Laman

Rabu, 25 Desember 2019

Jangan Menggunjing

Hasil gambar untuk muslim.or.id meninggal


Nasehat Muslim

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُك أَخَاك بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ: أَفَرَأَيْت إنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْته، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
1396. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tahukah kalian apa itu ghibah ? " Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Rasulullah berkata, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai." Mereka berkata: "Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada dirinya?" Rasulullah menjawab, "Jika apa yang engkau katakan memang benar ada berarti engkau telah menggunjingnya dan jika tidak berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya." (HR. Muslim)
[Shahih: Muslim 2589]
ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]
Penjelasan Kalimat
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tahukah kalian apa itu ghibah?" (dengan mengkasrahkan huruf ghain) Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Rasulullah berkata, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai." Mereka berkata, "Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada dirinya?" Rasulullah menjawab, "Jika apa yang engkau katakan memang benar ada berarti engkau telah menggunjingnya dan jika tidak berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya." (Bahattahu dengan menfathahkan huruf ba' dan ha' dari kata buhtaan). HR. Muslim.
Tafsir Hadits
Sepertinya hadits ini disebutkan untuk menafsirkan ghibah yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala:
 {وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا}
"dan janganlah menggunjingkan satu sama lain." (QS. Al-Hujuraat: 12)
Dan hadits ini telah menjelaskan makna hakiki dari ghibah. Di dalam kitab An-Nihayah tercantum, ghibah adalah kamu menceritakan tentang kejelekan seseorang ketika orang tersebut tidak ada, walaupun kejelekan tersebut memang benar ada.
An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkaar mengikuti penjelasan dari Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan kejelekan seseorang, baik yang berkenaan dengan bentuk fisiknya, agamanya, dunianya, dirinya, perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, isterinya, pembantunya, gerak-geriknya, senyum atau cemberutnya, atau hal-hal lainnya yang berhubungan dengan sebutan yang buruk. Baik hal itu disebutkan dengan lisan maupun dengan kode atau isyarat.
An-Nawawi berkata, "Demikian juga kalimat-kalimat yang dipakai oleh para penulis, seperti perkataan: berkata orang yang mengaku berilmu, berkata sebagian orang yang menyatakan dirinya shalih, atau bentuk perkataan lainnya yang dapat dipahami oleh pendengar, maksud dari perkataan tersebut. Atau setelah menyebutkan perkataan di atas lantas penulis mengatakan: semoga Allah memaafkan kita semua, atau semoga Allah menerima taubat kita, atau kita mohon keselamatan dari Allah dan Lain-lain. Semua pernyataan ini termasuk dalam ruang lingkup ghibah.
Sabda beliau, "Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai," mencakup apakah orang yang bersangkutan hadir di tempat tersebut ataupun tidak. Demikian madzhab sebagian kelompok ulama. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini merupakan penjelasan ghibah menurut makna syar'i.
Adapun makna ghibah dari segi bahasa adalah diambil dari kata ghaib. Jika kita tilik dari makna bahasa, maka tidak dikatakan ghibah, kecuali apabila pembicaraan itu pada saat yang bersangkutan tidak hadir di tempat. Sekelompok ulama merajihkan bahwa makna syar'i sesuai dengan makna bahasa dan mereka menyebutkan dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
«مَا كَرِهْت أَنْ تُوَاجِهَ بِهِ أَخَاك فَهُوَ غِيبَةٌ»
"Apa saja yang kamu tidak suka jika sesuatu itu diarahkan langsung kepada saudaramu berarti hal itu disebut sebagai ghibah."
Jika hadits ini shahih berarti hadits ini sebagai pengkhususan hukum yang ada di dalam hadits Abu Hurairah. Berikut beberapa tafsiran para ulama tentang definisi ghibah:
Sebagian berpendapat bahwa ghibah adalah menyebutkan aib seseorang yang tidak ada di tempat pembicaraan. Sebagian lagi berpendapat: kamu menyebut-nyebut kejelekan seseorang di belakangnya, walaupun kejelekan tersebut memang nyata ada pada dirinya.
Dengan demikian menyebutkan aib seseorang di hadapannya secara langsung hukumnya juga haram, karena dapat menyakiti hati orang yang bersangkutan walaupun tidak hal itu termasuk ghibah.
Sabda beliau (saudaramu) maknanya saudara seagama. Ini merupakan bukti bahwa ghibah boleh dilakukan terhadap orang-orang non muslim. Dan masalah ini telah berlalu pembicaraannya. Ibnu Mundzir berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa apabila bukan saudara seagama seperti orang Yahudi; Nasrani, dan agama-agama lainnya atau orang-orang yang keluar dari agama Islam karena kebid'ahan yang ia lakukan, tidak mengapa dighibahi.
Kata (saudaramu) yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencegah seseorang untuk tidak menggunjingkan orang yang akan ia gunjingi, karena orang yang digunjingkan itu adalah saudaranya sendiri. Jadi, selayaknya ia menaruh kasihan kepada saudaranya, merahasiakan aib dan kejelekannya, bukan malah disebarluaskan.
Sabda beliau, "yang ia benci" dapat dipahami bahwa apabila orang yang bersangkutan tidak membenci kejelekan yang diceritakan, maka tidak termasuk ghibah. Seperti pelaku-pelaku cabul atau orang-orang gila.
Haramnya perbuatan ghibah sudah menjadi hukum yang telah disepakati oleh para ulama. Hanya saja para ulama berselisih pendapat apakah ghibah termasuk dosa besar ataukah dosa kecil? Al-Qurthubi menukil bahwa para ulama telah sepakat bahwa ghibah termasuk salah satu dosa besar. Mereka berdalilkan dengan hadits shahih:
«إنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ»
"Sesungguhnya darah kalian, kehormatan kalian dan harta benda kalian haram (dirusak orang lain)."
Menurut pendapat Al-Ghazali dan penulis Al-'Umdah dari kelompok ulama yang bermazhab Asy-Syafi'i, ghibah termasuk dalam kategori dosa kecil. Al-Adzra'i berkata "Tidak ada ulama lain yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua." Al-Mahdi berkata, "Bagi ulama yang tidak dapat memastikan bahwa ghibah itu dosa besar, boleh jadi menurutnya ghibah itu dosa kecil, sebagaimana pendapat orang-orang Mu'tazilah."
Az-Zarkasyi berkata," Aneh sekali ucapan seorang yang mengatakan bahwa memakan bangkai termasuk dosa besar, sementara ghibah ia katakan sebagai dosa kecil. Padahal Allah Ta'ala menggolongkan ghibah seperti memakan daging bangkai manusia."
Hadits ini melarang perbuatan ghibah dengan larangan yang cukup luas. Hal ini menunjukkan betapa kerasnya larangan melakukan ghibah tersebut.
Ketahuilah bahwa para ulama mengecualikan haramnya ghibah pada enam perkara:
1.      Terjadinya penganiayaan. Seorang yang teraniaya boleh mengatakan, "Si fulan menzhalimiku dengan mengambil hartaku." Atau "si fulan seorang yang zhalim" tapi dengan syarat laporan itu diceritakan kepada orang yang mampu menghapus atau menghilangkan atau mengurangi tindakkan kezhaliman tersebut. Dalilnya ketika Hindun isteri Abu Sufyan melaporkan tindakan Abu Sufyan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Hindun berkata, "Abu Sufyan adalah seorang yang kikir."
2.      Meminta tolong untuk mengatasi sebuah kemungkaran kepada orang yang diperkirakan mampu untuk mengatasinya. Ia boleh mengatakan, "Si fulan telah melakukan suatu kemungkaran." Hal ini bagi orang yang tidak terang-terangan melakukan kemaksiatan.
3.      Meminta fatwa. Seperti perkataan, "Si fulan telah menganiaya diriku dengan cara berbuat demikian kepadaku. Bagamana caranya agar aku bisa terlepas dari penganiayaan tersebut?" Ia tidak mampu melepaskan diri dari tindak kezhaliman si fulan, kecuali dengan cara menyebutkan apa yang terjadi.
4.      Mengingatkan kaum muslimin agar waspada kepada seseorang sgar mereka tidak tertipu. Seperti menyebutkan aib seorang perawi hadits, atau cacat seorang saksi atau seorang yang memberi pelajaran atau memberi fatwa sementara ia tidak punya ilmu tentang hal'itu. Dalilnya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sejelek-jelek teman bergaul." Dan sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Adapun Mu'awiyah, ia adalah seorang yang miskin." Ucapan ini beliau sampaikan ketika Fathimah binti Jahsyin ketika ia datang untuk, meminta izin dan meminta pendapat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm yang datang melamarnya. Beliau bersabda, "Adapun Mu'awiyah adalah seorang miskin yang tidak punya harta. Sedangkan Abu Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat pemukulnya dari pundaknya." Lantas beliau bersabda, "Nikahlah dengan si fulan."
5.      Menyebutkan tentang keadaan orang-orang yang secara terang-terangan telah melakukan perbuatan maksiat atau bid'ah. Seperti para penipu dan para pejabat yang telah berbuat maksiat secara terang-terangan. Masalah ini telah kita singgung dalilnya dalam hadits: "Sebutkanlah tentang keberadaan orang-orang yang jahat itu.”
6.      Menyebutkan cacat seseorang sebagai identitasnya, seperti si buta sebelah, si pincang, si rabun dan Lain-lain. Cacat itu disebutkan bukan untuk menghina orang tersebut tetapi hanya sebagai identitas.
Keenam poin ini dikumpulkan oleh Abu Syariif dalam sya'irnya:
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيبَةٍ فِي سِتَّةٍ ... مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ وَمُحَذِّرٍ
وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ وَمَنْ ... طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِي إزَالَةِ مُنْكَرٍ
Tidaklah tercela berbuat ghibah pada enam tempat.
Orang yang teraniaya, sebagai sebutan identitas dan untuk mewaspadai seseorang,
Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan dan orang yang minta fatwa
Dan orang yang meminta pertolongan untuk mengatasi sebuah kemungkaran

Subulussalam, Syarh Bulughul Maram







nasehat-muslim blogpsot co id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar