hadits Ashim al Ahwal, “Aku melihat gelas Nabi SAW di sisi anas telah terbelah maka ia menyambungnya dengan perak.”
Ibnu Sirin berkata, “Padanya terdapat rantai yang terbuat dari besi, lalu Anas hendak menggantinya dengan rantai dari emas atau perak, maka Abu Thalhah berkata kepadanya, ‘Janganlah sekali-kali engkau mengubah sesuatu yang telah dibuat Rasulullah SAW, lalu ia pun meninggalkannya.’ Ini adalah lafazh Al Bukhari mengandung makna bahwa kata ganti yang terdapat pada ucapannya (فَسَلْسَلَهُ بِفِضَّةٍ) kembali kepada Nabi SAW, juga bisa kembali kepada Anas, sebagaimana yang dikatakan Al Baihaqi, akan tetapi bagian akhir dari hadits tersebut menunjukkan makna yang pertama, dan bahwa gelas tersebut tidak berubah dari semula pada masa Rasulullah SAW.
Saya katakan, “Sambungan tersebut bukan rantai yang hendak diubah oleh Anas, yang nampak bahwa ucapannya (فَسَلْسَلَهُ) adalah Nabi SAW, dan ini merupakan hujjah bagi yang telah disebutkan,.

Lihat: 
Subulussalam Syarah Bulughul Maram
[سبل السلام]








Nasehat Muslim : 
www.nasehat-muslim.blogpsot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar