Laman

Kamis, 18 April 2019

Kalimat yang dicintai Allah Ta'ala: Subhaanallah wa bihamdihi, Subhaanallaahil 'Azhiim

Hasil gambar untuk muslim.or.id akhlaq


Nasehat Muslim

وَأَخْرَجَ الشَّيْخَانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «كَلِمَتَانِ حَبِيبَتَانِ إلَى الرَّحْمَنِ، خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ»  

1467. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dua kalimat yang dicintai oleh Dzat Yang Maha pengasih, mudah diucapkan dan berat di timbangan: subhaanallah wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) dan subhaanallaahil 'azhiim (MaHa suci Allah dan Maha Agung).
[Shahih: Al Bukhari 6406 dan Muslim 2694]

ـــــــــــــــــــــــــــــ
[سبل السلام]

Penjelasan Kalimat
"Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Dua kalimat yang dicintai oleh Dzat Yang Maha pengasih, mudah diucapkan dan berat di timbangan: subhaanallah wa bihamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) dan subhaanallaahil 'azhiim (Maha suci Allah dan Maha Agung)."
 Hadits ini adalah hadits terakhir yang dicantumkan Al-Bukhari dalam Kitab Shahih-nya. Kemudian setelah itu, sekelompok para imam mengikuti beliau dengan cara mencantumkan hadits ini sebagai penutup kitab-kitab mereka.
Sabda beliau, "Dua kalimat," susunannya sama seperti kalimat syahadat, yakni posisinya sebagai khabar muqaddam (khabarnya lebih dahulu disebutkan dari pada mubtada'-nya).
Sabda beliau: (subhaanallah... hingga akhir) posisinya sebagai mubtada' muakkhar dan ini sah dilakukan walaupun sudah berupa kalimat, karena maknanya sama seperti makna satu lafazh. Adapun khabar dikedepankan untuk menarik perhatian si pendengar agar ia mau menunggu isi dari mubtada' tersebut. Terlebih lagi sebelum penyebutan mubtada' telah disebutkan terlebih dahulu beberapa sifat-sifat mubtada'nya.
Al-habiibah artinya al-mahbuub yakni yang dicintai Allah Ta'ala. Khafiifah atas timbangan faailah artinya faa’ilah, tsaqiilah dan fa'iilah artinya juga faa'ilah. Ath-Thibbi berkata, "Khiffah yang artinya ringan adalah sebuah ungkapan yang artinya mudah disebut oleh lisan, sebagaimana seorang yang sedang mengangkat barang-barang ringan yang tidak membuatnya letih seperti kalau ia mengangkat benda yang berat.

Tafsir Hadits
Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa setiap hukum-hukum yang berat dilaksanakan oleh manusia maka pahala dan timbangannya nanti juga akan berat. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang tercantum dalam hadits, walaupun ringan untuk dilaksanakan, namun berat timbangannya.
Sebagian ulama salaf ditanya tentang sebab yang akan memberatkan timbangan kebaikan dan akan meringankan timbangan kesalahan, mereka menjawab, "Yang menyebabkan beratnya timbangan kebaikan yakni di saat seseorang merasa pahit untuk melakukannya dan rasa manis ketika mengerjakan amalan tersebut telah hilang. Sehingga perasaan berat itu akan mendorongmu untuk. meninggalkan amalan tersebut. Yang menyebabkan ringannya timbangan kejelekan yakni di saat seseorang merasa manis untuk melakukannya dan rasa pahit ketika mengerjakan perbuatan jelek tersebut telah hilang. Sehingga perasaan ringan dan mudah itu akan mendorongmu untuk melakukan kejelekan tersebut.
Hadits ini menunjukkan adanya timbangan amalan sebagaimana hal itu juga dijelaskan di dalam Al-Qur'an. Para ulama berselisih pendapat tentang objek yang ditimbang. Ada yang mengatakan bahwa yang ditimbang adalah lembaran-lembaran amalan. Sebab amalan merupakan benda yang abstrak, tidak mungkin untuk ditimbang berat dan ringannya, sebagaimana hadits yang menyebutkan tentang catatan-catatan amalan dan bithaqah tauhid  yang ditimbang. Para ahli hadits dan muhaqqiq berpendapat bahwa yang ditimbang adalah amalan itu sendiri dan amalan tersebut akan menjadi sesuatu yang kongkrit di hari akhirat kelak. Dalilnya berdasarkan hadits Jabir, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda,
 «تُوضَعُ الْمَوَازِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ ثَقُلَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ ثَقُلَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ قِيلَ لَهُ: فَمَنْ اسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُ وَسَيِّئَاتُهُ قَالَ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْأَعْرَافِ»
"Akan diletakkan timbangan di hari kiamat nanti untuk menimbang semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa timbangan kebaikannya lebih berat satu biji sawi dari pada keburukannya maka orang ini akan masuk ke dalam surga dan jika ternyata keburukanya lebih berat satu biji sawi dibandingkan kebaikannya maka ia akan masuk ke dalam neraka." Ada yang bertanya, "Bagaimana jika kebaikan dan keburukan itu sama beratnya?" Beliau menjawab, "Mereka itulah yang disebut dengan ashaabul a'raaf."   ‘
Hadits diriwayatkan oleh Khaitsamah dalam Kitabnya Majma' Al-Fawaaid. Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Kitabnya Az-Zuhd dari Abdullah bin Mas'ud dengan sanad yang marfu'.
Secara tekstual, hadits shahih ini menunjukkan bahwa semua amalan anak Adam akan ditimbang tanpa terkecuali. Ada juga yang berpendapat timbangan tersebut khusus untuk orang-orang mukmin yang memiliki banyak kebaikan dan tidak memiliki keburukan sehingga mereka masuk ke dalam surga dengan tidak dihisab lagi, sebagaimana yang tertera dalam hadits tujuh puluh orang yang masuk surga tanpa hisab.
Demikian juga adanya pengecualian bagi orang-orang kafir yang tidak memiliki kebaikan dan tidak juga memiliki dosa selain dosa kafir, karena mereka akan masuk ke dalam neraka dengan tanpa hisab dan tidak ada penimbangan amalan.
Al-Qurthubi menukil dari sebagian ulama dan berkata, "Orang yang kafir tidak memiliki pahala dan kebaikan sama sekali, sehingga tidak ada yang harus diletakkan di daun timbangan. Allah Ta'ala berfirman,
{فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}
"Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat." (QS. Al-Kahfi: 105)
Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang tercantum dalam kitab Shahih bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
«الْكَافِرُ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ»
"Di sisi Allah, orang kafir itu tidak lebih berat dari pada sehelai sayap nyamuk.” [shahih, Al-Bukhari (4729) dan Muslim (2785)]
Dijawab, bahwa hadits ini bermakna majaz yang menunjukkan kehinaan diri orang kafir, bukan berarti ia tidak punya berat sama sekali.

Pendapat yang benar adalah sebagai berikut:
Amalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir akan dihisab untuk dua hal:
1.      Bahwa kekafirannya akan diletakkan di daun timbangan, sementara di daun timbangan lain kosong tidak terdapat apa-apa, karena semua kebaikan yang dilakukan orang kafir akan terhapus dikarenakan kekafirannya. Jadi, nilainya seperti seorang yang tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali. Al-Qurthubi berkata, "Demikian juga makna zhahir yang tercantum dalam firman Allah Ta'ala,
{وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ}
"Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang, merugikan dirinya sendiri...” (QS. Al-'Araf: 9 , dan Al-Mukminuun: 103)
Ayat ini mengisyaratkan ringannya timbangan orang-orang kafir.
2.      Bisa jadi semasa hidupnya si kafir ini pernah memerdekakan hamba sahaya, berbuat baik, menyambung tali silaturahmi dan berbagai macam kebaikan lainnya yang berkaitan dengan harta. Seandainya ia adalah seorang mukmin, niscaya itu semua akan menjadi pemberat timbangan kebaikannya. Siapa saja yang memiliki kebaikan, maka semua kebaikan tersebut akan dikumpulkan dan akan diletakkan di daun timbangan, kecuali orang kafir. Apabila orang kafir mengimbangi kekafirannya dengan melakukan kebaikan, maka kebaikan tersebut akan menambah berat timbangan kebaikannya. Boleh jadi perbuatan-perbuatan buruk tersebut akan ditimbang, seperti perbuatan zhalim, mengambil harta orang lain, merampok dan lain-lain. Apabila perbuatan buruknya sama beratnya dengan amalan kebaikannya, maka orang tersebut mendapat azab karena kekafirannya. Jika ternyata keburukannya lebih berat dari kebaikannya maka selain mendapat siksaan karena ia kafir, ia juga akan mendapat siksa dari keburukan yang ia lakukan. Dan apabila kebaikannya lebih berat dari keburukannya, maka siksaan yang ia dapati karena kekafiran akan diringankan. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits tentang Abu Thalib bahwa ia berada di air yang dangkal di dalam neraka.

[سبل السلام]
Subulus Salam
Syarah Bulughul Maram





nasehat-muslim blogpsot co id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar