Laman

Sabtu, 13 Agustus 2016

Prinsip Jual Beli yaitu Saling Rela



Nasehat Muslim

Ketahuilah bahwa hikmah disyariatkannya jual beli adalah sebagaimana disebutkan oleh penulis dalam kitab Fath Al-Bari, bahwa acapkali kebutuhan manusia bergantung pada apa yang ada di tangan orang lain, sedangkan orang itu terkadang tidak rela memberikannya. Pada pensyariatan jual beli terdapat media untuk memiliki apa yang diinginkan tanpa harus bersusah payah. Penulis menyebutkan bab ini dalam bentuk jamak (Kitab Al-Buyu') untuk menunjukkan bahwa jual beli itu ada bermacam-macam jenisnya. Ia berjumlah delapan jenis. Lafazh jual dan beli (Bai’ wa Syiraa'), masing-masing dari kedua kata itu dipakai untuk makna yang sama. Keduanya merupakan Alfaazh Musytarakah (lafazh yang saling berkaitan). Hakikat penjualan dalam tinjauan etimologi (bahasa) berarti sebuah proses memindahkan hak memiliki suatu harta dengan harta lainnya. Sedangkan syariat Islam menambahkan persyaratan saling rela (taraadhi). Ada yang mengatakan ia adalah proses serah terima dua jenis harta di luar sedekah, sehingga keluar dari definisi ini proses saling memberi (dengan sukarela). Dan ada juga yang mengatakan ia adalah proses tukar menukar suatu harta dengan yang lain bukan dalam rangka sedekah, sehingga termasuk di dalam definisi ini proses saling memberi (dengan sukarela). Dalil disyaratkannya serah terima (dalam proses jual beli), adalah firman Allah Ta'ala: "Jual beli atas saling rela" (QS. An-Nisaa': 29). Ibnu Hibban dan Ibnu Majah mengeluarkan hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
«إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ»
"Sesungguhnya jual beli itu atas prinsip saling rela."

Dan dikarenakan perasaan rela merupakan perkara tersembunyi yang tidak kasat mata, maka ia wajib dikaitkan dengan suatu media konkrit yang dapat mewakilinya dan dalam hal ini adalah Shighah (ijab kabul). Dan shigah ini harus berupa ungkapan yang pasti agar dapat diketahui bahwa yang mengungkapkan benar-benar rela.

Dikecualikan dari persyaratan ini barang-barang yang tidak terlalu berharga, hal itu dikarenakan sudah menjadi tradisi umat Islam untuk melakukan proses jual beli pada barang-barang itu dengan tanpa shigah (ijab kabul). Ini menurut Jumhur Ulama. Sedangkan Asy-Syafi'iyah (pengikut madzhab Imam Asy-Syafi'i) berpendapat hal itu tetap harus menggunakan shigah (ungkapan ijab kabul) sama seperti yang lainnya. Imam An-Nawawi dan mayoritas ulama Asy-Syafi'iyah yang Mutaakhir, berpendapat tidak disyaratkan akad dalam barang-barang yang tidak terlalu berharga. Di antara barang yang tidak terlalu berharga adalah barang yang nilainya kurang dari seperempat Mitsqal. Ada yang mengatakan ia adalah sayuran, kurma dan roti dalam jumlah kecil. Ada juga yang mengatakan ia adalah barang yang nilainya kurang dari nishab (batas minimun dihukumnya orang yang melakukan) pencurian. Yang paling serupa adalah mengikuti kebiasaan. Dan faktanya memang tidak ada dalil yang mempersyaratkan ijab qabul (serah terima). Justru hakikat jual beli adalah tukar menukar yang terjadi atas dasar saling rela, sebagaimana dinyatakan oleh ayat dan hadits.

Memang perasaan rela adalah perkara yang tersembunyi yang bisa diketahui berdasarkan faktor-faktor yang menyertainya, di antaranya ijab qabul. Tetapi tidak hanya sebatas itu saja. Bahkan proses jual beli itu pun sah terjadi dengan senangnya jiwa terhadap barang dan rela menukarnya dengan harga yang sesuai, walau dengan lafazh apapun. Begitulah orang-orang melakukan transaksi, baik zaman dahulu maupun sekarang. Kecuali orang yang mengetahui madzhab dan takut melanggar keputusan hakim dalam masalah jual beli, maka dia akan berpendapat perlu adanya ijab qabul.

Lihat:
Subulussalam syarah Bulughul Maram








Nasehat Muslim : www.nasehat-muslim.blogpsot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar